Bertahan di Tengah Licinnya Harga Minyak Goreng
Kenaikan harga minyak goreng belum kunjung reda. Saat minyak goreng lebih mudah didapat di operasi pasar, banyak kalangan bertahan hidup di tengah licinnya komoditas ini.
Kisruh minyak goreng belum usai. Semakin lama tidak diselesaikan, kondisi ini menguak banyak hal yang membutuhkan banyak perhatian. Banyak orang berusaha bertahan hidup di tengah licinnya komoditas ini.
Halaman kantor Kecamatan Gedebage di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (7/3/2022), itu tidak biasa. Sejak pagi, terlihat hilir mudik warga menggendong dua kantong minyak berukuran 1 liter. Senyum mereka semringah sembari mendekap erat minyak goreng dalam kemasan yang belakangan sulit didapat.
Di antara hiruk pikuk itu, ada Ikeu (45), warga Gedebage Tengah. Ia lega. Setelah pontang-panting mencari ke berbagai pasar tradisional dan ritel dalam beberapa hari terakhir, Ikeu justru menemukan minyak goreng di kantor kecamatan.
Berbekal kupon yang dibagikan ketua RT di sekitar tempat tinggalnya, minyak goreng bisa ia dapatkan jauh lebih mudah dari yang ia bayangankan.
”Saya senang akhirnya mendapatkan harga minyak Rp 14.000 per liter. Kalau beli di warung, harganya sudah dua kali lipat. Kalau di supermarket dan minimarket, keburu kosong. Di pasar tradisional juga tidak mudah didapat,” ujarnya.
Ikeu tidak keliru. Sebagian pedagang di pasar tradisional di Bandung kini tidak leluasa mendapatkan pasokan minyak goreng. Penyaluran dari distributor belakangan seret. Akibatnya, tidak sedikit yang mengandalkan penyaluran dari pemerintah untuk menjalankan usahanya.
Sejak akhir tahun lalu, masyarakat harus berhadapan dengan shock psikologis ekonomi. Harga elpiji, minyak goreng, kedelai, hingga kini daging sapi juga mengalami kenaikan.
Pertengahan Februari 2022, setidaknya 23.000 kilogram minyak goreng disalurkan ke empat pasar, yaitu Sederhana, Kosambi, Kiaracondong, dan Cicadas. Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Bandung Elly Wasliah mengatakan, satu pedagang kebagian jatah 30 liter minyak goreng curah yang dibanderol Rp 10.500 per liter. Mereka bisa menjual lagi minyak goreng itu Rp 11.500 per liter sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022.
Sejumlah pedagang mengakui, penyaluran minyak goreng dari pemerintah membantu usahanya. Mereka bisa membeli minyak dengan harga di bawah standar pasar saat ini.
”Sebelum bantuan minyak goreng dari pemerintah datang, saya harus membeli minyak Rp 19.000 per liter,” kata Dandi (37), salah satu pedagang di Pasar Sederhana.
Namun, para pedagang tidak bisa menjamin bisa terus menerapkan harga sesuai aturan pemerintah. Bantuan itu tidak datang setiap hari.
Bila sudah begitu, mereka tidak dapat menjamin apakah bakal terus berjualan minyak goreng. Ketika harga tinggi, pedagang jelas butuh modal lebih besar. Mereka kian jengah saat selalu mendengar keluhan, keinginan, hingga cacian calon pembeli yang menanyakan penjualan minyak harga eceran tertinggi, Rp 14.000 per liter.
Sani Ramdani (35), warga Antapani, Kota Bandung, mengatakan, sudah enggan datang ke pasar tradisional. Harapan bisa mendapat minyak goreng murah tidak pernah terwujud. Apalagi, harga komoditas lainnya juga perlahan naik satu per satu.
”Ujungnya ketika bilang kalau di koran harga paling tinggi seharusnya Rp 14.000 per liter, saya disuruh beli di koran. Dari yang biasanya menyenangkan bila belanja di pasar tradisional, sekarang malah emosi. Kalau tidak beli di ritel, beli di operasi pasar saja lebih murah,” katanya.
Blusukan
Meski terpisah sekitar 100 kilometer dari Bandung, Sahidin (48), warga Gegesik, Kabupaten Cirebon, juga jengkel dengan harga minyak yang tidak pasti. Namun, ia tidak punya pilihan. Usahanya demi mendapat minyak goreng dengan harga layak jelas tidak ringan.
Sebelum matahari menampakkan diri, misalnya, Sahidin sudah berkeliling pasar tradisional sekitar pukul 03.00. Pedagang gorengan ini mencari tempe, tahu, terigu, hingga minyak goreng. Sayangnya, minyak yang tersedia dipatok Rp 18.000 per liter, melonjak dari Rp 11.000 per liter.
”Mau enggak mau dibeli saja. Kalau enggak, ya enggak jualan. Kalau minyak goreng subsidi harga Rp 14.000 per liter itu sudah susah dapatnya,” ujar Sahidin sembari menggoreng tahu di gerobaknya, Selasa (8/3/2022). Ia berjualan di pinggir Jalan Brigjen Dharsono, Kota Cirebon.
Sahidin juga pernah blusukan berkeliling lebih dari empat toko ritel untuk mencari minyak goreng yang disubsidi pemerintah. Namun, bukannya mendapat minyak, bapak dua anak ini malah kehabisan bensin sepeda motor. Maklum, ia baru berburu minyak goreng pada malam hari setelah jualan.
Dia juga mencoba peruntungan di operasi pasar. Namun, Sahidin lebih banyak buntung. Pernah ia datang ke operasi pasar yang menyediakan sekitar 25.000 liter minyak dengan harga murah di Pusat Grosir Cirebon (PGC), Kota Cirebon, akhir Januari lalu.
