Harapan besarnya adalah menekan angka kecelakaan di Tanah Air. Terkait itu, sampai kapan seluruh pihak siap mencapai target "zero ODOL"?
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
ALIF ICHWAN
Sejumlah truk melintas di jalan tol TB Simatupang, Jakarta, Minggu (12/1/2020). Kementerian Perindustrian meminta Kementerian Perhubungan menunda rencana bebas angkutan barang kelebihan dimensi kelebihan muatan atau Overdimension Overload (ODOL). Rencananya Indonesia bebas truk ODOL 2021 dan dimulai dari jalan tol. Pertimbangan agar zero ODOL ditunda yakni logistik dan distribusi bahan baku maupun produk industri nasional sangat bergantung dengan moda transportasi darat yaitu truk.
Ada harapan besar untuk menekan angka kecelakaan transportasi darat di Tanah Air. Namun, masih marak kecelakaan menimpa truk akibat kelebihan dimensi dan muatan. Kecelakaan juga menimpa pengguna jalan lainnya akibat keberadaan truk tersebut.
Korban jiwa berjatuhan. Kerusakan kendaraan pun jadi masalah. Selain itu, truk yang kelebihan dimensi dan muatan ( over dimension over loading/ODOL) juga rawan mogok atau melaju lamban sehingga menghambat arus lalu lintas.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, terus mendorong tercapainya target "zero ODOL" pada tahun 2030. Tak hanya dibeberkan data angka kecelakaan, tetapi berulang disampaikan bahwa badan truk yang kelebihan dimensi membuat daya angkutnya berlebihan. Kelebihan beban ini disebut sebagai cikal-bakal kerusakan jalan. Akibatnya, beban anggaran untuk perbaikan jalan pun membengkak, mencapai triliunan rupiah per tahun.
Perjalanan menuju pencapaian target "zero ODOL" 2030 itu tampaknya tak berjalan mulus. Pengusaha belakangan menyatakan ketidaksiapan. Dampak pandemi Covid-19 dalam dua tahun ini menjadi salah satu alasannya.
Dalam webinar “Sidang Para Pakar Keselamatan Transportasi Darat” di Jakarta, Rabu (23/3/2022), Perkumpulan Pengemudi Jakarta Raya blak-blakan membeberkan potret buram pelaksanaan penertiban ODOL maupun pengalaman buruk menghadapi aparat penegak hukum yang kerap disebut oknum di jalanan.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Truk diparkir menutup jalan frontage Ahmad Yani saat aksi unjuk rasa sopir truk di depan Kantor Dishub Jatim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). Unjuk rasa tersebut dilakukan oleh gabungan paguyuban sopir truk, untuk menolak kebijakan pemerintah terkait pembatasan truk yang terkategori over dimension over loading (ODOL). Para sopir juga menolak segala bentuk sanksi dari pihak pemerintah terhadap sopir truk yang melintas di jalanan yang berupa, sanksi tilang dan sanksi pemotongan komponen bodi truk yang dianggap melebihi kapasitas.
Masalah ini bermula dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Aturan ini semestinya terlebih dahulu mengatur secara jelas perihal pelanggaran, apakah penanggung jawabnya pengemudi, pengusaha jasa angkut, atau pemilik barang? Ini perlu diatur agar dalam pelaksanaanya, pengemudi tidak terbebani dan selalu dipersalahkan, sekaligus jadi “ATM” bagi banyak pihak.
Bagi pengemudi, harapan mereka tidak banyak, hanyalah “kenyamanan”. Artinya, nyaman di jalan, nyaman dalam melakoni pekerjaan. Di jalan, masih saja ada oknum petugas, preman, begal, bahkan “bajing loncat” yang suka merampok barang. Pungutan liar oleh oknum kepolisian maupun dinas perhubungan masih terus terjadi di lapangan.
Pengemudi juga kerap kesulitan memperoleh bahan bakar solar, terutama di daerah Sumatera (Bengkulu, Linggau, Jambi, Lampung). Antrean panjang menuju SPBU sering terjadi, bahkan sampai dua hari dua malam, karena kelangkaan pasokan BBM. Anehnya, solar berjeriken-jerikan terlihat ditawarkan penduduk.
Aturan ini semestinya terlebih dahulu mengatur secara jelas perihal pelanggaran, apakah penanggung jawabnya pengemudi, pengusaha jasa angkut, atau pemilik barang?
Menurut perspektif Korlantas Polri, secara umum penanganan ODOL berpedoman pada data evaluasi kecelakaan lalu lintas. Hampir setiap hari, rata-rata 69 korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh Indonesia. Tentunya, gambaran data ini mencakup keseluruhan korban pengguna jalan, baik yang disebabkan oleh sepeda motor, mobil, angkutan umum maupun, angkutan barang.
Secara spesifik, kecelakaan yang disebabkan atau dialami truk ODOL mengalami kenaikan, dari 30 kasus pada tahun 2020 menjadi 59 kasus pada 2021. Korban meninggal dunia pun meningkat dari 12 orang menjadi 26 orang. Kerugian yang dihitung dengan metode the gross output pada 2020 mencapai Rp 8,9 miliar, sedangkan tahun 2021 mencapai Rp 22 miliar.
LASTI KURNIA
Kementerian Perhubungan memotong truk over dimension over load alias ODOL pada seremoni sebelum pembukaan acara Rapat Koordinasi Teknis Perhubungan Darat, di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (2/2/2020). Pemotongan ini sejalan dengan program Kementerian Perhubungan untuk memberantas ODOL pada 2020.
Kelebihan dimensi dan muatan adalah substansi yang berbeda. Meminjam pandangan Korlantas Polri, kelebihan dimensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 316 (ayat 2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah suatu kejahatan lalu lintas. Karena itu, Polri menangani sebatas berita acara pemeriksaan biasa, berkoordinasi dengan kejaksaan, dan akan diputuskan di pengadilan.
Adapun, kelebihan muatan barang adalah pelanggaran lalu lintas sebagaimana diatur dalam Pasal 307 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penanganannya dilakukan dengan penilangan. Subyek hukumnya adalah pengemudi dengan sanksi pidana pokok, pidana tambahan, dan administrasi.
Dari sisi penyelenggara jalan, ODOL berkontribusi besar merusak jalan. Kementerian Perhubungan memandang ODOL sebagai pemicu kecelakaan dan kerusakan jalan.
Problem ODOL masih panjang. Pengusaha pemilik barang dan jasa angkutan barang, bukan sopir, menyebut ODOL sebagai upaya menekan harga kebutuhan pokok serta memperkecil atau mengurangi biaya logistik. Dari sisi penyelenggara jalan, ODOL berkontribusi besar merusak jalan. Kementerian Perhubungan memandang ODOL sebagai pemicu kecelakaan dan kerusakan jalan.
Meminjam pandangan Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Bermotor Indonesia (IPKBI) Dwi Wahyono Syamhudi, zero ODOL bukanlah ditujukan untuk kepentingan Kementerian Perhubungan, melainkan untuk kepentingan pengemudi, orang yang berada di dalam kendaraan bermotor, keselamatan dan keamanan barang yang diangkut, dan terlebih lagi, kepentingan orang-orang yang berada di sekeliling kendaraan bermotor itu.
Salah satu pertanyaan besar, berapa hitung-hitungan nominal dari penggunaan kendaraan ODOL, sehingga truk-truk ODOL masih bebas berseliweran sampai sekarang, bahkan dianggap mampu mendongkrak perekonomian? Alasannya, meningkatkan taraf hidup (pengemudi), menurunkan biaya logistik, hingga menurunkan harga barang kebutuhan pokok.
Faktanya, hingga sekarang, tidak ada perhitungan valid. Tanpa perhitungan tersebut, desakan relaksasi zero ODOL atau pencegahan penertiban ODOL tidak memiliki dasar yang kuat.