Pegiat seni pantura Cirebon bersiap naik panggung lagi setelah tak ada ruang sejak pandemi Covid-19 berlangsung empat bulan lalu. Namun, kewajiban mereka tak mudah karena harus menjamin protokol kesehatan dilaksanakan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·5 menit baca
Setelah empat bulan dibungkam pandemi Covid-19, suara biduan dan pegiat seni lainnya di pantai utara Cirebon, Jawa Barat, bakal kembali menggema di panggung. Harapannya, ancaman jurang kemiskinan bisa dihindari.
Air mata Indah Gomez (31) jatuh saat mendengar Pemerintah Kabupaten Cirebon mengizinkan hajatan kembali digelar. Kepastian itu didapatkan Indah bersama ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Seniman Cirebon (ASC) saat berunjuk rasa di depan Kantor Bupati Cirebon, Jumat (10/7/2020). Mereka menuntut hajatan, sumber penghidupan biduan hingga tukang sound, kembali diizinkan,
Selain berorasi, massa juga memutar lagu tarling (gitar-suling) dangdut atau tardut dari pengeras suara yang terpasang di sebuah truk. Sebelas mobil bak terbuka juga membawa pengeras suara dan aneka poster berisi tuntutan massa.
Poster itu antara lain bertuliskan ”gara-gara lockdown, rabisewotbae (lockdown, istri marah terus)” atau ”Bansos seniman nol kosong”. Ada juga ”motor kudu setor, rabikududipakani, anak kududijajani, pegaweanedilokdon, manganesingndi, pa? (harus setor kredit motor, istri harus dinafkahi, anak harus diberikan uang jajan, tetapi enggak bisa kerja. Makannya dari mana, pak)”.
Para pengunjuk rasa juga menampilkan pertunjukan seni, seperti tari topeng kelana dan buroq. Jalan aspal yang dilapisi kain batik menjelma panggung. Akhirnya, di sana mereka bisa pentas lagi meski tidak dibayar. Bahkan, mengeruk duit sendiri untuk aksi.
Wajah mereka yang dipenuhi riasan mulai buyar disapu keringat, seperti rezeki yang hilang akibat pandemi. ”Lebih dari empat bulan saya enggak ada kerjaan karena hajatan dilarang. Tabungan sudah hampir habis,” kata Indah, yang membanting ”setir” dari biduan menjadi penjual sabun.
Ibu tiga anak ini harus bekerja karena suaminya, yang juga pemain gitar melodi di sebuah grup organ tunggal, ikut terdampak pandemi. Apalagi, salah satu anaknya baru masuk SMP dan membutuhkan biaya Rp 1,5 juta.
”Alhamdulillah, hasil jualan sabun bisa untuk beli susu anak saya yang masih 5 bulan. Paling tidak, susu harga Rp 150.000-Rp 200.000 untuk seminggu masih terpenuhi,” ungkap warga Pegambiran, Kota Cirebon, ini.
Ini jauh dibandingkan bayaran saat manggung, Rp 500.000 sekali pentas dari pagi hingga malam. Dalam kurun April-Juni, sebanyak 30 jadwal pentasnya batal akibat pandemi. Artinya, ia kehilangan Rp 15 juta.
Penyanyi pantura, Iis Apita (39), mengatakan, para biduan melewatkan bulan Syawal nyaris tanpa kegembiraan. Padahal, mereka bisa tampil 20 kali dalam bulan musim hajat itu. ”Tukang gendang saja bisa beli motor dari hasil panggungan bulan Syawal,” ungkap Iis, yang bergelut di dunia tardut lebih dari dua dekade.
ASC memprediksi, sekitar 2.000 pegiat seni dan pihak lain yang bergantung pada hajatan terdampak pandemi Covid-19. Hampir semuanya kehilangan penghasilan karena panggung menjadi satu-satunya sumber pendapatan. Untuk usaha, mereka kesulitan modal.
”Saya, kan, bukan PNS (pegawai negeri sipil). Enggak ada SK (surat keputusan) yang bisa dijaminkan ke bank,” lanjut Iis, yang memimpin grup musik tardut beranggotakan 20 orang. Praktis, ia dan biduan lainnya bergantung pada tabungan atau pinjaman kerabat.
Sebenarnya, pemerintah menyiapkan bansos bagi pegiat seni. Namun, hanya sebagian kecil yang mengaksesnya. ”Kami belum terdata karena sebelum Covid-19 tidak ada masalah finansial. Namun, sekarang, semua terdampak dan jadi orang miskin baru. Lihat tetangga dapat bantuan, rasanya gimana gitu,” katanya.
