Cuit Burung Blekok, Mangrove, dan Langit Senja Situbondo
Warga Kampung Blekok di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, berkontribusi turut mencegah efek rumah kaca dengan konservasi mangrove. Upaya ini tak akan berhasil tanpa dukungan banyak pihak.
Makin lama, bumi semakin lelah. Iklim bergerak tak terkendali, menyebabkan bencana di sana-sini. Dari kampung ini, masyarakat setempat berusaha memitigasi dampak perubahan iklim dengan cara mereka.
Di antara cuit burung dan satwa lain, kaki-kaki kami menapaki jalur kayu di tengah hutan mangrove Kampung Blekok, Desa Klatakan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Senin (28/3/2022). Langit senja mulai redup, seolah bersiap hilang di balik lautan.
Pada ujung jalan, di antara rimbun mangrove dengan dahan bergelantungan, kami menemukan sebuah pondok bambu. Semacam kafe mini, yang rupanya disediakan untuk menjamu tamu. Di pondok kayu yang langsung menghadap ke barat, kami menikmati seduhan kopi dan mencicipi makanan tradisional seperti lupis dan gorengan.
”Senja paling indah ada pada bulan Mei-Juni. Sebab, matahari akan benar-benar hilang di tengah laut, persis lurus di hadapan pondok kayu ini,” kata Ranti Seta Ayu Pratiwi, Wakil Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Blekok. Meski kali ini bukan waktu terbaik, tetapi menanti senja sambil mengudap camilan kala itu adalah pengalaman luar biasa.
Baca juga : Tekan Konsumsi Batubara, Kawasan Pembangkit Listrik Paiton Manfaatkan Tenaga Surya
Kampung Blekok adalah sebutan bagi ekowisata mangrove dan burung air di jalur pantai utara Situbondo. Kawasan ini berjarak 10 kilometer (km) dari pusat kota Situbondo. Terjaga baiknya hutan mangrove di sini menjadikan daerah itu menjadi tempat tinggal dari ribuan burung air terutama dari jenis Ardeidae. Jenis burung terkenal di sini adalah blekok, kuntul, dan aneka burung air lainnya.
Blekok pulang
Jika ingin mengenal lebih jauh tentang Kampung Blekok, menyusuri kawasan itu dengan berperahu dan menginap di homestay warga adalah jawabannya. Dengan naik perahu, pengunjung bisa melihat pergerakan kawanan burung blekok dan kuntul datang dan terbang secara rombongan saat hari berganti.
Sore pukul 17.00 WIB adalah waktu terbaik menyaksikan serombongan blekok dan kuntul terbang secara bersamaan, pulang menuju sarangnya di hutan mangrove tersebut. Adapun pagi pukul 05.00 WIB, mereka secara berombongan terbang mencari makan ke tempat lain.
”Dahulu burung dan mangrovenya tidak sebanyak ini. Burung blekok ditangkap dan diperjualbelikan. Biasanya untuk dimakan. Tapi itu dulu. Kini tidak boleh lagi. Kampung kami jadi lebih indah dan bisa untuk wisata seperti ini,” tutur Maman (40), petugas konservasi mangrove Kampung Blekok. Menurut dia, burung blekok menjadi betah tinggal di kampung mereka karena tanaman mangrove di sana tumbuh subur dan lebat.
Baca juga : Menengok PLTU Paiton dengan PT Paiton Energy (PE) dan Paiton Operation & Maintenance Indonesia (POMI)
Hutan mangrove di kawasan Kampung Blekok tersebut seluas 27 hekta (ha). Ada 16 jenis mangrove di kawasan tersebut. Di sana, ada 30 burung ditangkarkan, yang terdiri atas 11 jenis burung air. Burung-burung itu antara lain blekok sawah (Ardeola speciosa), kuntul kecil (Egretta garzetta), kuntul kerbau (Bubulcus ibis), kowak-malam abu (Nycticorax nycticorax), cangak abu (Ardea cinerea), cangak merah (Ardea purpurea), dan kokokan laut (Butorides striatus).
Menurut IUCN Redlist, Bubulcus ibis (kuntul kerbau) berstatus risiko rendah. Dan menurut PP No 7 Tahun 1999, satwa ini masuk dalam daftar spesies dilindungi. Namun, spesies ini belum masuk daftar prioritas konservasi.
