Perberat Hukuman Pemerkosa Belasan Santri, Pengadilan Tinggi Bandung Vonis Mati Herry Wirawan
Pengadilan akhirnya memutuskan terdakwa kekerasan seksual 13 anak di Bandung, Herry Wirawan dihukum mati. Putusan ini menjawab resah berbagai pihak yang menganggap hukuman seumur hidup sebelumnya tidak setimpal.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat, memutuskan terdakwa kasus kekerasan seksual belasan santri di Kota Bandung, Herry Wirawan (36), dijatuhi hukuman mati. Keputusan lebih berat ini diberikan karena dalam melakukan kejahatan terdakwa telah menggunakan simbol agama dan perbuatan bejat ini menimbulkan penderitaan bagi korban.
Dalam keterangan resmi, Senin (4/4/2022), sidang tersebut dipimpin hakim ketua Herri Swantoro. Sidang digelar menyusul permintaan banding jaksa penuntut sebagai respons atas putusan sebelumnya di Pengadilan Negeri Bandung yang memvonis terdakwa hukuman penjara seumur hidup dan tidak membayar restitusi atau ganti rugi.
Sejumlah poin putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 989/Pid.Sus/2022/PN.Bdg pada 15 Februari 2022 tersebut diperberat sehingga terdakwa mendapatkan pidana mati. Selain itu, Herry juga tetap ditahan dan dibebankan restitusi kepada 12 korbannya dengan jumlah sekitar Rp 331,52 juta.
Menurut majelis hakim, sejumlah landasan untuk memperberat putusan di antaranya mempertimbangkan dampak yang dirasakan korban hingga penggunaan simbol agama. Akibat perbuatan bejatnya, para korban mendapatkan trauma dan penderitaan. Bahkan, dari perbuatan tersebut telah lahir sembilan bayi yang sejak lahir kurang mendapatkan perhatian.
”Perbuatan terdakwa dianggap menggunakan simbol agama, di antaranya di pondok pesantren yang terdakwa pimpin, dapat mencemarkan lembaga pondok pesantren, merusak citra Islam karena menggunakan simbol Agama Islam,” kata majelis hakim.
Herry adalah terdakwa kekerasan seksual terhadap 13 santri dari sekolah yang dia pimpin. Perbuatan tersebut berlangsung kurun 2016-2021. Dengan dalih mengikuti perintah dari guru, dia tega memerkosa para korban yang saat kejadian masih di bawah umur. Bahkan, ada korban yang masih menginjak 13 tahun harus menuruti nafsu bejat terdakwa.
Berdasarkan sidang putusan yang digelar 15 Februari 2022, terdakwa hanya divonis penjara seumur hidup. Bahkan, restitusi yang notabene ganti rugi oleh terdakwa, justru dibebankan kepada negara dengan alasan terdakwa telah mendapatkan hukuman maksimal.
Vonis penjara seumur hidup bisa dianggap tidak adil oleh para korban yang menanggung trauma. Karena itu, hukuman maksimal perlu dibebankan kepada terdakwa. Hal ini juga membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak.
Sejumlah pihak bereaksi atas putusan tersebut, termasuk Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Asep N Mulyana selaku jaksa penuntut umum saat itu. Pihaknya pun menyatakan banding, sedangkan pihak terdakwa belum menentukan sikap dalam persidangan itu.
”Kami tetap menganggap kejahatan Herry Wirawan itu sangat serius. Kami konsisten tuntutan pidana mati, dan melakukan upaya hukum terkait pembebanan restitusi,” ujar Asep sepekan setelah putusan.
Dorongan hukuman mati ini juga diberikan oleh Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA). Dewan Pembina Komnas PA Bimasena berharap terdakwa mendapatkan hukuman berat. Hal ini tidak hanya untuk memberikan hukuman, tetapi juga efek jera agar tidak ada kejadian serupa terulang kembali.
Kriminolog Universitas Islam Bandung (Unisba) Nandang Sambas menyatakan, vonis penjara seumur hidup bisa dianggap tidak adil oleh para korban yang menanggung trauma. Karena itu, hukuman maksimal perlu dibebankan kepada terdakwa. Hal ini juga membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak.