Harmoni dan Kedamaian di Kota Betun
Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, NTT, dikepung areal persawahan. Kota itu bak oase di tengah daratan Pulau Timor yang tandus. Melewati suasana pagi di kota kecil itu serasa menghirup damai yang menenteramkan.
Suara azan Subuh bersahutan dari pengeras suara dua masjid memecah keheningan Betun, kota kecil yang hampir semua penduduknya memeluk ajaran Kristen. Beberapa pria yang mengenakan sarung dengan songkok putih berjalan dari kegelapan menuju masjid di pusat kota. Mereka menyapa dengan sangat ramah.
Jalanan lengang, hanya sesekali kendaraan melintas. Sebagian besar pintu dan jendela rumah penduduk pun masih tertutup rapat.
Barangkali mereka masih tertidur lelap setelah semalam dilanda kecemasan akibat hujan yang mengguyur lebat. Banyak dari mereka khawatir akan datang banjir yang mulai mengancam permukiman satu tahun belakangan.
Subuh pun berlalu menjemput pagi. Di sisi timur kota mulai muncul bias cahaya mengajak kaki berjalan mendekat. Berjalan dalam selimutan hawa sejuk sambil menghirup bau basah pepohonan yang berdiri rimbun di sisi jalan.
Masker pelindung dari ancaman virus korona yang melekat setiap kali ke luar rumah sejenak boleh dilepas. Saatnya menghirup lebih dalam dan lama oksigen yang diembus dedaunan.
Bias cahaya semakin terang. Rotasi bumi membuat sumber cahaya seakan terus bergerak naik menembus permukaan. Kaki pun terdesak melangkah lebih cepat. Di depan sana terbentang ratusan hektar sawah, tempat yang indah untuk menyambut datangnya cahaya mentari. Sungguh kedamaian terasa di Betun, ibu kota Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur, Jumat (9/10/2020).
Mentari pagi mencuat, cahayanya menyorot semesta Betun, menembusi pepohonan, sawah, dan permukiman. Awan hitam yang menggantung semalam telah pergi menyisakan langit biru. Tampak cahaya mentari berwarna putih dengan lingkar kekuningan berada di tengah, melengkapi panorama langit biru dan hamparan sawah menghijau. Sajian alam yang menenteramkan jiwa.
”Kedamaian Betun salah satunya di sini. Melihat terbitnya matahari, bisa bikin imun kuat,” celetuk Rahmat (25), mengaitkan momen itu dengan pandemi Covid-19. Yang ia tahu, salah satu cara menangkal virus korona baru penyebab Covid-19 adalah menjaga daya tahan tubuh atau imun. Selain makan dan berolahraga secara teratur, imun tubuh juga ditentukan oleh suasana hati.
Rahmat bukan warga asli Betun. Ia berasal dari Surabaya, Jawa Timur, yang bertugas di salah satu kantor pemerintah di Betun selama dua tahun belakangan. Untuk menjaga kebugaran, hampir setiap pagi ia berolahraga dengan berjalan dan berlari santai di areal persawahan itu.
Oleh warga setempat, areal persawahan itu dinamakan Bakateu. Di Betun banyak areal persawahan yang bisa menjadi tempat untuk menikmati momen serupa. Betun berada di tengah hamparan persawahan. Daerah itu termasuk subur apabila dibandingkan dengan sebagian besar wilayah Pulau Timor yang tandus. Betun bak oase saat menyusuri Tanah Timor.
Harmoni alam seperti yang tersaji pagi itu tergambar dalam keseharian masyarakat Betun yang hidup berdampingan dengan damai. Betun berada di Malaka Tengah. Jumlah penduduk di kecamatan itu, menurut data Badan Pusat Statistik, mayoritas memeluk Katolik sekitar 89 persen, diikuti Kristen Protestan 6 persen, Islam 4 persen, dan 1 persen agama lainnya.
”Orang di sini tidak bicara tentang masalah agama. Kami yang minoritas bisa beribadah dengan aman dan nyaman,” ujar Rahmat sambil menyebut beberapa daerah di Indonesia yang sangat tinggi tingkat intoleransinya.
Sekadar membandingkan, di pusat kota Betun terdapat dua gereja Katolik, dua gereja Protestan, dan dua masjid.
