Melestarikan Kuliner Tradisional, Mengabadikan Keterikatan dengan Alam
Sejumlah kuliner tradisional di Kepulauan Sula dan Kota Ternate di Maluku Utara terancam punah. Perlu upaya ekstra untuk melindungi kuliner tersebut.
Sejumlah kuliner tradisional di Kepulauan Sula dan Kota Ternate, Maluku Utara, sudah jarang dimasak dan dikonsumsi. Pilihan lebih instan saat ini menggeser keberadaan sejumlah makanan tradisional. Upaya perlindungan penting karena kuliner menceritakan kehidupan manusia dalam berelasi dengan alam.
Meja berukuran 3 meter x 75 sentimeter dijejali berbagai jenis rempah dan bahan makanan. Rempah dan bahan-bahan tersebut disimpan dalam mangkuk dan bestek.
Ada rempah dan bahan makanan yang akrab di telinga, seperti daun kemanyi, serai, tomat, cabai, ikan tuna, dan tepung sagu. Tak sedikit pula yang agak aneh, seperti sayur lilin (trubuk) dan pucuk daun keladi. Rempah dan bahan makanan itu semerbak di ruangan salah satu bangunan wisata di Pantai Tanjug Waka, Desa Fatkauyon, Kecamatan Sulabesi Timur, Kabupaten Kepulauan Sula, Minggu (27/3/2022).
Rempah dan bahan makanan tersebut diracik anggota Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) Kabupaten Kepulauan Sula untuk diperlihatkan dan didokumentasikan Yayasan Pusaka Rasa Nusantara yang bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia.
Chef Ragil Imam Wibowo, pemilik Nusa Indonesian Gastronomy yang juga salah satu pendiri Yayasan Pusaka Rasa Nusantara, mendampingi anggota meracik dan menimbang bobot bahan makanan dan rempah serta untuk komposisi yang tepat.
Baca juga :
Dari bahan makanan dan rempuh tersebut, anggota TP-PKK membuat berbagai jenis makanan tradisional Kepulauan Sula yang sebagiannya mirip dengan makanan tradisional di daratan Halmahera, Maluku Utara.
Menu tersebut antara lain sinoli (sangrai tepung sagu dicampur kelapa parut), jepa (sagu lembab/basah dicampur kelapa parut untuk disangra.), gohu ikan tuna (irisan ikan tuna mentah yang disiram minyak kelapa matang ditambah berbagai rempah), sayur lilin (trubuk), bubur labu, dan sayur pucuk keladi.
”Rasanya sangat natural,” begitu kesan Chef Ragil setelah mencicipi gohu ikan tuna.
Menu tersebut berupa potongan kecil ikan tuna mentah yang disiram dengan minyak kelapa goreng matang. Paduan rempah-rempah berupa air lemon, cabai, daun kemanyi, bawang merah, biji dan minyak kelapa mengalahkan ”kementahan” ikan tuna. Bau amis ikan lesap.
Sebagian jenis kuliner tersebut masih dimasak dan dikonsumsi di tingkat rumah tangga dan pada hajatan tertentu seperti saat pembukaan Festival Tanjung Waka, 26 Maret 2022. Menu yang disajikan antara lain gohu ikan tuna, sinoli, jepa, sayur rebung, sayur lilin, cakalang garo rica. Makanan tersebut dikonsumsi para pejabat dan undangan festival.
Kebanyakan makanan yang tidak dimasak lagi itu karena bahannya di hutan. Orang memilih yang gampang dengan ke pasar ketimbang ke hutan untuk mencari bahan makanan.
Namun, sebagiannya sudah jarang dibikin dan dikonsumsi, seperti uta lip (sayur daun kedondong ), sayur pucuk keladi, dan bubur labu, ”Kebanyakan makanan yang tidak dimasak lagi itu karena bahannya di hutan. Orang memilih yang gampang dengan ke pasar ketimbang ke hutan untuk mencari bahan makanan,” ujar Nurliza (58), pengurus TP-PKK Kepulauan Sula.
Masalah lainnya sebagian bahan kuliner tersebut, seperti pucuk keladi, sudah sulit didapat dari alam. Keladi yang tumbuhan liar hidup di rawa-rawa. Saat ini, lokasi-lokasi tersebut, terutama di Sanana, ibu kota Kabupaten Kepulauan Sula, sudah beralih fungsi menjadi permukiman. ”Saya pun tak pernah masak sayur pucuk keladi di rumah meskipun resepnya saya masih ingat dari orangtua,” tutur Hadra (55).
Kuliner di Kepulauan Sula terkait erat dengan kondisi alam atau hasil bumi setempat. Jepa dan sinoli yang bahan utamanya sagu dan kelapa merupakan anugerah bumi untuk Sula, Sagu yang tumbuh secara alami masih banyak persediaannya, bahkan berada di sekitar permukiman. Kelapa yang tentu dibudidaya salah satu komoditas andalan masyarakat Sula.