Peneliti Universitas Negeri Malang, Fatchur Rohman, yang rutin melakukan pemantauan di sana, mengatakan, mangrove dapat menyerap karbon yang sangat penting bagi mitigasi perubahan iklim. Ekosistem mangrove kategori tiang di Kampung Blekok memiliki total biomassa sebesar 2.100 ton per ha dan stok karbon sebesar 1092.6 ton karbon per ha.
Kholid Maulana, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Blekok, menyebutkan, pengembangan ekowisata di Kampung Blekok dapat meningkatkan kesejahteraan warga sekitar serta menambah kesadaran masyarakat untuk melestarikan pohon mangrove. ”Pohon mangrove sangat berguna untuk melindungi kampung dari abrasi, sekaligus menjadi rumah bagi burung blekok,” ucapnya.
Baca juga : Suatu Sore di Hutan Mangrove Pilang
Kampung Blekok ditinggali oleh 266 keluarga, dengan 80 persen dari mereka hidup dari sektor wisata. Mereka berjualan kerajinan kayu dan kerang (membuat alat makan dari kayu atau kerajinan dari cangkang kerang). Sisanya adalah nelayan dan pekerja swasta.
Keistimewaan kampung ini adalah merupakan kawasan konservasi mangrove dan burung blekok, yang terintegrasi dengan aktivitas ekonomi dan keseharian masyarakat. Luas lahan konservasi mangrove di kampung ini 27 hektar.
Menariknya lagi, pengembangan ekowista Kampung Blekok tidak dilakukan sendirian. Pemerintah daerah dan swasta turut berperan aktif, salah satunya PT Paiton Energy (PE)-PT Paiton Operation & Maintenance Indonesia (POMI). Kerja sama pemanfaatan tanggung ajwab sosial perusahaan (CSR) PE-POMI dimulai dengan dilakukannya nota kesepahaman pada 3 Februari 2018. Sejak itu, kampung di kawasan Desa Klatakan tersebut ditetapkan sebagai kawasan mangrove dan fauna khas berupa burung blekok. Penetapan itu sejalan dengan peraturan Bupati Situbondo tentang konservasi keanekaragaman hayati di sana.
Pemberdayaan
Untuk membangun ekowisata Kampung Blekok tidaklah mudah. Lingkungannya kumuh khas kampung nelayan, warga berburu burung blekok untuk dambil dagingnya, dan ketidakpercayaan pada sektor wisata di sana. ”Awalnya burung blekok di sini banyak diburu untuk diambil dagingnya. Namun, lama-lama, warga diajari dan akhirnya tidak boleh lagi memburunya. Burung malah diternak dan kini bisa jadi wisata,” kata Suratno (60), pemilik perahu wista di Kampung Blekok.
Baca juga : The Internet to Overcome Rural Disparities
Namun, setelah resmi dijadikan kampung wisata dan burung-burung blekok dilarang ditangkap, Suratno mengatakan bahwa warga tidak ada yang berani menangkap burung di sana. ”Warga justru ikut menanam mangrove. Akhirnya hutan mangrove makin lebat dan blekok tambah banyak tinggal di sana,” lanjutnya.
Selain sebagai nelayan, Suratno pun kini menjadi penarik perahu wisata. Untuk sekali trip mengelilingi hutan mangrove dan berhenti menyaksikan kawasan blekok pulang ke rumahnya, setiap orang akan dikenai tarif Rp 10.000-Rp 15.000.
”Saya biasanya pagi mencari ikan dahulu. Lalu siang hari pulang dan sekitar pukul 15.00 sudah siap mengantar tamu berkeliling hutan mangrove melihat blekok,” ucapnya. Penghasilannya dari menarik perahu wisata bisa mencapai Rp 200.000 sehari. Penghasilan itu kadang bisa mengalahkan pendapatannya sebagai nelayan harian.
Untuk membangun ekowisata Kampung Blekok tidak datang dalam satu dua hari. ”Kami 1-2 tahun pertama harus berjuang menyamakan persepsi dan pikiran dengan banyak orang. Kami memang fokus membangun kapabilitas sumber daya manusianya, bukan membangun fisik kampung. Adapun pembangunan fisik kampung dilakukan oleh pemda atau oleh CSR perusahaan lain,” tutur Community Facility Service (CFS) Manager PT PE–POMI Bambang Jiwantoro.