Baca juga: Kian Jauh dari Episentrum Lebih Patuh Protokol Covid-19
Dari sisi sejarah, Betun dan wilayah Malaka pada umumnya dulu menjadi daerah jajahan Portugis yang identik dengan Katolik. Setelah Portugis mundur, giliran Belanda yang menguasai. Banyak peninggalan sejarah tersimpan di sejumlah rumah adat dan kini disakralkan. Setelah era kemerdekaan, banyak pedagang dari Sulawesi dan Jawa datang dan tinggal di Betun.
Orang di sini tidak bicara tentang masalah agama. Kami yang minoritas bisa beribadah dengan aman dan nyaman.
Yus Opat (40), warga asli Betun, mengatakan, kerja sama antarumat beragama di Betun juga berjalan dengan baik. Pada saat umat Kristen merayakan hari besar keagamaan, pemuda Islam terlibat dalam pengamanan, begitu juga sebaliknya.
”Kami sudah merasa sebagai keluarga. Saya pernah ikut teman saya beragama Islam ke kampungnya di Makassar,” ujarnya.
Modal keharmonisan itu membuat Betun terus tumbuh sejak ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Malaka. Malaka mekar dari Kabupaten Belu tahun 2013. Betun kian bergeliat setelah dibangun jalan lintas selatan dari Batu Putih, Timor Tengah Selatan, hingga Motamasin, perbatasan Timor-Leste. Jalan itu melewati Betun. Betun berjarak 241 kilometer dari Kupang dengan waktu tempuh sekitar 6 jam lewat jalan darat.
Betun dan daerah sekitarnya yang dilintasi Sungai Benenai merupakan salah satu sentra pertanian di NTT sejak dulu. Di sana terdapat lebih kurang 10.000 hektar ladang tadah hujan dan sawah irigasi. Hasil pertaniannya sebagian untuk menyuplai kebutuhan masyarakat di beberapa kabupaten tetangga, seperti Belu, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, bahkan hingga ke negara tetangga, Timor-Leste.
Perbaiki tata kota
Ke depan, Betun diprediksi akan tumbuh semakin pesat. Oleh karena itu, Betun harus ditata secara baik. Sistem drainase kota yang buruk harus diperbaiki. Banyak ruas parit tergenang air yang warnanya menghitam dan berbau. Air bercampur sampah plastik terjebak di dalam parit. Parit tidak saling terhubung.
Ada pula ruas parit yang genangan airnya hampir mencapai permukaan. Belum ada kanal besar yang dibangun untuk mengalirkan air ke sungai atau laut. Sungai terdekat adalah Benenai, sekitar 9 kilometer dan pesisir terdekat adalah Laut Timor yang berjarak sekitar 7 kilometer.
Jika terjadi hujan lebat dalam waktu 30 menit saja, air di parit dengan kedalaman 1,5 meter itu akan meluap, kemudian menggenangi permukiman di sekitar jalur itu. Apabila pembangunan fisik semakin tumbuh pesat dan tidak ada lagi daerah resapan, banjir di Betun semakin parah. Sebagian masyarakat mulai berpikir mendesain rumah dengan menambah tinggi fondasi.
Baca juga: 90 Persen Desa di Malaka Belum Memenuhi Standar Sanitasi
Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Malaka Yohanes Nahak mengakui, saluran drainase di Betun belum ditata secara baik. ”Memang kondisi demikian. Kami juga belum mempunyai grand design bagaimana menata saluran drainase. Daerah ini belum lama mekar sehingga masih banyak yang perlu dibenahi,” ujarnya.
Ia mengatakan, terdapat sejumlah kesulitan dalam membuat saluran drainase yang bermuara ke laut atau ke sungai. Perlu anggaran besar. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Malaka hampir Rp 1 triliun. Namun, jumlah itu sebagian besar untuk belanja pegawai dan pembenahan infrastruktur. Malaka yang berada di perbatasan masih minim pembangunan infrastruktur dasar.
Belum terlambat menata Betun menjadi lebih baik lagi. Bola kini ada di tangan pemerintah daerah. Dari sisi sosial, harmonisasi antarwarga menjadi modal membangun kota. Merasakan harmoni seperti azan yang bersahutan di tengah kota yang mayoritas Kristiani serta suguhan mentari pagi di sawah Bakateu serasa menghirup kedamaian.