Rekrutmen tenaga kontrak di daerah diwarnai berbagai dinamika. Selain pertimbangan profesionalitas, unsur balas jasa dan kepentingan politik pragmatis tidak bisa dihindari. Terkadang kepentingan publik dikorbankan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·4 menit baca
Yanti Tei Seran (43) membawa beberapa potongan bambu ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Minggu (3/4/2022) malam. Bambu itu ia pasang melintang di depan pintu kantor dan gerbang masuk halaman. Kantor yang berdiri di atas lahan milik keluarganya itu ia segel.
Senin pagi, seorang pejabat setempat menemui ayah Yanti, dan memohon agar segel dibuka. Atas bujukan ayahnya, Yanti mengizinkan hanya segel gerbang yang boleh dibuka. Sejak pagi, ibu rumah tangga itu duduk di sebuah bangku panjang dekat pintu kantor. Ia memastikan tak ada seorang pun yang boleh membuka segel itu.
Tahun 2005, Yanti dan keluarga menyerahkan lahan itu secara cuma-cuma kepada pemerintah daerah untuk dibangun kantor. Sebagai ucapan terima kasih, perwakilan pemerintah kala itu berjanji akan memperhatikan nasib anak-anak dari keluarga mereka atau warga sekitar kantor, yakni Kampung Laran, Betun, ibu kota Kabupaten Malaka. Yanti merasa janji itu kini diingkari.
Surat Keputusan Bupati Malaka Simon Nahak dengan No 24/HK/2022 tentang Pengangkatan Tenaga Kontrak Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Malaka Tahun Anggaran 2022 pada 10 Januari 2022 membuatnya kecewa. Beberapa waktu lalu, pihaknya berusaha mempertanyakan keputusan pengangkatan 978 tenaga kontrak itu, tetapi menemui jalan buntu.
”Bupati punya keputusan mengecewakan kami. Orang-orang di kampung kami tidak ada satu pun yang jadi tenaga kontrak daerah. Saya tidak minta anak kandung saya, tapi tolong perhatikan anak-anak di kampung sini,” kata Yanti dengan nada amarah.
Ia juga protes lantaran beberapa orang yang diangkat menjadi tenaga kontrak dianggap tidak layak. ”Kalau mau angkat orang, cari yang muda-muda. Ada yang sudah pensiun dari ASN (aparatur sipil negara), tapi kenapa diangkat lagi jadi tenaga kontrak,” lanjutnya.
Dari hasil penelusuran Kompas, ada pensiunan ASN dan berusia di atas 65 tahun. Ada juga sejumlah kejanggalan, seperti beberapa wartawan media lokal di Malaka masuk dalam daftar tenaga kontrak. Wartawan itu terdistribusi di beberapa dinas. Padahal, dalam keseharian mereka tetap menjalankan tugas jurnalistik.
Penyegelan kantor pencatatan sipil membuat warga yang sudah telanjur datang untuk mengurus administrasi kependudukan kecewa. Pelayanan di kantor lumpuh total. Padahal, kantor tersebut paling banyak didatangi warga setiap hari, mulai Senin hingga Jumat. Mereka mengurus administrasi kependudukan, seperti kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan akta kelahiran.
Warga menilai pemilik lahan tidak dewasa dalam bersikap. Pemilik lahan mengorbankan kepentingan publik. ”Saya sudah datang jauh-jauh, bayar ojek mahal-mahal, untuk mau urus KTP, tapi kantor disegel. Jangan korbankan kepentingan orang banyak,” kata Berto Bria (30), warga Io Kofeu. Jarak kampung itu dengan Betun sekitar 34 kilometer. Sebagian besar medan jalan rusak berat.
Masyarakat juga mendesak agar pemerintah segera mencari jalan keluar. Tak hanya kantor tersebut, penyegelan juga dilakukan di beberapa fasilitas umum lainnya, seperti kantor Bupati Malaka, Rumah Sakit Umum Penyangga Perbatasan, Kantor Dinas Sosial, sejumlah kantor camat, dan beberapa puskesmas. Penyegelan mulai awal April itu didasari atas kekecewaan akan pengangkatan tenaga kontrak.
Komoditas kampanye
Senin siang, Simon bersama rombongan datang ke semua kantor yang disegel. Di kantor pencatatan sipil, Simon langsung disambut Yanti dengan kemarahan. Dalam bahasa daerah, Yanti berteriak meluapkan kekecewaannya. Ia bahkan menyinggung perannya dalam pemenangan Simon saat kampanye Pilkada Malaka tahun 2020. Setelah berbincang dengan keluarga, segel itu akhirnya dibuka.
