Tiga Kepala Dusun di Sidoarjo Pungut Jutaan Rupiah dalam Program Sertifikat Tanah Gratis
Tiga kepala dusun di Desa Suko, Sidoarjo, Jawa Timur, ditetapkan sebagai tersangka korupsi karena memungut biaya jutaan rupiah dalam program persiapan pengurusan sertifikat tanah gratis.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Tiga kepala dusun di Desa Suko, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ditetapkan sebagai tersangka korupsi karena memungut biaya jutaan rupiah dalam program persiapan pengurusan sertifikat tanah gratis. Penetapan ini menambah jumlah tersangka sebelumnya. Pemerintah daerah turun tangan agar pungutan liar tidak terus berulang setiap tahun.
Tersangka adalah Kepala Dusun Suko Muhammad Rofik, Kepala Dusun Ketapang Muhammad Adenan, dan Kepala Dusun Legok Arif Joko. Rofik dan Adenan langsung ditahan di Cabang Rutan Kelas I Surabaya pada Kejaksaan Tinggi Jatim setelah diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Negeri Sidoarjo, Kamis (7/4/2022).
”Sementara itu, Arif Joko tidak datang memenuhi panggilan penyidik karena sakit. Tersangka akan dipanggil kembali secepatnya untuk melengkapi berkas pemeriksaan,” ujar Kepala Seksi Intelijen Kejari Sidoarjo Aditya Rakatama.
Penetapan tersangka terhadap Rofik, Adenan, dan Arif ini berdasarkan hasil pengembangan kasus korupsi dengan tersangka Kepala Desa Suko Rokhyani. Penyidik menetapkan Rokhyani sebagai tersangka pada 31 Januari 2022 dan menahan tersangka di Cabang Rutan Kelas I Surabaya hingga sekarang.
Rakatama mengatakan, pada tahun 2021, Desa Suko menerima program Pendaftaran Tanah Sertifikat Lengkap (PTSL) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sidoarjo dengan kuota 1.300 pemohon. Untuk mendukung program tersebut, Rofik, Adenan, dan Arif bersama-sama dengan Rokhyani menggelar rapat dengan agenda menentukan besaran biaya pengurusan persiapan sertifikat gratis.
Biaya itu kemudian dibebankan kepada masyarakat yang menjadi peserta. Adapun nilainya bervariasi, mulai Rp 2,5 juta hingga Rp 5 juta per orang. Sebagian besar pemohon sudah menyetorkan uang kepada tersangka dengan alasan untuk mengurus dokumen, seperti surat keterangan hibah, surat jual beli, dan surat keterangan waris yang dikeluarkan oleh pemerintah desa.
”Dari total uang yang disetorkan oleh pemohon sertifikat gratis itu, sebagian ada yang digunakan untuk kepentingan pribadi ketiga tersangka. Sebagian lagi disetorkan kepada Rokhyani sebagai kepala desa,” kata Rakatama.
Perbuatan tersangka diduga melanggar Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001 juncto Pasal 55 KUHP. Ketiga tersangka terancam hukuman paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara. Selain itu, mereka diwajibkan membayar denda hingga Rp 1 miliar.
Tim penyidik juga mempertimbangkan penggunaan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001. Ancaman hukuman terhadap pelaku paling lama 5 tahun penjara dan denda hingga Rp 250 juta.
Menurut Rakatama, penahanan terhadap para tersangka telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Alasannya, antara lain, untuk memudahkan proses penyidikan. Selain itu, agar tersangka tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti yang diperlukan untuk memperkuat penyidikan perkara.
Korupsi di Desa Suko ini sebenarnya merupakan pengulangan kejadian di Desa Klantingsari. Baru-baru ini, Kepala Desa Klantingsari Wawan Setyo Budi Utomo (45) dituntut hukuman penjara selama 1,5 tahun dan pidana denda sebesar Rp 50 juta subsider dua bulan kurungan. Terdakwa dinilai terbukti korupsi berupa memungut biaya hingga jutaan rupiah kepada pemohon yang mengajukan pembuatan sertifikat tanah gratis di desanya.
