Kades Kedungpandan Minta Uang Pengurusan Sertifikat Tanah Warga
Kepala Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Nur Aini mengaku meminta uang kepada warganya yang meminta bantuan pengurusan sertifikat tanah tambak. Terdakwa mematok biaya pengurusan tanpa perincian.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI
Kepala Desa Kedungpandan, Sidoarjo, Nur Aini saat sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu (11/9/2019).
SIDOARJO, KOMPAS — Kepala Desa Kedungpandan, Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo, Nur Aini mengaku meminta uang kepada warganya yang meminta bantuan pengurusan sertifikat tanah tambak. Terdakwa mematok biaya pengurusan tanpa memiliki perincian penggunaan.
Pengakuan Nur Aini terungkap dalam sidang kasus korupsi lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Rabu (11/9/2019). Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Cokorda Gede Arthana itu, terdakwa didampingi kuasa hukumnya, Yuli.
Terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Sidoarjo Wido dan Wahyu Wasono melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan terkait dengan jabatan atau kewenangan terdakwa sebagai aparatur negara, yakni Kepala Desa Kedungpandan.
Nur Aini mengatakan, saat menjabat, dirinya didatangi oleh salah satu warganya yang bernama Kartini. Kepada terdakwa, korban menyatakan keinginannya mengurus sertifikat dua bidang tanah tambak miliknya. Pengurusan dilakukan berjenjang mulai tingkat desa hingga Badan Pertanahan Nasional.
Untuk mengurus sertifikat tersebut, terdakwa meminta uang Rp 30 juta kepada korban tanpa merinci peruntukannya. Namun, setelah korban menyerahkan uangnya pada 2016, sertifikat tak kunjung didapat. Korban pun akhirnya melapor ke kepolisian setempat.
KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI
Kepala Desa Kedungpandan, Sidoarjo, Nur Aini saat sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu (11/9/2019).
Selama persidangan berlangsung, korban berbelit dalam memberikan keterangan. Dia mengatakan, meski meminta uang kepada korban dan memberikan kuitansi sebagai tanda bukti penyerahan uang, terdakwa mengaku tak menikmati sama sekali. Uang diserahkan kepada Ajib yang diklaim sebagai pegawai Badan Pertanahan Nasional.
Setelah diperkarakan, terdakwa sempat berupaya mengembalikan uang korban dengan cara menitipkan melalui Sutrisno, tetangga korban. Namun, terdakwa tidak bisa memastikan apakah uang tersebut diterima korban atau disimpan oleh Sutrisno. Atas perbuatannya itu, terdakwa mengaku menyesal.
Jaksa Wahyu mengatakan, pihaknya akan menyampaikan tuntutan terhadap terdakwa dalam sidang lanjutan yang diagendakan pekan depan. Sebagai kepala desa yang memiliki kewenangan mengurus administrasi tidak seharusnya terdakwa meminta uang tanpa dasar peruntukan. Apalagi terdakwa tidak bisa menyebutkan kepastian biaya pengurusan sertifikat, baik di desa maupun kantor pertanahan.
Pungutan liar
Kepala desa memiliki peran strategis dalam urusan sertifikasi tanah milik warganya. Ironisnya, banyak kepala desa masuk penjara karena urusan sertifikasi tanah, baik yang dilakukan oleh warga secara pribadi maupun melalui pengelolaan Program Agraria Nasional (Prona) dan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Salah satunya Kepala Desa Srimulyo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Bandot Suprastiyo dan Kepala Urusan Pemerintahan Desa, Kariono. Kedua terdakwa saat ini tengah menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Surabaya setelah didakwa memungut biaya tidak resmi kepada 868 petani penggarap yang menjadi peserta program redistribusi tanah obyek landreform 2016. Total pungutan yang terkumpul mencapai Rp 417 juta.
Kasus muncul saat Desa Srimulyo mendapat alokasi redistribusi Tanah Obyek Land Reform (TOL) tahun anggaran 2016 sebanyak 868 bidang dari total 3.000 bidang untuk seluruh Kabupaten Malang. Tujuan program ini memperbaiki keadaan sosial ekonomi petani penggarap dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata sebagai sumber penghidupan rakyat.
Program itu dibiayai pemerintah dengan anggaran yang bersumber dari Dipa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN RI Zona V meliputi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jatim, Bali, dan Banten. Harga satuan redistribusi tanah per bidang ditetapkan Rp 306.000 dan Rp 375.000.