Antre Sehari Semalam demi Biosolar hingga Bengkak Biaya Operasional
Perusahaan otobus dan angkutan logistik di Sumatera, berikut para sopirnya, pontang-panting menghadapi krisis biosolar. Mengantre belasan jam hingga sehari semalam harus mereka hadapi. Biaya operasional pun membengkak.
Perusahaan otobus dan angkutan logistik di Sumatera berikut para sopirnya pontang-panting menghadapi krisis biosolar. Mengantre belasan jam hingga sehari semalam harus mereka hadapi. Waktu tempuh di perjalanan pun menjadi lebih panjang sehingga biaya operasional membengkak. Para sopir pun terkuras kantongnya.
Aswan Harahap (40), sopir bus PT Antar Lintas Sumatera, berteduh di bawah pohon di tengah panas terik di loket bus itu di Jalan Sisingamangaraja, Medan, Sumatera Utara, Senin (28/3/2022). Sopir bus jurusan Medan. Sumatera Utara- Jember, Jawa Timur, itu tengah menunggu rekannya yang sudah sejak pagi membawa bus berkeliling ke sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Medan untuk berburu biosolar.
”Kami harus isi biosolar dulu dari Medan karena tidak ada kepastian ketersediaan biosolar di sepanjang Jalan Lintas Sumatera. Kalau diisi penuh pun, paling cukup sampai Riau. Nanti bisa cari di sana lagi,” kata Aswan.
Aswan menyebut, kelangkaan biosolar sudah terjadi sejak awal Februari. Namun, kondisi paling parah terjadi dua pekan terakhir. Ia beberapa kali antre hingga 12 jam, harus membeli biosolar eceran dengan harga dua kali lipat, hingga menunda keberangkatan.
Dampak yang paling terasa sejak kelangkaan biosolar terjadi adalah waktu tempuh yang bertambah dan biaya operasional yang membengkak. Medan-Jember yang sebelumnya bisa ditempuh selama lima hari lima malam, kini menjadi tujuh hari tujuh malam. Karena waktu tempuh yang tambah lama, sopir pun harus membelikan para penumpang makan karena penumpang kelamaan sampai ke tujuan.
Baca juga: Kelangkaan Solar Ganggu Aktivitas Nelayan
”Sebagian besar waktu habis untuk mengantre di SPBU dan menghadapi lalu lintas yang macet di sekitar SPBU,” kata Aswan.
Aswan pun menceritakan pengalamannya beberapa kali mengantre sejak pukul 01.00 hingga pukul 10.00 di salah satu SPBU di Riau. Setelah gilirannya hampir tiba, biosolar di SPBU itu habis. ”Lalu ada yang menawarkan biosolar dalam jeriken dengan harga Rp 10.000 per liter. (Hampir dua kali lipat dibanding harga di SPBU RP 5.150 per liter). Kami terpaksa membelinya agar bisa melanjutkan perjalanan ke Medan,” kata Aswan.
Untuk mengatasi kelangkaan biosolar, berbagai cara pun dilakukan sopir bus. Aswan, misalnya, menyediakan 10 jeriken untuk stok biosolar. Jika sedang melintas di Jawa, yang mempunyai stok biosolar lebih memadai, ia mengisi biosolar ke tangki bus. Dari tangki lalu dipindahkan ke jeriken karena dilarang langsung mengisi ke jeriken.
Aswan mengatakan, pendapatan mereka pun harus tergerus karena mau tidak mau terpengaruh biaya operasional yang membengkak. ”Sering sekali, kami tidak bisa kasih setoran apa pun ke perusahaan, yang penting kami masih ada gaji sedikit,” kata Aswan.
Alwi Matondang dari Humas PT Antar Lintas Sumatera mengatakan, biaya operasional bus mereka pun bertambah sekitar Rp 4 juta untuk perjalanan pergi-pulang Medan-Jember atau Medan-Jakarta. ”Saat ini, kami hanya mencoba bertahan, yang penting bus bisa jalan. Kelangkaan biosolar ini membuat kami sangat terpuruk,” kata Alwi.
Alwi menyebut, pihaknya juga tidak bisa menaikkan tarif karena daya beli masyarakat yang sedang menurun. Keterisian tempat duduk pun saat ini hanya sekitar 50 persen. ”Orang-orang yang naik bus ini, kan, yang tidak mampu membayar ongkos pesawat. Kalau kami naikkan tarif, penumpang pasti menjerit,” kata Alwi.
Pemerintah agar memprioritaskan angkutan bus untuk mendapat biosolar bersubsidi karena langsung dirasakan oleh masyarakat bawah.
Alwi pun berharap pemerintah agar memprioritaskan angkutan bus untuk mendapat biosolar bersubsidi karena langsung dirasakan oleh masyarakat bawah.
Baca juga: Biosolar Langka, Logistik Ekspor-Impor Mulai Terganggu di Sumut
Selain bus, sopir angkutan logistik pun ikut merasakan kelangkaan biosolar di Sumatera. Gideon Purba (40), sopir angkutan logistik, juga mengantre di sebuah SPBU di Jalan Sisingamangaraja. ”Kami bersyukur biosolar sudah ada lagi di sini. Pekan lalu, beberapa kali saya tidak berangkat karena tidak ada biosolar,” kata Gideon.