Kepala Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DSPPPA) Kota Cirebon Iing Daiman mengatakan, belum ada pengertian terkait orang miskin baru. Begitupun dengan jumlah orang miskin baru di Kota Cirebon. Namun, ia mengakui, banyak sektor terdampak Covid-19, termasuk biduan dan pegiat seni.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Jabar, pada Maret 2020 jumlah penduduk miskin mengalami kenaikan sekitar 544.000 jiwa. Dari awalnya 3,38 juta jiwa pada September 2019 menjadi 3,92 juta jiwa pada Maret 2020.
Jumlah penerima bansos, misalnya, melonjak dari 26.315 rumah tangga menjadi 97.891 rumah tangga. Artinya, ada 71.576 rumah tangga yang baru menerima bansos akibat terdampak Covid-19. Mereka adalah korban pemutusan hubungan kerja, dirumahkan perusahaan, dan para pegiat seni yang kehilangan pekerjaan.
Di Kabupaten Cirebon, pemerintah setempat menyiapkan anggaran jaring pengaman sosial sebesar Rp 48,2 miliar untuk menjaga penambahan orang miskin baru. Hingga Juni, lebih dari Rp 29 miliar telah terserap.
Ancaman hadirnya orang miskin baru ini menjadi salah satu pertimbangan Pemkab Cirebon mengizinkan hajatan dan pentas seni digelar dengan protokol kesehatan. ”Sudah ada standar operasional prosedurnya yang mengatur panitia hajat, seniman, dan penonton,” kata Asisten Daerah Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Cirebon Hilmi Rivai.
Panitia, misalnya, harus mendapatkan izin dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tingkat kecamatan dan kepolisian setempat. Penonton juga dibatasi sekitar 50 persen dari kapasitasnya dan wajib mengenakan masker serta menjaga jarak.
Panitia, misalnya, harus mendapatkan izin dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 tingkat kecamatan dan kepolisian setempat. Penonton juga dibatasi sekitar 50 persen dari kapasitasnya dan wajib mengenakan masker serta menjaga jarak.
Kondisi seluruh pihak juga harus sehat. Bintang tamu yang berasal dari luar Cirebon diwajibkan menyertakan hasil negatif Covid-19 dari tes usap tenggorokan atau nonreaktif setelah menjelani tes uji cepat. Adapun alat perlengkapan musisi harus disemprot cairan disinfektan.
Seluruh pihak diharapkan mematuhi protokol tersebut. Ini jelas bukan sesuatu yang mudah dilakukan di satu pergelaran. Apalagi, sebuah hajatan di Cirebon sempat menyebabkan bayi perempuan usia 50 hari tertular Covid-19. Sepuluh hari setelah keputusan membuka hajatan, pariwisata, hingga tempat hiburan, kasus positif Covid-19 juga meningkat dari 26 orang menjadi 41 orang.
Fajar Andianto (40), pengelola Dian Prima Management (DPM), grup musik tardut, mengatakan, para pegiat seni akan mematuhi protokol kesehatan. Namun, mereka membutuhkan dukungan pemerintah. Tes uji cepat bagi seniman dari luar kota, misalnya, butuh minimal Rp 150.000 per orang untuk tes uji cepat. Kalau satu grup ada 40 orang, biayanya bisa Rp 6 juta.
Fajar telah menyiapkan pelindung wajah, masker, sarung tangan, hingga jeriken berisi air dan cairan disinfektan. Jutaan rupiah pun telah dihabiskan untuk memenuhi protokol kesehatan saat pentas di hajatan. ”Akhir Juli ini, kami akan manggung di Majalengka,” ucapnya.
Selama pandemi, para penyanyi tardut sebenarnya sudah beradaptasi. Diana Sastra (42), istri Fajar yang juga pimpinan DPM, misalnya, tetap bernyanyi melalui konser daring. Sawerannya pun daring via transfer atau aplikasi pembayaran nontunai. Meskipun jumlahnya tidak sebanding saat tampil di panggung, konser itu dinikmati ratusan penggemarnya dari dalam dan luar negeri.
Pemerhati budaya Cirebon-Indramayu, Supali Kasim, meyakini, tarling bisa beradaptasi di tengah pandemi. Berawal dari laras pentatonik gamelan di gitar pada 1930, tarling menjelma membaur bersama musik pop dan kini dangdut.
”Seniman itu mengikuti kemauan masyarakat, dalam hal ini pemilik hajat,” ucapnya. Selama masih ada hajatan, mereka tetap mampu menyambung hidup meskipun pandemi. Semoga.