Berdaya di Bawah Naungan Cengkeh Tua Gamalama
Satu komunitas yang dimotori para ibu di Kota Ternate, Maluku Utara, berdaya dengan menyajikan makanan tradisional kepada wisatawan atau tamu. Manfaat sudah mereka rasakan, selain untuk melestarikan kekayaan kuliner.
Sejumlah perempuan di kompleks cengkeh tua sekitar Gunung Gamalama, Kota Ternate, Maluku Utara, memanggungkan kekayaan kuliner tradisional. Mereka perempuan berdaya yang melestarikan kuliner tradisional sembari mendapatkan manfaat darinya.
Norma A Badu (47) dengan hati-hati mengambil sebilah bambu berwarna hitam dari dalam keranjang gendong di punggung Imba Robo (64). Ia perlahan membuka penutup bambu. Dengan maju selangkah, ia menuju meja dari bambu untuk menuangkan isi bambu ke nampanyang juga terbuat dari bambu dengan alas daung pisang. Potongan ayam dibalut rempat putih tersaji. Uap menyeruak disertai wewangian yang memancing selera. Itulah ayam rimo rempah (daging ayam yang dibakar di dalam bambu).
Seolah ingin menawan penasaran, Norma kembali ke keranjang gendong (saloi). Ia menarik satu bilah bambu lagi, membawanya ke dekat meja. Setelah mencopot penutupnya, ia menabur isi pada nampan bambu. Potongan ubi kuning tersaji. Harum ubi dilumuri rempah menyebar ke penjuru pondok. Menu itu kasbi rimo rempah (ubi kayu potong dibakar dalam bambu).
Dua menu yang disajikan Norma dan Imba bagian dari 10 menu yang dimasak dan disajikan Komunitas Cengkeh Afo dan Rempah Gamalama (CARG) bersama Yayasan Pusaka Rasa Nusantara di situs Cengkeh Afo III, Kelurahan Tongole, Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate, Maluku Utara, Selasa (29/3/2022).
Menu lainnya, antara lain ikan bakar bumbu kenari, pali-pali (semacam lontong dengan tambahan daun pandan), ikan ngafi bawang goreng (ikan teri dicampur bawang goreng), sayur dubele (bagian tengah tumbuhan mirip pisang hutan), ikan rabe-rabe (ikan tuna asap suwir).
Penyajian kuliner tersebut didokumentasi Yayasan Pusaka Rasa Nusantara bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia. Chef Ragil Imam Wibowo, salah satu pendiri yayasan sekaligus pemilik Restoran Nusa Indonesian Gastronomy mendampingi anggota Komunitas CARG meracik rempah, mengukur bobot setiap rempah, memasak atau membakar bahan makanan itu untuk lalu disajikan. Hadir Ketua Yayasan Pusaka Rasa Nusantara Meilati Murniani.
Makanan yang disajikan di kompleks Cengkeh Afo III tersebut kuliner tradisional Ternate. Sebagian bahan dan rempah masih bisa diambil di hutan, seperti dubele, daun dan kulit kayu manis, serta daun pandan. Sebagiannya dibeli di pasar, beberapa rempah ditanam di sekitar pekarangan rumah anggota komunitas.
Anggota komunitas mendapatkan resep makanan tradisional dari pengalaman dan pengetahuan turun-temurun. Sebagian anggota warga lanjut usia. Mereka masih memiliki pengetahuan tentang resep makanan tradisional. Sejumlah menu pun masih diolah warga Ternate pada umumnya, baik di rumah dan warung tradisional, seperti ikan atau ayam rimo rempah, kasbi rimo, maupun untuk upacara adat, misalnya pali-pali.
Penyajian makanan tradisional Ternate aktivitas harian anggota Komunitas CARG sejak 2017. Komunitas tersebut beranggotakan 38 orang yang merupakan warga RT 006 RW 003 Kelurahan Tongole. Tujuh orang ibu tenaga inti di dapur dengan Norma sebagai chef-nya.
Bu Risma marah. Masak untuk hal yang historis seperti Cengkeh Afo ini tak ada tawaran lain yang berkesan kepada pengujung
Anggota lainnya para bapak. Mereka biasanya bertugas untuk mencari bahan pembuatan atau penyajian makanan, seperti bambu, atau memperbaiki bangunan di kompleks.
Kuliner tradisional di kompleks tersebut dijual per paket dengan harga Rp 1 juta. Satu paket bisa dinikmati 10-15 orang.
Dapur komunitas berada di situs Cengkeh Afo III yang terletak di ketinggian hampir separuh menuju puncak Gunung Gamalama . Ada satu dapur dengan perabotan dan alat makanan (sendok, mangkuk, napan) dan bangunan dari bambu, kecuali cangkir dari tempurung kelapa.
Untuk pengunjung didirikan empat pondok (gazebo) yang juga dibangun dari bambu dengan perlengkapan di dalamnya pun terbuat dari bambu. Dapur dan gezebo tersebut dibangun di kemiringan di bawah naungan Cengkeh Afo III dan cengkeh lainnya serta pohon pala.
Baca juga :
- Ikhtiar Ekowisata di Tanjung Waka, Kepulauan Sula
- Melestarikan Kuliner Tradisional, Mengabadikan Keterikatan dengan Alam
Cengkeh Afo III merupakan cengkeh generasi ketiga dari dua cengkeh tertua di dunia yang diperkirakan berusia 200 tahun. Cengkeh Afo III yang memiliki lingkar batang 3,9 meter masih kokoh dan masih produktif. Generasi lebih tua cengkeh Afo I yang ditaksir berumur 416 tahun dan tumbang pada awal 2000.
