Peneliti China sukses mendatangkan hujan dengan stimulus gelombang akustik frekuensi rendah. Spektrum bunyi yang timbul akibat gesekan dan pukulan puja pada ”singing bowl” juga mengandung harmonik frekuensi rendah.
Oleh
Iwan yahya
·4 menit baca
MotoGP Mandalika telah usai. Nun kenangan gempitanya tak berlalu begitu saja. Sirkuit indah di tepi laut, drama di lintasan balap, hingga kisah pawang hujan yang fenomenal masih melekat. Sajian spektrum keindonesiaan yang semarak luar biasa. Profesor Rhenald Kasali mengajak publik untuk memahami keadaan itu tidak dengan subyektif, tetapi memperkuat imajinasi dalam perspektif dream society.
Tentu timbul pertanyaan, apakah cara itu memberi ruang memahami koeksistensi sains dengan praktik pawang hujan sebagai warna budaya?
Saya teringat publikasi di jurnal Science China Technological Sciences yang terbit tahun 2021. Peneliti China yang dipimpin GuangQian Wang sukses mendatangkan hujan dengan stimulus gelombang akustik frekuensi rendah. Mereka memancarkan bunyi berfrekuensi 50 Hz dan 160 Hz pada aras tekanan 130 dB ke awan. Hal itu memicu guncangan kuat partikel air di awan yang kemudian terkumpul menjadi hujan.
Mekanisme pembentukan uap air dengan stimulus gelombang akustik seperti itu telah banyak dilaporkan ilmuwan antara lain Nalbandyan di jurnal Atmospheric and Climate Sciences (2011), Tulaikova and Amirova di Science Discovery (2015) serta Xiao Hui dkk di Journal of Applied Metrological Science (2021).
Menariknya, spektrum bunyi yang timbul akibat gesekan dan pukulan puja–tongkat pendek–pada singing bowl sebagaimana dilaporkan Inacio and Henrique di Forum ISMA 2004 juga mengandung harmonik frekuensi rendah. Karakteristik instrumen bebunyian telah lama dimanfaatkan dalam praktik meditasi dan terapi. Gelombang bunyi dari mangkok tembaga di telapak tangan seseorang merambat ke dalam tubuh diyakini dapat memicu efek penyembuhan. Penjelasannya tersaji di banyak jurnal sains semisal oleh Goldsby dkk di Journal of Evidence-Based Complimentary and Alternative Medicine (2017) dan Stanhope and Weinstein dalam Complementary Therapies in Medicine (2020).
Lantas di mana ruang koeksistensinya dengan praktik pawang hujan? Perspektif berimajinasi budayawan Emha Ainun Nadjib baik dijadikan jalan masuk. Dikatakannya bahwa ritual pawang hujan cukup dipandang sebagai bentuk komunikasi dengan Kuasa Pengendali hujan. Karena tak mengenal dewa dan kekuatan lain, diyakininya bahwa Allah SWT adalah semata Kuasa Pengendali hujan itu.
Itu sebabnya Cak Nun mengumandangkan azan di Monjali Yogyakarta menjelang resepsi pernikahan putranya. Dan benar, memang kemudian kawasan itu tetap kering, sementara daerah sekelilingnya diguyur hujan deras. Apakah Cak Nun seorang pawang? Jelas bukan, tetapi merupakan sosok dengan ruang imajinasi dan perspektif iman yang kokoh.
Menjadi sangat menarik menempatkan pawang hujan sebagai sosok beriman ruang imajinasi.
Menjadi sangat menarik menempatkan pawang hujan sebagai sosok beriman ruang imajinasi. Memandang tindakannya sebagai tampilan anugerah kemampuan berselaras dengan mekanisme kerja semesta. Memiliki cara komunikasi tersendiri dengan Kuasa Pengendali hujan. Alih-alih menggunakan peranti canggih seperti ilmuwan China, ia justru bertelanjang kaki untuk merambatkan gelombang akustik frekuensi rendah ke dalam Bumi.
Bayangkan jika gelombang itu beresonansi dengan respons karakteristik lapisan Bumi dan mengalami amplifikasi secara analogi terhadap micro seismic focal mechanism. Keadaan di mana getaran seismik beramplitudo rendah mengalami penguatan sedemikian rupa sehingga energinya merambat terfokus ke lokasi tertentu. Itu terjadi pada peristiwa gempa Badong di Hubei, China, pada 20 Januari 2014. Penjelasan ilmiahnya diberikan oleh Junhua dkk dalam jurnal Geodesy and Geodynamics nomor 5 yang terbit di tahun yang sama.
Jembatan imajinasi kedua adalah, bahwa meski tak mencapai aras energi yang dapat memicu gempa bumi, amplifikasi cukup untuk memicu respons spesifik sifat kelistrikan dan kemagnetan Bumi. Sebuah mekanisme yang bersifat analogi dalam skala berbeda terhadap peristiwa perubahan spin elektron yang dipicu oleh gelombang akustik. Seperti mekanisme perubahan spin yang dilaporkan Sanada dkk dalam Physical Review Letters (2011) dan Golter dkk di jurnal Physical Review X (2016).
Bayangkan jika kemudian perubahan respons kelistrikan dan kemagnetan Bumi itu cukup kuat memicu perubahan distribusi muatan listrik di atmosfer kala hujan. Sesuatu yang kemudian menimbulkan diskripansi tekanan atmosfer secara spasial. Memicu awan hujan bergerak secara cepat ke daerah bertekanan lebih rendah. Hujan tidak berhenti, tetapi berpindah tempat.
Alam semesta laksana puzzle bermiliar ayat yang bekerja teratur. Menantang untuk dipahami dengan kekuatan berimajinasi dan akal budi. Manusiawi jika kemudian butuh masa untuk menyingkapnya. Membiarkan waktu berjalan menuju pembuktian.
Elok mengambil hikmah dari kisah Socrates, Nicolaus Copernicus, dan Galileo Galilei. Ketiganya memiliki kecerdasan memahami ayat semesta melampaui kemampuan rohaniwan gereja yang berkuasa kala itu. Namun, dipandang laksana tumor yang berdampak buruk terhadap generasi muda dan keimanan masyarakat. Socrates memilih mati. Dalam kasus Copernicus, sejarah harus membayar 200 tahun lamanya hingga saat Tycho Brake, Isaac Newton, dan Galileo Galilei menguatkan pandangan Copernicus.
Saya percaya akan ada tautan nalar koeksistensi sains dan budaya di suatu masa. Kita hanya perlu menguatkan imajinasi dalam selaras pikiran terbuka.
Iwan Yahya, Dosen dan Peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta