Perihal Enam Nyawa Melayang Kecelakaan di Jalur ”Tengkorak” Pantura Cirebon
Minibus menabrak truk yang sedang menambal ban di bahu jalan. Bukan kejadian pertama di jalur pantura.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Kecelakaan maut di Gebang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yang menewaskan enam orang menguak berbagai ancaman di jalur pantai utara, mulai dari jalan bergelombang hingga kelalain pengendara. Tanpa perbaikan, jalur ”tengkorak” itu bakal menelan korban jiwa lagi.
Darah masih menempel di kursi dan kap depan mobil Toyota Avanza bernomor polisi G 1031 CC yang teronggok di depan Polsek Gebang, Cirebon, Senin (4/4/2022). Bagian depan minibus putih itu hancur, hampir gepeng. Mesinnya remuk. Hampir seluruh atapnya tersingkap.
Inilah kondisi mobil setelah menghantam truk tangki bernomor polisi BH 8350 MV di jalur pantura arah Jakarta, tepatnya Desa Playangan, Kecamatan Gebang, Minggu (3/4/2022) sekitar pukul 13.00. Saat itu, minibus menabrak belakang truk yang parkir di bahu jalan untuk menambal ban.
Kecelakaan terjadi di jalur lurus saat cuaca cerah. Saking kerasnya benturan, sebagian badan mobil yang dikendarai Andri Prasetyo (25) itu melesap ke bawah truk. Andri dan lima penumpang lainnya sempat terjepit. Warga dan aparat pun berusaha mengevakuasi korban.
Petaka di jalur pantura Gebang tersebut harus menjadi alarm bagi pengendara dan pemerintah. (Djoko Setijowarno)
Tiga nyawa melayang di lokasi dan tiga lainnya meninggal di RSUD Waled. Selain Andri, korban lainnya adalah Anan Nurmansyah (23), Dariyah (89), Sulastri (24), Sunarti (58), dan Surotun Nisak (20). Korban merupakan warga Kecamatan Warungasem, Batang, Jateng.
Berdasarkan olah tempat kejadian perkara (TKP), polisi menemukan 15 titik sepanjang 300-an meter yang menggambarkan kronologi kecelakaan. Titik tersebut berada di sebelah kiri jalan atau jalur lambat. Padahal, persneling terakhir mobil berada di angka tertinggi, yakni lima.
”Belum kami temukan jejak bekas rem,” ujar Kepala Seksi Penyidikan Kecelakaan Korps Lalu Lintas Polri Ajun Komisaris Besar Tri Yulianto saat olah TKP. Indikasinya, lampu rem belakang mobil tetap utuh. Jika difungsikan sebelum kecelakaan, lampu rem seharusnya rusak.
Pihaknya belum memastikan penyebab kecelakaan adalah pengemudi mengantuk. Polisi terus mendalami kecepatan dan waktu tempuh kendaraan. ”Apakah dia konsumsi obat-obatan sehingga hilang konsentrasi, butuh pembuktian. Makanya, kami visum,” katanya.
Kepala Satuan Lalu Lintas Polresta Cirebon Komisaris Alan Haikel menduga, korban berangkat dari Jakarta pagi hari. Dari barang bawaan, korban diperkirakan akan mudik ke Batang. ”Korban ingin mudik dalam rangka hari Ramadhan pertama,” ucapnya.
Sayangnya, harapan korban untuk berkumpul bersama keluarga berakhir di buntut truk. Selain menyelidiki apakah minibus berpelat hitam itu merupakan milik pengendara atau travel gelap, polisi juga mengecek kelengkapan dokumen dan hasil uji kir truk tangki tersebut.
Dari olah TKP, truk bermuatan bahan solar itu tidak menyalakan lampu sein saat menambal ban di pinggir jalan. Hal itu tampak dari bola lampu sein yang masih utuh. Panjang kendaraan juga diduga tidak sesuai Peraturan Pemerintah RI Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan.
Dalam Pasal 5 bagian C nomor 2, panjang maksimal mobil bus besar adalah 12 meter. Namun, panjang truk tangki itu mencapai 12,3 meter. Dari kap depan hingga tangki, panjangnya 11,5 meter. Sisanya, sekitar 80 sentimeter berupa sasis atau rangka bawah, mirip bumper.