Gideon merupakan sopir angkutan logistik yang membawa peti kemas dari Pelabuhan Belawan ke Jambi. Ia pun harus berkeliling dulu ke beberapa SPBU di Medan untuk mengisi biosolar. ”Di satu SPBU, kan, hanya bisa mengisi 100 liter. Jadi, saya harus ke dua SPBU agar bisa mendapat 200 liter,” kata Gideon.
Gideon juga sudah beberapa kali mengantre hingga 10 jam di sebuah SPBU. Waktu tempuhnya pun bertambah hingga 24 jam, tetapi pendapatannya tetap sama.
Sementara di Padang, Sumatera Barat, Afdal (31) bersama rekan sopir truk lainnya duduk di emperan warung nasi yang tutup, Senin. Keduanya juga tengah mengantre biosolar. Truk roda enam yang mereka bawa masing-masing diparkir di pinggir jalan. Dua puluhan truk lainnya antre di depan kendaraan mereka. Di belakangnya, ada belasan truk.
Sudah hampir sejam Afdal dan temannya mengantre di SPBU Pisang, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Sumatera Barat, itu. Senin pukul 13.00, antrean belum bergerak. Sebuah plang berdiri di depan SPBU menandakan pasokan biosolar belum tiba.
”Kemungkinan baru dapat giliran sore nanti. Semoga saja belum habis pas tiba giliran. Kalau habis, belum tentu bisa jalan ke Pesisir Selatan hari ini,” kata Afdal, sopir truk minyak kelapa sawit mentah (CPO) rute Pesisir Selatan-Padang.
Kekhawatiran Afdal bukan tanpa alasan. Pengalaman antre mengisi bahan bakar hampir sehari-semalam pernah ia alami pada Jumat (25/3/2022). Perjalanan ke Pesisir Selatan terlambat sehari. Kondisi seperti itu ia alami sebulan terakhir.
Waktu itu sehabis membongkar CPO, Afdal antre di SPBU Pisang sejak pukul 13.00. Saat hampir tiba giliran mengisi pukul 21.00, stok biosolar habis. Ia pun pontang-panting ke SPBU Sawahan, Kecamatan Padang Timur, untuk mencari bahan bakar. Hingga pukul 03.00 mengantre di SPBU itu, ia kembali tak kebagian biosolar.
Akhirnya, pada Sabtu (26/3/2022) dini hari itu, Afdal pindah ke SPBU Kayu Gadang di Kecamatan Kuranji. Ia menginap di mobil sekaligus mengambil antrean lebih pagi. Warga Pesisir Selatan itu baru dapat biosolar pada pukul 09.00. ”Abis hari hanya untuk antre,” ujarnya.
Menguras dompet
Tidak hanya membuang waktu, antre solar bersubsidi di SPBU itu juga menguras dompet. Selama mengantre, kata Afdal, Sopir juga butuh makan dan belanja kebutuhan lainnya. Tidak ada tambahan uang jalan untuk biaya makan sehingga mesti diambil dari uang jalan.
Saat kondisi normal, Afdal bisa membawa pulang uang bersih Rp 200.000 sekali perjalanan. Sekarang, karena antre, cuma Rp 100.000, bahkan kadang Cuma Rp 50.000. Frekuensi perjalanan juga berkurang, dari biasanya tiga kali dalam sepekan jadi cuma 1-2 kali dalam sepekan karena susah mendapatkan biosolar.
”Sekarang belanja ditahan-tahan. Kalau ada pitih (uang), bisa antre sambil duduk di kedai. Kalau pitih pas-pasan seperti sekarang, mending duduk di tempat lengang,” ujarnya.
Baca juga: Antre Berjam-jam, Sopir Truk di Padang Mengeluh Biosolar Langka
Epi (50), pengemudi pikap, juga tengah antre di SPBU Pisang bersama rekannya, Senin siang. Mereka menghabiskan waktu duduk di samping mobil di pinggir jalan menunggu kedatangan biosolar untuk pulang ke Pesisir Selatan. Keduanya baru kembali dari Pekanbaru, Riau, mengantarkan ikan laut dari Pesisir Selatan.
”Semestinya, hari ini kembali berangkat ke Pekanbaru, ada ikan yang hendak diantar. Tapi, karena tidak ada minyak, bagaimana mau jalan. Besok sepertinya baru bisa berangkat,” kata Epi.
Epi dan rekannya hanya bisa pasrah. Mau tidak mau mereka harus mengantre biosolar yang harganya lebih murah, yakni Rp 5.150 per liter. Beralih ke Dexliter, yang stoknya melimpah dan harganya Rp 13.250 per liter, tak sanggup karena biaya bahan bakar sudah ditangkar induk semang untuk biosolar.
Antre berjam-jam di SPBU hingga malam sangat melelahkan.