Total jumlah uang yang berhasil diperoleh terdakwa sebesar Rp 80 juta. Uang itu berasal dari pemohon sertifikat tanah.
Selain Wawan, dua perangkat Desa Klantingsari, yakni staf bagian pemerintahan Ayu Indah Lestari dan kepala urusan pemerintahan Supratono, juga dituntut masing-masing dengan pidana penjara selama 1,5 tahun dan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan kurungan. Ayu dan Supratono diproses dalam perkara yang terpisah.
Dalam materi tuntutan jaksa, terdakwa Wawan Setyo Budi Utomo pada saat menjabat Kepala Desa Klantingsari menarik pungutan liar (pungli) biaya persiapan pada program pendaftaran tanah sistematis lengkap atau PTSL. Terdakwa ditangkap penyidik Polresta Sidoarjo di rumahnya, Desa Klantingsari, dalam operasi tangkap tangan, Kamis (7/10/2021).
Saat ditangkap, pelaku sedang menerima uang dari beberapa calon peserta program PTSL. Adapun total jumlah uang yang berhasil diperoleh terdakwa sebesar Rp 80 juta. Uang itu berasal dari pemohon sertifikat tanah. Mereka menyetorkan dalam jumlah bervariasi mulai Rp 350.000 hingga Rp 1 juta per pemohon.
Program PTSL untuk Desa Klantingsari rencananya berlangsung pada 2022. Alokasi pemohon untuk program ini belum diketahui. Namun, jumlah pemohon yang mendaftar di Desa Klantingsari saat itu sudah mencapai 800 orang. Dari jumlah tersebut, 150 orang di antaranya dimintai biaya persiapan oleh terdakwa.
Wawan dibantu Ayu dan Supratono mendata warga yang menjadi calon pemohon PTSL. Setelah itu, pemohon dikumpulkan dan diberi tahu persyaratan yang harus dipenuhi sejak jauh hari. Persyaratan itu, misalnya, surat kepemilikan hak atas tanah, surat keterangan jual beli, surat keterangan waris, dan surat keterangan hibah.
Calon pemohon program PTSL yang ingin melengkapi persyaratan dikenai biaya bervariasi. Untuk pembuatan surat keterangan hibah, misalnya, dipatok tarif Rp 350.000 per pemohon. Adapun biaya pembuatan surat keterangan waris sebesar Rp 850.000 dan yang tertinggi biaya untuk surat jual beli tanah sebesar 5 persen dari nilai jual.
Wakil Bupati Sidoarjo Subandi mengaku prihatin dengan banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para perangkat desa di wilayahnya. Dia meminta seluruh aparatur pemerintahan desa agar menjadikan perkara yang menimpa Kades Suko dan Kades Klantingsari ini sebagai pelajaran berharga.
”Pemerintah desa bisa bermusyawarah untuk mendukung program sertifikat gratis. Musyawarah itu menjadi penting untuk mengatasi kebutuhan biaya penunjang pengurusan sertifikat agar tidak menjadi pungutan liar,” ujar Subandi yang juga mantan kepala desa ini.
Biaya untuk persiapan pendaftaran tanah sistematis lengkap harus mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Dalam SKB No 34/2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis, besaran biaya yang diperlukan untuk kategori V, yakni Jawa dan Bali, sebesar Rp 150.000 per peserta.
Biaya itu untuk keperluan, antara lain, kegiatan penyiapan dokumen, pengadaan patok dan materai, serta kegiatan operasional petugas kelurahan atau desa. Kegiatan operasional yang dimaksud antara lain penggandaan dokumen pendukung, pengangkutan dan pemasangan patok, serta transportasi petugas dari kantor desa ke kantor pertanahan dalam rangka perbaikan dokumen yang diperlukan. Biaya tersebut tidak termasuk pembuatan akta, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh).