Harga Minyak Serba Naik, Hidup Semakin Pelik
Kenaikan harga bahan bakar minyak nonsubsidi dan minyak goreng membuat masyarakat kecil rentan jatuh ke jurang kemiskinan. Mereka mencoba bertahan meski tak mudah.
Beberapa hari terakhir, Abdul Rohim (59) selalu waswas setiap memasuki stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di Kota Cirebon. Sopir angkutan kota D2 itu khawatir pertalite tidak tersedia setelah kenaikan bahan bakar minyak nonsubsidi jenis pertamax.
”Siang ini masih dapat pertalite. Enggak tahu kalau besok. Ini kayak permainan. Kadang pagi ada, sore enggak ada atau sebaliknya,” ucapnya, Rabu (6/4/2022). Selasa pagi, misalnya, ia masih mendapati pertalite di SPBU Perjuangan. Namun, siangnya, pertalite kosong.
SPBU Bima yang terpisah sekitar 2,5 kilometer dari SPBU Perjuangan juga tidak menyediakan pertalite waktu itu. Tampak pengumuman di kertas bertuliskan ”Pertalite BBM sedang dalam pengiriman”. Sejumlah pengendara sepeda motor dan angkot langsung melaju ketika mengetahui pertalite nihil. Beberapa kendaraan lainnya terlihat mengisi pertamax.
Baca juga: Sulit Dapat Pertalite, Sopir Angkot di Kota Cirebon Menjerit
Beberapa hari sebelum PT Pertamina (Persero) menaikkan harga pertamax dari Rp 9.200 per liter menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter, Jumat (1/4), Rohim bahkan harus ke tiga SPBU. Saat itu, angkotnya bersaing dengan sepeda motor dan mobil pribadi demi dapat pertalite.
”Kalau isi pertalite, masih dapat uang makan. Kalau isi pertamax, boro-boro dapat uang, saya pasti tombok untuk setoran,” kata bapak tiga anak ini. Dengan kebutuhan 15 liter pertalite per hari, ia menghabiskan uang Rp 114.750 karena harga pertalite Rp 7.650 per liter.
Akan tetapi, jika memakai pertamax seharga Rp 12.500-Rp 13.000 per liter, pengeluarannya bakal melonjak minimal menjadi Rp 187.500. Padahal, hingga siang hari, ia biasanya dapat Rp 200.000. Itu pun belum dipotong uang setoran sekitar Rp 50.000. Pantas saja dia harus menombok.
Terlebih lagi, pandemi Covid-19 belum sepenuhnya terkendali. Pelajar, yang menjadi konsumen angkot, belum seluruhnya beraktivitas. Saat ini, dari pagi hingga sore, ia hanya keliling rute tujuh kali. Padahal, dalam kondisi normal, ia bisa keliling dari Majasem ke pusat kota hingga 11 kali.
”Kalau mau isi pertamax, penumpang harus bayar paling Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per orang. Kalau saya enggak mau begitu. Kasihan warga yang kesusahan,” katanya. Apalagi, pelajar masih ada yang membayar Rp 3.000 per orang. Dia paham, kondisi ekonomi warga tidak baik-baik. Rohim mungkin hanya sopir angkot, tetapi dia punya kepekaan tinggi pada sesama.
Samid (52), sopir angkot jurusan D3, mafhum. Ia dan sopir lainnya bakal kalah bersaing dengan pengendara ojek daring jika menaikkan tarif angkot. Mau tak mau, ia harus puas dengan pendapatan Rp 30.000-Rp 50.000 per hari. Padahal, sebelumnya ia bisa mendapat Rp 100.000 per hari.
Dengan kenaikan harga pertamax, lanjutnya, pengguna pertalite kian banyak. Kadang, ia mengantre di antara mobil pribadi. Namun, ketika gilirannya, petugas mengatakan pertalite kosong. ”Seharusnya, pertalite tersedia terus khusus untuk angkutan umum,” ucapnya.
Samid pernah mengisi angkotnya dengan pertamax seharga Rp 50.000 atau sekitar 4 liter. ”Itu cuma dapat dua putaran. Boro-boro dapat uang dapur, untuk bensin saja minim. Kalau isi pertalite dengan uang segitu, angkotnya bisa dapat tiga putaran,” ujarnya.
Samid memohon agar pemerintah tidak menaikkan harga pertalite. Saat ini saja, ia beberapa kali pulang lebih awal atau siang hari karena tidak mendapatkan pertalite. ”Balik (pulang) ajalah. Pusing, nyari bensinnya enggak ada,” katanya setelah mendatangi dua SPBU, Selasa siang.
Membengkak
Kenaikan harga pertamax juga dikeluhkan sejumlah warga Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka melakukan penghematan hingga harus berutang untuk sementara karena pengeluaran yang membengkak tiba-tiba.
Pengeluaran rumah tangga Perdana (27), warga Kecamatan Bandung Kulon, melonjak hingga Rp 100.000 per bulan karena kenaikan harga pertamax. Kebutuhan bahan bakar hingga 23 liter dalam sebulan tidak bisa dikurangi untuk transportasi ke tempat kerjanya.
Ia tidak beralih ke pertalite yang nilai oktannya lebih rendah dibandingkan pertamax karena bakal mengurangi kemampuan mesin hingga menambah ongkos perawatan. ”Apalagi kalau mau menggunakan pertalite, antreannya panjang. Daripada terlambat kerja, lebih baik tetap pertamax,” katanya.
Kondisi ini kian memberatkannya karena sebelumnya harga bahan pokok, termasuk minyak goreng, juga melonjak. Bahkan, pengeluaran bulanannya bertambah hingga Rp 200.000 untuk mengimbangi kondisi itu. ”Kalau terus begini, kami juga bakal susah. Paling kalau sekarang, saya kurangi jajan saja,” ucapnya.
Sena (31), warga Kecamatan Panyileukan, terpaksa menggunakan tabungannya untuk menutupi pengeluarannya yang membengkak akibat kenaikan harga tersebut. ”Selain bensin, ternyata gas 5 kilogram yang kami gunakan di rumah juga naik, dari Rp 74.000 jadi Rp 95.000. Kalau begini terus, kami akan semakin susah. Belum lagi minyak goreng yang masih belum turun,” tuturnya.
Untuk mengurangi pengeluaran, Sena berencana menahan konsumsi dan berhemat. Dia juga mencari bahan bakar pertalite di waktu luang. ”Semisal baru pulang kantor, saya biasa ikut antre pertalite. Bisa lebih dari 10 menit antreannya. Tapi kadang tidak dapat karena habis,” tuturnya.
Ia sempat berpikir pakai kendaraan umum. Namun, rumahnya yang berada di Bandung bagian timur terlalu jauh ke pusat kota, sekitar 15 kilometer. Sena juga harus menggunakan lebih dari dua angkutan umum dan bisa telat kerja.
Antre minyak goreng
Tidak hanya pemilik kendaraan dan sopir angkot yang antre demi minyak. Di Jalan Pangeran Drajat, Cirebon, sejak matahari masih malu-malu hingga berada di atas kepala, Rabu, Entin (55) masih menjaga jeriken. Bersama puluhan warga lain, ia rela mengantre berjam-jam demi minyak goreng curah Rp 15.500 per kilogram.
Minyak goreng itu bukan untuknya, tetapi milik orang lain. Perempuan paruh baya ini hanya menunggu empat jeriken terisi. Namun, kerjanya tak mudah. Setelah sahur dan shalat Subuh, warga Kangraksan Utara ini telah ikut berbaris. ”Bahkan ada yang datang dari malam,” ucapnya.
Lengah sedikit saja bisa berabe. Ia pernah pergi ke toilet sejenak, tetapi saat kembali ke antrean, jerikennya sudah hilang. Ada juga yang menendang jerikennya keluar dari barisan. Itu sebabnya, Entin tak pernah lagi meninggalkan antrean. Ia pantang pulang meski panas terik atau hujan deras untuk upahnya.
”Kemarin saya dari pukul 5 subuh sampai pukul 5 sore. Cuma dapat sepasang jeriken (36 liter), dikasih Rp 30.000,” ucap ibu empat anak ini. Upah bagi warga yang menunggu antrean beragam, dari Rp 20.000 hingga Rp 50.000 per dua jeriken, tergantung menggunkan perantara (calo) atau tidak.
Entin sudah bertugas mengantre komoditas itu sepekan terakhir seiring sulitnya mendapatkan harga minyak goreng curah sesuai harga eceran tertinggi (HET), yakni Rp 15.500 per kg. Di pasaran, harganya rata-rata Rp 18.750 per kg, sedangkan minyak goreng kemasan Rp 24.000 per liter.
Beberapa bulan sebelumnya, warga masih bisa mendapatkan minyak goreng curah seharga Rp 11.500 per liter, sedangkan minyak goreng kemasan berkisar Rp 14.000 per liter. Pemerintah sempat menetapkan HET untuk minyak kemasan sebelum dilepas ke mekanisme pasar.
Ironisnya, ia menunggu lebih dari 12 jam untuk sesuatu yang bukan miliknya. ”Enggak ada minyak di rumah, beli (makanan) yang mateng aja. Saya juga harus bayar kontrakan. Pemiliknya udah ngejar-ngejar terus,” ucap Entin yang suaminya sakit lambung tiga tahun terakhir.
Bagi Entin, penghasilan Rp 30.000-Rp 60.000 per hari dari mengantre minyak goreng bisa memenuhi kebutuhannya dengan suami untuk buka puasa dan sahur. ”Untuk berobat Bapak juga kalau ada lebihnya. Kalau saya enggak kerja cari makan, ya, enggak bisa makan,” katanya.
Sebelum mengantre minyak, Entin pernah berjualan kue keliling, tetapi tak berjalan lancar. Ia juga pernah menjajakan tisu di jalanan, tetapi dikejar petugas satpol PP. ”Pernah saya kelaparan. Mau minta ke anak-anak, tahu sendiri mereka juga sepi. Ada yang ngojek dan jualan tahu,” ujarnya.
Kisah Rohim, Samid, Sena, hingga Entin menunjukkan hidup warga yang kian pelik di tengah kenaikan harga minyak. Jeritan hati mencari pertalite hingga licinnya harga minyak membuat mereka rentan sulit sejahtera. Entah kepada siapa mereka akan berpegang dan tetap bertahan.