Bagi Epi, antre berjam-jam di SPBU hingga malam sangat melelahkan. Waktu yang mestinya bisa dipakai untuk istirahat, dihabiskan untuk antre. Memang, ia bisa istirahat di atas mobil sembari antre, tetapi tetap saja tidak nyaman karena mesti awas agar antrean tidak terlewat.
”Saya berharap stok minyak ini lancar. Dinaikkan pun harganya tidak apa-apa, yang penting lancar,” ujar Epi dengan nada frustrasi.
Sementara itu, Peri (35), pengemudi truk CPO lainnya, mengantre lebih awal agar tidak kehabisan biosolar meskipun bahan bakar itu belum datang. Ia menunggu sejak pukul 12.00 pada Rabu (23/3/2022) meskipun biosolar baru akan dijual selapas waktu magrib.
”Lebih baik begini dibanding antre di SPBU yang sudah ada stoknya. Kemarin itu, saya ikut antre, pas tiba giliran, solar habis,” kata Peri, yang mengantar CPO rute Pasaman Barat-Padang.
Antre berjam-jam di SPBU, kata Peri, juga membuatnya tidak produktif. Truk tidak bisa beroperasi setiap hari karena tidak ada bahan bakar. Jika biasanya ia bisa mengantar CPO 3 kali dalam sepekan, sejak biosolar langka dalam dua bulan terakhir kadang ia cuma bisa mengantar dua kali dalam sepekan. Hal ini berpengaruh ke upah.
Selain itu, antre biosolar juga membuat lelah dan tidak cukup waktu istirahat. Semestinya ia bisa tiba di Pasaman Barat sore hari dan beristirahat sebelum memuat CPO besok paginya. Namun, karena mengantre biosolar, ia baru akan tiba di Pasaman Barat tengah malam dan sudah mesti kembali ke Padang untuk mengantar CPO pada pagi hari. ”Efek sampingnya, mobil bisa masuk ke jurang atau tabrakan,” tuturnya.
Baca juga: Komoditas dan Angkutan Terhambat, Pelaku Usaha di Sumbar Merugi
Kuota berkurang
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumbar Herry Martinus mengatakan, kelangkaan solar bersubsidi di lapangan salah satunya dipicu oleh berkurangnya kuota. Tahun 2022 ini, kuota solar bersubsidi untuk Sumbar sebanyak 417.241 kiloliter. Jumlah tersebut berkurang sekitar 3 persen dibandingkan tahun 2021. Penurunan kuota juga terjadi di provinsi lain karena kondisi keuangan negara.
Selain membantu pengawasan distribusi solar bersubsidi, kata Herry, Pemprov Sumbar juga sudah mengajukan penambahan kuota solar bersubsidi kepada Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) pada 4 Maret lalu. Usulannya ialah kuota dinaikkan menjadi 460.035 kiloliter. Sebelumnya, dari 525.922 kiloliter yang diusulkan Pemprov Sumbar pada awal tahun cuma disetujui 417.241 kiloliter.
”BPH Migas sedang mempertimbangkannya. Seperti di APBN perubahan nanti baru bisa dibahas dengan pemerintah dan DPR,” kata Herry, Senin.
Manajer Area Humas dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga Regional Sumatera Bagian Utara Taufikurachman mengatakan, pihaknya telah menyalurkan biosolar sesuai dengan kuota untuk Sumut. Pihaknya pun memonitor kondisi di lapangan agar kelangkaan bisa diatasi.
”Kelangkaan sudah mulai bisa diatasi. Kalau ada antrean-antrean, wajarlah karena barang murah,” katanya.
Taufikurachman mengatakan, kuota biosolar untuk Sumut pada 2022 sebanyak 1.077.670 kiloliter atau sekitar 2.952 kiloliter per hari. Meski tidak signifikan, kuota tahunan tersebut berkurang 0,5 persen dibanding tahun lalu, yakni sebesar 1.083.934 kiloliter atau 2.966 kiloliter per hari. Namun, realisasi penyaluran biosolar di Sumut 3.234 kiloliter per hari.
Untuk mengatasi kelangkaan biosolar, kata Taufikurachman, pengendalian pun dilakukan agar biosolar bersubsidi tepat sasaran. Angkutan perkebunan dan pertambangan, misalnya, diminta untuk menggunakan solar nonsubsidi.
Ketua Organisasi Angkutan Darat Sumut Haposan Siallagan mengatakan, pemerintah harus segera mengatasi kelangkaan biosolar. ”Angkutan orang dan angkutan barang sangat terpuruk akibat kelangkaan ini,” kata Haposan.
Haposan juga meminta agar tidak ada pembatasan pengisian biosolar untuk angkutan logistik dan angkutan orang. ”Kalau dibatasi hanya 100 liter sekali pengisian, itu hanya cukup untuk perjalanan dari Medan ke perbatasan Riau. Di sana harus mengantre lagi,” kata Haposan.
Haposan pun meminta pemerintah agar mempunyai kepekaan terhadap krisis yang terjadi akibat kelangkaan biosolar. Pemerintah harus mencari solusi agar biosolar tersedia.
Baca juga: Segera Ambil Solusi Jangka Pendek Krisis Biosolar, Ekonomi Daerah Terganggu