Sudah selama enam bulan ini pesanan kerajinan mulai bangkit. Sekitar 50 persen dari normalnya.
Memastikan warga percaya bahwa mereka bisa hidup lebih baik dengan melestarikan lingkungan dan satwa di sana, menurut Bambang, tidaklah mudah. Warga semula lebih memilih menangkap blekok, misalnya, karena bisa dijadikan makanan atau dijual. ”Pelan-pelan, tim kami berusaha memberi pengertian bahwa jika blekok dibiarkan hidup di hutan mangrove, hasil yang diterima warga akan lebih besar. Kini warga merasakan sendiri manfaatnya,” ujar Bambang.
Komunikasi intensif dengan berbagai pihak, termasuk dengan pemkab dan pihak lain yang terlibat dalam membangun ekowisata tersebut, menurut Bambang, harus terus dilakukan.
”Dalam membangun SDM, kunci keberhasilannya adalah membangun kesadaran bersama masyarakat, membangun dan menguatkan komitmen dari bawah ke atas (dari masyarakat hingga pemerintah), serta terus hadir dalam setiap forum diskusi bersama warga,” kata Bambang. Dengan tiga hal itulah, warga Kampung Blekok merasa mendapat teman untuk menuju kampung yang lebih baik.
Baca juga : Susi Ajak Cucu Nikmati Pantai Probolinggo
Fokus PE–POMI pada program konservasi di Kampung Blekok adalah konservasi mangrove dan burung blekok melalui Mangrove Center, program penanaman mangrove, dan conservation campaign. Adapun untuk titik berat pemberdayaan masyarakat, CSR ini berfokus pada program capacity building untuk pengelola wisata dan masyarakat sekitar, serta infrastruktur lain.
Chief Financial Officer PT Paiton Energy Bayu Widyanto mengatakan, menjaga kelestarian hutan seperti mangrove sangat penting karena berpengaruh pada lingkungan hidup di daerah setempat, Indonesia, dan global. Hutan memiliki peran strategis untuk mitigasi perubahan iklim untuk penyerapan emisi karbon dan gas rumah kaca.
”Di hutan mangrove Kampung Blekok, Paiton Energy tidak hanya melaksanakan konservasi flora dan fauna, tapi juga melakukan upaya peningkatan ekonomi melalui ekowisata berbasis masyarakat dan ekonomi kreatif. Ini membuktikan bahwa konservasi dan peningkatan ekonomi dapat bersinergi dan saling melengkapi,” tutur Bayu.
Sejak dirintis tahun 2018, Kampung Blekok pada tahun 2019 langsung memenangi beberapa penghargaan. Misalnya juara 1 anugerah wisata Jatim tahun 2019 dengan kategori daya tarik wisata alam (diserahkan Gubernur Jatim), Top CSR Award 2021 kategori program konservasi lingkungan pada April 2021, Indonesia Green Awards 2-21 kategori harmoni kehidupan Kampung Blekok pada April 2021, dan juara 1 desa wisata rintisan dalam anugerah desa wisata Indonesia tahun 2021.
Dengan tertatanya lingkungan, mulai banyak wisatawan datang. Berikutnya, muncul potensi ekonomi lain, seperti membuat dan menjual suvenir serta membuat homestay.
Meski sektor wisata sempat terhenti karena pandemi, saat ini kondisinya mulai bangkit kembali. ”Sudah selama enam bulan ini pesanan kerajinan mulai bangkit. Sekitar 50 persen dari normalnya. Normalnya sebelum pandemi, ibu-ibu setelah memasak, biasanya sekitar pukul 08.00 mereka sudah bekerja di depan rumah membuat kerajinan. Sekarang sudah mulai ada lagi yang membuat kerajinan,” tutur Ranti Seta menambahkan.
Kampung Blekok kembali menatap hari depan dengan semangat. Seperti tagline kampung tersebut ”Tentang Senja dan Kenangan”, maka senja yang datang seolah menutup kenangan sebelumnya dan menggantinya dengan harapan di esok hari. Begitulah kisah Kampung Blekok, kampung tentang senja dan kenangan di Situbondo.
Baca juga : Ancaman Rob di Balik Keelokan Pantai Utara Probolinggo