Vonis Mati Herry Wirawan Belum Final, Utamakan Pemulihan Korban
Penegakan hukum dilakukan tidak hanya dengan memberikan vonis berat, tetapi juga pemulihan hak-hak para korban. Publik pun perlu bersabar dan diharapkan lebih memperhatikan para korban.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Vonis mati kepada Herry Wirawan, terdakwa pemerkosa belasan santriwati di Kota Bandung, Jawa Barat, perlu mempertimbangan penegakan hukum dan tidak diberikan hanya untuk memuaskan keinginan publik. Pemulihan korban kekerasan seksual jauh lebih penting untuk memberikan keadilan dibandingkan hukuman yang hanya terfokus kepada pelaku.
Kriminolog dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yesmil Anwar, berpendapat, publik perlu bersabar dan menunggu keputusan hakim demi hukum yang berkeadilan. Apalagi, terdakwa Herry masih memiliki sejumlah hak di mata hukum, seperti mengajukan kasasi hingga peninjauan kembali (PK).
Herry adalah terdakwa kekerasan seksual terhadap 13 santriwati di sekolah berbasis agama miliknya. Berdasarkan putusan banding di Pengadilan Tinggi Bandung, Senin (4/4/2022), Herry dijatuhi hukuman mati. Sebelumnya, di Pengadilan Negeri Bandung, Herry dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dalam vonis pada 15 Februari 2022.
”Saya rasa masyarakat harus bersabar menunggu keputusan yang inkrah. Semua untuk konteks hukum yang berkeadilan,” ujar Yesmil saat dihubungi di Bandung, Selasa (5/4/2022).
Yesmil juga menyayangkan penerapan hukuman mati yang memberatkan pelaku tanpa melihat upaya pencegahan lain. Padahal, kondisi ini bisa saja terjadi tidak hanya karena niat dari terdakwa, tetapi juga celah kesempatan yang terbuka di sekitarnya, mulai dari lemahnya pengawasan hingga lingkungan yang tidak memberikan pengawasan maksimal.
”Terkait kasus ini, tidak hanya pelaku yang seharusnya bertanggung jawab. Lemahnya pengawasan dari lembaga pendidikan, lembaga agama, hingga masyarakat sekitar dapat memberi kesempatan pelaku untuk melakukan tindak kriminal,” ujarnya.
Pemberian hukuman mati juga dilakukan seolah-olah untuk membalas dendam kepada terdakwa. Padahal, hukum itu tidak hanya untuk memenuhi keinginan masyarakat yang abstrak, tetapi juga untuk mengajarkan setiap orang menjadi beradab. (Yesmil Anwar)
Menurut Yesmil, pemberian hukuman mati juga dilakukan seolah-olah untuk membalas dendam kepada terdakwa. Padahal, hukum itu tidak hanya untuk memenuhi keinginan masyarakat yang abstrak, tetapi juga untuk mengajarkan setiap orang menjadi beradab.
”Hukum itu harus seimbang, antara berkembang di masyarakat dan juga menjadi social engineering atau sarana pembaruan masyarakat. Jika hanya mengikuti keinginan masyarakat, bisa celaka kita,” ujarnya.
Ketua Pengurus Yayasan Sapa Sri Mulyati juga menilai hukuman mati tidak menjadi solusi untuk memulihkan korban. Dalam kasus ini, perhatian terhadap pemulihan korban lebih penting karena menyangkut kehidupan dan masa depan mereka.
”Hukuman mati tidak jadi jaminan akan menimbulkan efek jera kepada pelaku lain dan memastikan korban tidak mendapatkan kekerasan lagi. Kekerasan yang mereka alami adalah stigma dari masyarakat,” ujarnya.
Menurut Sri, pemulihan korban hingga penerapan ganti rugi yang berat bisa memberikan rasa keadilan kepada para korban. Sebagai yayasan yang memberikan pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual, Sri menyadari, perhatian ini yang dibutuhkan para korban.
”Yang harus dilakukan saat ini adalah membantu pemulihan korban, termasuk memikirkan masa depan korban dan anak yang dilahirkan. Pelaku memang harus dihukum berat, tetapi bisa dilakukan dengan konsekuensi sosial, ekonomi, hingga politik,” ujarnya.
RUU TPKS
Penerapan hukuman maksimal ini, kata Sri, bisa dilakukan dengan produk hukum baru. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) diharapkan bisa menjawab kebutuhan tersebut demi penegakan hukum.
Undang-undang ini, kata Sri, bisa memastikan para korban mendapatkan pelayanan maksimal. Di samping itu, peran setiap pihak dalam menangani pemulihan para korban menjadi lebih jelas karena pemulihan ini tidak bisa hanya mengandalkan salah satu pihak.
”Saat ini belum ada kebijakan yang cukup komprehensif untuk memastikan layanan yang harus didapatkan para korban kekerasan seksual, baik itu negara maupun penegak hukum. Kalau RUU ini disahkan, ini akan memperjelas posisi pemerintah dan kewajiban negara untuk pemulihan korban,” ujarnya.
RUU TPKS ini menjadi bentuk pembaruan hukum yang disoroti oleh Yesmil. Menurut dia, produk hukum ini menunjukkan kebutuhan masyarakat terkait penegakan hukum dalam menangani kekerasan seksual.
”RUU TPKS itu penting. Dalam penegakan hukum, perundang-undangan menjadi yang teratas. Karena itu, ada pembaruan hukum, dan hakim harus bisa membaca itu. Jika kita berbicara UU, kita melihat dari segi korban hingga pelaku. Seperti ini bentuk merawat hukum yang harus ditumbuhkembangkan,” ujar Yesmil.