Ketika masa kampanye, ada tim sukses pemenangan yang menjanjikan banyak hal termasuk mengakomodasi para pendukung dan simpatisan jika berminat menjadi tenaga kontrak daerah. Isu tenaga kontrak daerah tak jarang menjadi komoditas politik paling laris saat pilkada. Tenaga kontrak daerah diangkat berdasarkan keputusan bupati.
Pegawai kontrak daerah menjadi satu-satunya lowongan di pemerintahan yang diperebutkan. Mulai dari pegawai fungsional di dinas, tenaga kesehatan di rumah sakit dan puskesmas, sopir pejabat, staf di rumah jabatan, teknisi listrik, dan petugas kebersihan. Lantar belakang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga sarjana berpeluang mengisi posisi tersebut berdasarkan kualifikasi.
Menjelang akhir tahun 2021, pemerintah daerah mengumumkan akan membuka rekrutmen tenaga kontrak daerah dengan kuota 1.000 orang. Inilah rekrutmen pertama sejak Simon dilantik menjadi bupati pada April 2021. Sebanyak 6.000 orang mengajukan lamaran. Setelah diseleksi, banyak orang termasuk keluarga pemilik lahan yang dijanjikan pemerintah tidak diakomodasi. Rekrutmen itu akhirnya berujung penyegelan kantor.
”Saya bersama pemilik lahan sudah bicara dari hati ke hati. Kami sudah mencapai titik temu. Syukur, malam ini kantor yang disegel sudah kami buka sehingga mulai besok (Selasa) pelayanan publik akan kembali normal seperti biasa,” kata Simon pada Senin malam. Ia berjanji akan merevisi kembali surat keputusan pengangkatan tenaga kontrak dengan mengakomodasi keluarga pemilik lahan.
Simon menuturkan, kuota tenaga kontrak yang direkrut pada masa kepemimpinannya jauh berkurang dibandingkan periode sebelumnya yang mencapai 5.000 orang. Terbatasnya anggaran menjadi alasan. Dari Rp 837 miliar anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2022, sebagian besar sudah habis untuk belanja rutin pemerintah. Belum lagi penyesuaian untuk penanganan pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, ia sangat mengharapkan pengertian baik dari masyarakat untuk memahami kondisi keuangan daerah. ”Bisa dihitung, kalau satu orang tenaga kontrak itu rata-rata digaji Rp 1,5 juta per bulan, berapa banyak anggaran yang dikeluarkan daerah untuk membayar gaji mereka. Padahal, daerah ini butuh anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang masih minim,” katanya.
Tuti Lawalu, pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira, Kupang, berpendapat, bekerja pada sektor pemerintah dengan gaji tetap bulanan menjadi pilihan masyarakat di tengah sulitnya mencari pekerjaan di daerah itu. Kondisi itu terjadi di hampir semua daerah. Padahal, besaran gaji tenaga kontrak tergolong rendah, di bawah upah minimum kabupaten setempat, yakni Rp 1,9 juta per bulan.
Tuti mendorong generasi muda Malaka untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan di sektor pertanian. Daerah Malaka, terutama di dataran rendah, merupakan wilayah subur karena dialiri Sungai Benenai. Banyak hasil pertanian dari Malaka disuplai ke kabupaten/kota lain di Pulau Timor. Sebagai contoh, pasokan pisang untuk Kota Kupang paling banyak dibawa dari Malaka. Jumlahnya mencapai 617 ton per tahun.
Pemerintah daerah, lanjut Tuti, bertanggung jawab terciptanya lapangan kerja di daerah lewat investasi maupun proyek padat karya. Menurut data Badan Pusat Statistik, angka pengangguran terbuka di Malaka tahun 2020 mencapai 3.288. Angka itu semakin meningkat selama pandemi Covid-19 dua tahun terakhir. Dari 87.226 orang yang bekerja pun, hampir 85 persen adalah buruh serabutan.
Pengangkatan tenaga kontrak yang diwarnai dengan drama penyegelan gedung pemerintah jangan sampai terulang. Perlu kepiawaian seorang kepala daerah dalam mengelola dinamika sosial, ekonomi, dan politik di daerahnya. Meski tak jarang, kepala daerah harus menghadapi situasi serba salah, bak buah simalakama.