Sementara Cengkeh Afo II yang berada sekitar 500 meter dari Cengkeh Afo III berumur 250 tahun dan tumbang pada 2018. Ketiga cengkeh tersebut disebut nenek moyang cengkeh di sekitar Gunung Gamalama atau Pulau Ternate yang diburu penjelajah dunia pada abad 15. Afo, kata bahasa Ternate, berarti tua.
Anggota Komunitas CARG pada awalnya bertugas mengantar wisatawan untuk melihat Cengkeh Afo I, Cengkeh Afo II, dan Cengkeh Afo III. Dalam perkembangan, mereka bertransformasi dan membentuk komunitas dengan kegiatan tambahan yang juga bernuansa konservasi.
Komunitas CARG secara resmi terbentuk pada 2017. Pembentukan komunitas tersebut diawali pertemuan dengan Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini (saat ini Menteri Sosial) pada 2015. Risma kala itu heran warga sekitar tak melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar mengantar tamu ke Cengkeh Afo.
”Bu Risma marah. Masak untuk hal yang historis seperti Cengkeh Afo ini tak ada tawaran lain yang berkesan kepada pengujung,” ujar Norma menirukan Risma.
Hal menantang itu belum juga ditanggapi serius warga sekitar dan pemangku kepentingan hingga pada awal 2017 seorang pegawai Dinas Pariwisata Provinsi Maluku menyambangi tempat itu dan malakukan survei. Survei itu menyimpulkan warga ingin difasilitasi untuk melakukan sesuatu guna mendukung pelestarian Cengkeh Afo III. Setelah survei itu, warga sering bertemu untuk membentuk wadah. Pada 2017 lahirlah Komunitas CARG.
Setelah berembuk, komunitas memutuskan untuk menyajikan kuliner tradisional Ternate di kompleks Cengkeh Afo III. ”Kalau kami menyajikan makanan yang umum, di tempat lain juga sudah banyak. Kami pilih yang khas yang kami yakin bisa menarik minat pengunjung,” tutur Norma.
Baca Juga: Berdikari lewat Kacang Kenari
Selain alasan pasar, komunitas mengangkat kuliner tradisional untuk pelestarian. Dengan disajikan kepada pengunjung, kuliner lokal terus hidup. Secara tak langsung, itu ikhtiar untuk meregenerasikan salah satu kekayaan budaya Indonesia.
”Karena awal mulanya untuk konservasi Cengkeh Afo, usaha kami tetap harus senapas dengan konservasi,” kata Norma yang bersama komunitas mengikuti Ubud Food Festival, Bali, pada 2019.
Menambah penghasilan
Kehadiran dapur kuliner tradisional tersebut disambut pasar. Pada 2018-2019 atau sebelum pandemi Covid-19, tiada hari tanpa adanya pesanan. Salah satu momen yang hingga kini jadi kenangan manis anggota komunitas kunjungan wisatawan kapal pesiar Australia pada 2018. Mereka bergelombang menyambangi tempat itu untuk mencicipi racikan kuliner khas Ternate.
Saat itu, setiap anggota bisa mendapatkan hingga Rp 2 juta per bulan. ”Penghasilan itu bisa menambah penghasilan keluarga untuk membeli kebtuhan anak sekolah, seperti sepatu, pakaian seragam,” kata Norma yang empat dari enam anaknya masih duduk di bangku sekolah.
Uang itu tambahan yang sangat berarti bagi keluarga di sekitar situs Cengkeh Afo III. Mereka pada umumnya bergantung pada penjualan cengkeh dan pala sekali setahun (musiman).
Imba, yang empat anaknya sudah berkeluarga semua, juga merasakan manfaat adanya dapur makanan tradisional tersebut. Dengan tambahan penghasilan tersebut, ia bisa membeli kebutuhan pokok, seperti beras, sebelum masa panen cengkeh.
Anggota Komunitas CARG kini bangkit lagi setelah dihajar pandemi Covid-19. Gelombang pengunjug mulai merapat ke lokasi dengan penerapan protokol kesehatan yang baik, seperti kewajiban tamu memakai masker, penyiapan tempat cuci tangan di setiap gazebo. Mereka mau menatap hari-hari cerah ke depan setelah hampir sepanjang 2020 tak beroperasi imbas Covid-19.
Chef Ragil menyatakan sajian makanan tradisional Komunitas CARG menunjukkan kuliner khas daerah bisa dikomersialkan. ”Saya yakin itu memberikan dampak atau keberhasilan untuk pelakunya, meskipun pada umumnya butuh waktu lama,” tutur pemilik restoran yang menyajikan kuliner khas Indonesia itu.
Baca Juga: Provinsi Maluku Utara: Mutiara di Timur Indonesia
Dengan beragamnya kuliner tradisional di Indonesia, Komunitas CARG bisa menjadi contoh untuk komunitas lain di sejumlah daerah memanggungkan kuliner lokal. Selain mendatangkan manfaat ekonomi, gerakan tersebut bisa melestarikan kuliner khas Indonesia.
Fariz Mizwar (32), warga Ternate, menuturkan, dapur Komunitas CARG menjadi referensi warga Ternate dan tamu atau wisatawan untuk menikmati hidangan tradisional yang lengkap. Komunitas CARG memenuhi keinginan warga untuk bereksplorasi ke kekayaan kuliner masa lalu.
Para perempuan di Komunitas CARG telah memperlihatkan keberdayaan dengan mengangkat kuliner lokal. Untuk pelestarian kuliner, juga untuk peningkatan ekonomi keluarga.