Sagu untuk Sula dan sejumlah daerah di Provinsi Maluku Utara dan Maluku merupakan bahan makanan pokok zaman dahulu. Sayang sagu digeser oleh beras yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut Kepulauan Sula dengan luas 3.339 kilometer persegiitu harus ”mengimpor” beras dari sejumlah kabupaten di Pulau Sulawesi.
Baca juga: Catatan Pertumbuhan Ekonomi di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua
Berbagai jenis olahan tuna juga mengungkapkan hasil laut daerah itu. Perairan sekitar Kabupaten Kepulauan Sula adalah penghasil tuna.
”Kuliner di Sula seperti di daerah lainnya mengafirmasi makanan yang mereka konsumsi bagian dari hidup dan cerita mereka. Contohnya sagu yang diolah jadi berbagai rupa makanan. Jadi, jangan ada berasnisasi,” tutur Chef Ragil. Berasnisasi merujuk pada penyeragaman konsumsi beras, padahal di daerah tersebut sebenarnya ada pangan lain.
Fenomena mulai hilangnya sejumlah kuliner tradisional juga terjadi di Kota Ternate, ibu kota Provinsi Maluku Utara, sekitar 230 kilometer dari Kepulauan Sula. Hal itu terungkap dari acara masak bersama anggota Komunitas Cengkeh Afo dan Rempah Gamalama dengan Yayasan Pusaka Rasa Nusantara. Ada sekitar 10 jenis kuliner tradisional yang diperlihatkan. Komunitas tersebut menyajikan makanan tradisional untuk dijual kepada pengunjung atau tamu.
Norma A Badu (47), anggota Komunitas Cengkeh Afo dan Rempah Gamalama, menuturkan, sayur dubele (dari bagian dalam batang tumbuhan hutan mirip pisang hutan), salah satu warisan kuliner nenek moyang, sudah jarang dimasak warga. Bahannya yang harus dicari di hutan menjadi kendalanya, sementara banyak pilihan bahan makanan, terutama sayur, di pasar.
Ketua Yayasan Pusaka Rasa Meilati Murniani menyatakan, makanan atau kuliner tradisional dari Kabupaten Sula dan Ternate belum banyak didokumentasikan. Padahal, banyak resep atau makanan khas yang perlu didokumentasikan sebagai upaya pelestarian kuliner Nusantara.
Yayasan mendokumentasikan makanan dan resepnya tersebut dalam bentuk buku dan digital (video). Upaya itu untuk memperkaya kuliner atau resep dari sejumlah daerah lain di Indonesia yang sudah banyak dokumentasikan.
Deputi Atase Kebudayaan Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Deidra Avendasora menyampaikan Amerika Serikat sangat menghargai budaya Indonesia. Negaranya sangat terbuka untuk berkolaborasi di bidang budaya.
”Salah satu bentuknya preservasi resep-resep kuliner tradisional. Kuliner merupakan hal yang melekat di hati semua orang dan menjadi identitas suatu bangsa,” ujarnya saat memberikan sambutan dalam Festival Tanjug Waka, Kepulaun Sula.
Upaya melestarikan resep-resep dan makanan tradisional mau tak mau harus digalakkan. Menurut Chef Ragil, langkah konsiten bisa dilakukan dengan diangkatnya makanan tradisional pada jamuan-jamuan resmi pemerintah, terutama dalam menyambut tamu kenegaraan. Ajang itu bisa memacu kesadaran preservasi kuliner Nusantara.
Baca juga: Provinsi Maluku Utara: Mutiara di Timur Indonesia
Preservasi kuliner tradisional yang bisa dipadukan dengan tujuan komersial secara seimbang di level komunitas juga perlu menjadi gerakan bersama. Di Kota Ternate, misalnya, ada Komunitas Cengkeh Afo dan Rempah Gamalama yang menyajikan berbagai jenis makanan tradisional kepada tamu atau wisatawan yang mengunjungi situs cengkeh tua. Selain mendapatkan faedah ekonomi, usaha itu juga secara tak langsung melestarikan kuliner tradisional.
Di bagian hulu, tentu sangat perlu upaya melestarikan tumbuhan yang menjadi bahan makanan atau rempah yang sudah terbatas persediaannya di alam. Budidaya tumbuhan atau rempah yang sudah langka itu bisa menjadi salah satu solusinya.
Kuliner tradisional menyimpan banyak kisah tentang kehidupan manusia, termasuk keterikatan dengan alam seperti yang terungkap di Kepulauan Sula dan Kota Ternate dan daerah lainnya di Indonesia. Barangkali dari mulai jarang dikonsumsinya kuliner-kuliner tradisional itu pula kita sering tak menghargai alam yang berbuntut pada bencana. Melestarikannya bisa jadi salah satu jalan untuk menguatkan lagi ikatan dengan alam.