”Antreannya panjang banget. Orang menengah ke atas juga ikut antre. Saya akhirnya pulang aja,” katanya.
Akhirnya, ia kembali ke pasar tradisional demi mendapatkan minyak goreng meski di atas harga eceran tertinggi. Dengan harga Rp 18.000 per liter, ia harus mengeluarkan Rp 54.000 untuk tiga liter per hari. Ongkos itu hampir dua kali lipat dibandingkan jika harganya Rp 11.000 per liter.
Akibatnya, modal jualan yang dulunya kurang dari Rp 250.000 per hari kini bisa lebih dari Rp 300.000 per hari. Ini belum termasuk kenaikan harga bahan pangan lainnya, seperti cabai dan bawang merah. Namun, katanya, lebih baik minyak goreng tersedia dibandingkan tidak ada.
Saat minyak goreng sawit langka di pasaran pada Januari lalu, misalnya, Sahidin tidak jualan beberapa hari. Giliran minyak tersedia meski harganya naik, pedagang tahu dan tempe malah mogok pada 21-23 Februari lalu karena harga kedelai impor melambung.
”Saya juga ikutan libur karena enggak ada bahan gorengan. Jadi, pulang kampung dulu,” ujarnya. Bagi pedagang kecil seperti dia, pilihan terbaik kadang langka menyapa dirinya.
Baca juga: Minyak Goreng dan Satgas Pangan
Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Setia Mulyawan, menjelaskan, naik turun harga tidak menentu memberikan banyak pesan. Mulai dari lemahnya kemandirian pangan hingga gangguan pada psikologis masyarakat jadi masalah yang harus dipecahkan.
”Sejak akhir tahun lalu, masyarakat harus berhadapan dengan shock psikologis ekonomi. Harga elpiji, minyak goreng, kedelai, hingga kini daging sapi juga mengalami kenaikan,” katanya.
Dampaknya bisa berpotensi semakin parah saat banyak warga belum bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Warga rentan frustrasi dengan kondisi yang tidak pasti.
Untuk solusi jangka pendek, ujar Setia, impor dan operasi pasar bisa saja jadi jalan keluarnya. Namun, jika dibiarkan, hal ini tidak dapat menyelesaikan masalah karena masyarakat akan terus kesulitan jika terjadi gejolak harga.
”Impor tidak hanya karena kebutuhan, tetapi karena ada harga yang lebih murah. Ini menunjukkan kita masih belum efisien sehingga memiliki daya saing yang rendah. Kemandirian pangan perlu menjadi perhatian untuk solusi jangka panjang,” kata Setia.
Sama susahnya
Gubernur Jabar Ridwan Kamil mengakui, minyak goreng yang tersedia di pasar meski harganya di atas harga eceran tertinggi (HET). ”Nah, ini yang akan kita kaji supaya harus sesuai (aturan) pemerintah. Tidak ada yang boleh menaikkan di atas Rp 14.000 (per liter). Namun, yang penting ada dulu (minyaknya),” katanya saat meresmikan Pasar Pasalaran, Cirebon, Jumat (4/3/2022).
Emil, sapaannya, juga mengatakan, harga bahan pangan lainnya juga berpotensi naik menjelang bulan Ramadhan. Jika harga terus melonjak, pihaknya bakal menggelar operasi pasar murah.
Namun, dia berharap warga tidak enggan berbelanja di pasar tradisional. Menurut dia, kemauan warga berbelanja di pasar tradisional bisa mendukung keberlangsungan ekonomi rakyat.
Emil mengklaim, saat ini pasar tradisional di Jabar sudah jauh lebih baik. Revitalisasi Pasar Pasalaran dan Pasar Kue di Cirebon yang menelan anggaran lebih dari Rp 22 miliar menjadi salah satu contoh upaya meningkatkan minat warga belanja ke pasar tradisional.
Baca juga: Saat Minyak Goreng Langka di Ibu Kota
Sejauh ini dari 25 pasar yang ditargetkan direvitalisasi, pelaksanaannya sudah dilakukan di 21 pasar. Dananya Rp 229,7 miliar berasal dari bantuan keuangan Pemerintah Provinsi Jabar.
Selain infrastruktur yang lebih baik, pasar tradisional di Cirebon juga telah terkoneksi konsumen di rumah melalui Pasarmu.id. Aplikasi yang dibangun oleh Musfi Yuliadi (37), warga Cirebon, pada Mei 2020 memudahkan konsumen mendapatkan bahan dapur tanpa harus ke pasar.
Aplikasi ini sudah diunduh lebih dari 5.000 kali dengan ulasan 4,6 bintang, hampir mencapai penilaian terbaik, lima bintang. Adapun yang teregister sebagai pelanggan sekitar 3.800 akun.
”Rata-rata ada 25 order per hari. Bahkan, bisa sampai 40 pesanan sehari,” ujar Musfi.
Sayangnya, di tengah berbagai kemajuan teknologi, seperti kehadiran Pasarmu.id, dan revitalisasi pasar dengan anggaran besar, warga masih kesulitan menemukan minyak goreng sesuai HET.
Di pasar yang baru direvitalisasi, harganya masih di atas Rp 14.000 per liter. Di aplikasi digital, kondisinya pun hampir mirip. Dari empat jenis minyak goreng yang ditawakan, harganya di atas HET. Salah satu minyak goreng dijual Rp 43.000 untuk ukuran 2 liter.
Kenaikan minyak goreng bisa jadi bukan yang terakhir. Butuh terobosan yang efektif guna menjaga harga tetep stabil tidak memicu kebingungan berkepanjangan.