”Truk juga tidak pakai perisai kolong. Ini yang membuat mobil masuk ke bawah saat tabrakan,” ujar Eddy Suzendi, penguji kendaraan bermotor Dinas Perhubungan Kabupaten Cirebon, yang ikut mengecek truk itu. Padahal, perisai kolong di belakang truk dapat mencegah kefatalan.
Sosialisasi kurang
Sejak 2020, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan telah mengimbau pemilik truk agar memasang perisai kolong. Ketika itu, kecelakaan tabrak belakang antara mobil dan truk kerap terjadi, terutama di Jalan Tol Cikopo-Palimanan. Korban jiwa pun berjatuhan.
”Namun, sosialisasi ini belum berjalan maksimal di lapangan. Masih banyak yang belum menggunakan,” kata Eddy sambil menunjuk truk-truk yang melintas di pantura. Apalagi, tidak sedikit truk yang singgah di pinggir jalan untuk mendinginkan mesin atau menambal ban.
Di lokasi kecelakaan maut saja, ada tiga bengkel yang menjadi tempat parkir truk. Di sana juga tersedia toilet dan tempat bersantai sambil minum kopi. ”Di sini, rata-rata sehari bisa tujuh truk yang singgah. Ngirit biaya kalau lewat pantura, bisa ngopi,” kata Toyib (56), pemilik bengkel.
Sebagai gambaran, tarif kendaraan golongan III atau truk yang melintas dari Gerbang Tol Cikopo ke GT Palimanan di Cirebon sebesar Rp 196.000. Meskipun Cipali bisa memangkas hingga 40 kilometer dari Jakarta ke Cirebon, beberapa sopir truk memilih jalur pantura untuk menghemat.
Sejak Tol Trans-Jawa tersambung beberapa tahun terakhir, kata Toyib, jalur pantura tak lagi jadi primadona. Hanya truk dan sepeda motor yang kerap melintas di sana. Jalanan tak sepadat dahulu. Kecepatan rata-rata kendaraan pun bisa 60-70 kilometer per jam.
Masalahnya, kehilangan konsentrasi berakibat fatal. Apalagi, marak truk yang tidak menggunakan perisai kolong dan mampir di bahu jalan. Beberapa titik di jalan pantura juga bergelombang, bekas tambalan aspal. Jalan didominasi trek lurus dan minim penerangan jalan.
Gebang sendiri termasuk salah satu ruas jalan di Cirebon yang rentan kecelakaan. Daerah lainnya tersebar di Pangenan, Palimanan, hingga Susukan. Selama 2021, di wilayah hukum Polresta Cirebon terjadi 421 kecelakaan dengan korban meninggal 229 orang. Tahun sebelumnya, korban jiwa 270 orang.
”Kalau laporan sementara, (jalur pantura) ini termasuk kategori rawan. Kita akan lihat data satu tahun terakhir berapa kali kejadian (kecelakaan) di sini,” kata Tri. Oleh karena itu, Tri mendorong berbagai pihak untuk bersinergis dan mencegah kecelakaan maut berulang.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno mengatakan, petaka di jalur pantura Gebang tersebut harus menjadi alarm bagi pengendara dan pemerintah. Apalagi, akhir bulan ini merupakan arus mudik Lebaran.
Ia mengimbau pengendara, yang mengemudi selama empat jam berturut-turut, wajib istirahat paling singkat setengah jam. Ini sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bahkan, katanya, pengendara sebaiknya istirahat setiap dua jam.
Berbagai upaya itu demi mencegah pengendara hilang kendali di jalan. ”Kecelakaan karena mengantuk ini harus dievaluasi terus. Untuk perjalanan jauh, misalnya, harus ada dua sopir. Pemerintah bisa membuat kampanye mencegah ngantuk,” ujarnya.
Tanpa upaya berbagai pihak, jalur ”tengkorak” pantura bakal memakan korban jiwa lagi. Ingat, jalur pantura yang merupakan bagian Jalan Raya Pos sejak abad ke-18 dibangun untuk memperlancar arus barang dan jasa, bukan ”kuburan” bagi pengguna jalan.