Pilkada Kabupaten Malaka, NTT, berlangsung dengan tensi tinggi karena diikuti hanya dua pasangan, yakni petahana dan penantang. Pilkada juga dibumbui pertarungan dari kontestan yang berasal dari satu ”rahim” yang sama.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·6 menit baca
Tujuh tahun mekar dari wilayah induk, Kabupaten Malaka di Nusa Tenggara Timur masih berkelindan dengan persoalan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar yang belum memadai. Cerminan ironi di wilayah perbatasan negeri.
[caption id="attachment_11458121" align="alignnone" width="720"] Dua pasangan calon yang bertarung dalam Pilkada Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, tahun 2020.[/caption]
Mobil penumpang yang dikendarai Yoseph Hale (43) berjalan sangat pelan. Kecepatannya tidak pernah lebih dari 20 kilometer per jam. Jalanan yang dilewati tanah berbatu. Hampir tak ada jejak aspal sedikit di sepanjang ruas jalan dekat perbatasan Timor Leste, di Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, itu.
Saat hendak melewati beberapa tanjakan yang dianggap berisiko, penumpang diminta turun dari mobil. Ada tanjakan dengan kemiringan hingga 60 derajat dan sering makan korban. Mobil yang tak mampu menanjak dan mesinnya sebelum mencapai puncak, acap kali mundur dan berpotensi hilang kendali. Mobil bisa terbalik dan merenggut nyawa penumpang ataupun pengemudi.
Lebar jalan tak lebih dari 5 meter. Saat berpapasan dengan kendaraan dari depan, salah satunya harus mengalah, berhenti dan menepi di ruas yang agak lebar. Perjalanan pada Oktober 2020 itu menempuh jarak sekitar 18 kilometer dari Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, ke wilayah pedalaman di Kecamatan Sasitamean.
Waktu tempuhnya hingga 1 jam 30 menit. Padahal, perjalanan pada musim kemarau itu tergolong lancar.
Pada musim hujan, kondisinya lebih buruk. Terdapat kubangan lumpur di banyak ruas jalan. Mobil pun semakin sulit menanjak pada jalan yang licin. Terkadang mereka membawa pasir dan kerikil untuk ditabur agar ban masih bisa menapaki jalanan yang licin. Puluhan tahun melewati rute itu, Yoseph paham betul medannya.
”Banyak pejabat pernah lewat di sini dan mereka janji akan berjuang memperbaiki jalan. Setiap pemilu, mereka berjanji terus. Ini bikin kami tidak percaya lagi dengan orang politik yang janji saat kampanye seperti sekarang,” ujar Yoseph menyinggung pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Malaka tahun ini.
Jalanan itu menjadi akses bagi puluhan ribu orang yang tersebar di beberapa kecamatan, seperti Laenmanen, Botin Leobele, Io Kufeu, Malaka Tengah, dan Sasitamean. Lewat jalan itu mereka datang ke Betun. Di Betun, mereka menjual hasil pertanian, mengurus kebutuhan administrasi, dan berobat. Betun menjadi pusat perdagangan, pemerintahan, dan satu-satunya wilayah yang terdapat rumah sakit.
Banyak pejabat pernah lewat di sini dan mereka janji akan berjuang memperbaiki jalan. Setiap pemilu, mereka berjanji terus. Ini bikin kami tidak percaya lagi dengan orang politik yang janji saat kampanye seperti sekarang. (Yoseph Hale)
Kondisi jalanan rusak terasa kian memprihatinkan saat evakuasi warga yang sakit berat atau ibu hamil yang memerlukan pertolongan melahirkan. Mobil penumpang atau ambulans tidak bisa melaju dengan cepat di jalanan yang rusak karena guncangan bisa memperparah kondisi pasien. Namun, di sisi lain, pasien memerlukan bantuan segera. Tak jarang, ada pasien yang tidak tertolong, meninggal dalam perjalanan.
Jalan rusak menjadi potret minimnya pembangunan infrastruktur di Malaka. Tak hanya jalan, akses dasar berupa air bersih bagi sebagian warga juga sulit. Di Desa Manulea, Kecamatan Sasitamean, sejumlah warga menggunakan air sungai yang kotor untuk mandi dan mencuci. Di sungai itu pula kawanan sapi minum air.
Kebutuhan warga akan air minum dipenuhi dengan air bersih yang dijual mobil tangki. Air di tangki ukuran 1.250 liter dibeli Rp 60.000. Padahal, di desa itu terbangun jaringan perpipaan dan bak penampungan air. Tak setetes air pun yang keluar dari proyek perpipaan itu.
Persoalan air bersih membuat daerah tersebut belum tuntas dalam hal sanitasi. Yayasan Pijar Timur Indonesia dengan wilayah kerja di NTT mencatat, hingga Oktober 2020, sebanyak 114 desa atau sekitar 90 persen dari total 127 desa di Kabupaten Malaka belum memenuhi standar sanitasi total berbasis masyarakat. Yang baru memenuhi standar hanya 13 desa.
