Hukuman Mati Terdakwa Kekerasan Seksual Herry Wirawan Dinilai Tidak Efektif
Pengadilan Tinggi Bandung memutuskan, terdakwa kekerasan seksual terhadap belasan santri di Bandung, Herry Wirawan, dijatuhi hukuman mati. Namun, hukuman ini dinilai berlebihan karena belum tentu memberikan efek jera.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
Sejumlah petugas berjaga saat pelaksanaan sidang terkait kasus pemerkosaan siswa oleh Herry Wirawan (36) di Pengadilan Negeri Bandung. Pengadilan Negeri Kelas 1 A Khusus Bandung, Jawa Barat, Selasa (21/12/2021).
BANDUNG, KOMPAS — Hukuman mati terhadap terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap belasan anak di Bandung, Herry Wirawan (36), dinilai berlebihan dan diragukan efektivitasnya. Perhatian seharusnya tidak hanya fokus kepada hukuman terdakwa, tetapi juga pemulihan korban yang juga menjadi tanggung jawab negara.
Pakar hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Agustinus Pohan, menilai hukuman mati terdakwa Herry Wirawan merupakan tindakan yang berlebihan.
Dia berpendapat, hukuman mati yang telah diterapkan kepada sejumlah kasus belum memberikan efek jera hingga mengurangi tindak kejahatan.
”Sebut saja kejahatan perdagangan narkotika. Sudah berapa terpidana yang terancam hukuman mati, bahkan sebagian sudah ada yang dieksekusi. Kejahatan ini punya logikanya sendiri. Karena itu, bagi saya efektivitas untuk membuat jera itu diragukan. Tetapi, putusan hakim Pengadilan Tinggi Bandung ini harus dihormati,” ujarnya saat dihubungi di Bandung, Senin (4/4/2022).
Terkait pemulihan korban, Agustinus juga beranggapan pemerintah tetap memiliki kewajiban sebagai pelindung warga negaranya. Tidak hanya untuk memberikan rasa aman, negara juga harus memastikan hak dari korban terpenuhi, termasuk jika terdakwa tidak mampu melaksanakan kewajibannya untuk restitusi.
Terdakwa kekerasan seksual terhadap belasan santri di Bandung, Herry Wirawan (rompi merah), berdiskusi dengan tim penasihat hukumnya di tengah persidangan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Khusus Bandung, Jawa Barat, Selasa (15/2/2022).
Kewajiban ini, lanjut Agustinus, termasuk memastikan anak-anak korban yang lahir akibat tindak kejahatan Herry mendapatkan pelayanan maksimal. Hal ini menjadi bentuk tanggung jawab negara agar para korban pulih dan mendapatkan hak hidupnya.
”Jadi tidak hanya pelaku, negara juga bertanggung jawab. Keduanya memiliki porsi kewajiban masing-masing. Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan negara wajib memberi perlindungan kepada warga negaranya," ujar Agustinus.
Membuat trauma
Herry Wirawan merupakan terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap 13 anak yang menjadi santri di sekolah miliknya. Tindakan bejat yang dia lakukan dalam kurun 2016-2021 ini membuat para santri trauma. Bahkan, sembilan bayi lahir dari sejumlah korban akibat perbuatan tidak manusiawi tersebut.
Dalam rangkaian persidangan yang berlangsung dari November 2021, Herry akhirnya dijatuhi hukuman seumur hidup oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus, 15 Februari 2022. Selain itu, restitusi (ganti rugi) menjadi tanggung jawab negara.
Jadi tidak hanya pelaku, negara juga bertanggung jawab. Keduanya memiliki porsi kewajiban masing-masing. Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, sedangkan negara wajib memberi perlindungan kepada warga negaranya, (Agustinus Pohan)
Dari putusan tersebut, pihak jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan banding. Kepala Kejaksaan Tinggi Jabar Asep N Mulyana selaku JPU saat itu menyatakan, banding ini dilakukan dengan tetap memberikan tuntutan hukuman mati kepada terdakwa dan sejumlah poin lainnya.
Pada sidang di Pengadilan Tinggi Bandung, Senin (4/4/2022), majelis hakim akhirnya mengabulkan banding dari jaksa terkait hukuman terdakwa.
Herry pun dijatuhi hukuman mati dan diwajibkan membayar restitusi kepada para korban hingga Rp 331,52 juta.
Jesayas Tarigan dari Humas Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan, majelis hakim berpendapat hukuman mati yang dijatuhkan kepada terdakwa cukup adil. Namun, keputusan ini belum memiliki kekuatan hukum tetap karena terdakwa masih memiliki sejumlah hak, seperti pengajuan kasasi atau peninjauan kembali (PK).
”Selain hukuman mati, dalam putusan ini terdakwa juga diminta membayar restitusi. Semua itu bisa dilakukan dengan merampas hartanya. Ini masih belum berkekuatan hukum tetap, prosesnya masih panjang,” ujarnya.