Padahal, sanitasi sangat besar berperan dalam tumbuh kembang anak. Tengkes pada anak balita, 70 persen di antaranya disebabkan faktor sanitasi lingkungan. Faktor gizi pada asupan makanan hanya 30 persen. Saat ini, angka tengkes anak balita di Malaka mendekati 5.000 anak atau hampir 25 persen dari total anak balita.
Persoalan lain yang selalu menghantui adalah banjir. Wilayah di bantaran Sungai Benenai selalu menjadi langganan banjir setiap tahun dan kini sudah bisa diatasi dengan pembangunan tanggul. Kini, banjir mulai muncul di titik lain yang lebih strategis, yakni Betun, ibu kota kabupaten. Banjir terjadi karena buruknya drainase.
Parit yang dibangun tidak saling terhubung. Genangan pun terjadi di sejumlah titik.
Infrastruktur dasar masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemimpin di kabupaten yang terbentuk pada 2013 itu. Malaka, yang berada di Pulau Timor, mekar dari Kabupaten Belu. Persoalan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi isu politik yang hangat, di tengah pelaksanaan pemilihan kepala daerah.
Pilkada Malaka diikuti dua pasangan calon, yakni Simon Nahak-Louise Lucky Taolin dan petahana Stefanus Bria Seran-Wendelinus Taolin. Stefanus-Wendelinus diusung koalisi besar partai pemilik 20 kursi di parlemen, sedangkan Simon-Louise didukung partai pemilik 5 kursi. Persaingan dua kandidat berjalan ketat dengan tensi cenderung menghangat.
Para pendukung petahana berharap agar calon mereka melanjutkan periode kedua, termasuk menuntaskan pembangunan infrastruktur yang belum rampung. Waktu lima tahun pertama dianggap tidak cukup, terlebih Malaka merupakan daerah yang baru mekar.
”Biarkan mereka menuntaskan pembangunan. Mereka punya pengalaman,” ujar Paul Seran (45), pendukung petahana.
Dari pendukung penantang, mereka mendorong agar perlu adanya perubahan. Mereka mengkritik kepemimpinan petahana yang dianggap minim terobosan untuk menyelesaikan persoalan mendasar. Infrastruktur, terutama air bersih, seharusnya sudah tuntas.
”Biasanya, pada periode kedua, kepala daerah tidak punya beban lagi. Dia teruji di periode pertama,” ujar Agnes Fahik (35), pendukung penantang.
Gesekan antarpendukung dalam Pilkada Malaka sempat memanas. Terjadi saling serang di media sosial, bahkan sampai dunia nyata. Sempat terjadi baku lempar dan adu fisik. Saat ini, setiap kali kampanye, aparat dari Polres Malaka dikerahkan untuk mengawal iring-iringan dan juga di lokasi kampanye.
Pemimpin umat Katolik di Malaka, RD Edmundus Sako, mengimbau kedua pasangan calon, pendukung, dan masyarakat agar menjaga kedamaian. Perbedaan pilihan politik diharapkan tidak mengoyak persatuan dan persaudaraan.
Imbauan moral dari tokoh agama Katolik itu beralasan, mengingat masyarakat Malaka mayoritas memeluk Katolik, sekitar 95 persen dari total penduduk 191.891 jiwa.
”Tetap menjaga hubungan persaudaraan. Pilkada ini hanya berlangsung lima tahun sekali, sedangkan persaudaraan kita berlangsung selamanya,” ujar Dominggus, seusai memimpin perayaan ekaristi di Betun.
Ajakan menjaga persaudaraan juga tidak lepas dari keberadaan empat tokoh yang bertarung. Stefanus dan Simon sama-sama berasal dari Desa Besikama, di Kecamatan Malaka Barat. Dua calon bupati itu berasal dari satu suku, dari rumah adat, serta leluhur yang sama. Keduanya mewakili etnis dari daerah dataran rendah atau dalam istilah lokal, fehan.
Tetap menjaga hubungan persaudaraan. Pilkada ini hanya berlangsung lima tahun sekali, sedangkan persaudaraan kita berlangsung selamanya. (Edmundus Sako)
Begitu pula Wendelinus dan Louise yang memiliki hubungan lebih dekat. Wendelinus merupakan adik kandung dari Ludovikus Taolin, ayah kandung dari Louise. Dua sosok ini sekaligus mewakili komunitas dari kalangan pegunungan atau yang disebut foho.
Tanggal 9 Desember mendatang menjadi momentum bagi warga untuk menggunakan hak pilihnya di 395 tempat pemungutan suara. Pilihan mereka turut menentukan masa depan Malaka. Apa pun, pilkada dengan bumbu persaingan satu darah tidak boleh merusak persaudaraan di Tanah Timor.