Kelangkaan bahan bakar minyak jenis biosolar yang terjadi di Lampung tidak hanya mengganggu distribusi logistik. Sulitnya pasokan solar juga membuat sejumlah nelayan tidak bisa melaut.
Oleh
VINA OKTAVIA
·3 menit baca
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Kelangkaan bahan bakar minyak jenis biosolar yang terjadi di Lampung tidak hanya mengganggu distribusi logistik. Sulitnya pasokan solar juga membuat sejumlah nelayan tidak bisa melaut.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Bandar Lampung Kusairi menyatakan, nelayan di pesisir Teluk Lampung kesulitan mendapatkan solar bersubsidi untuk kebutuhan mesin kapal. Akibatnya, sejumlah nelayan terpaksa tak melaut.
”Kelangkaan solar ini sudah mengganggu aktivitas nelayan untuk mencari nafkah. Kami berharap pemerintah bisa menambah pasokan solar untuk nelayan,” kata Kusairi kepada Kompas, Minggu (27/3/2022).
Menurut dia, ada sekitar 500 perahu nelayan di pesisir Kota Bandar Lampung yang melaut setiap hari. Sebagian besar kapal nelayan di Bandar Lampung berukuran 6-15 gros ton (GT). Kebutuhan solar untuk sekali melaut ke perairan Selat Sunda dan Teluk Semaka sekitar 100 liter.
Ia mengatakan, tidak semua nelayan mendapat pasokan solar di stasiun pengirian bahan bakar nelayan (SPBN) karena keterbatasan stok. Setiap hari, SPBN Lempasing yang melayani kebutuhan nelayan di pesisir Bandar Lampung memasok 12 kiloliter solar. Stok solar itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan 100-120 kapal nelayan.
Kelangkaan solar ini sudah mengganggu aktivitas nelayan untuk mencari nafkah.
Untuk bisa mendapatkan solar bersubsidi, sejumlah nelayan harus antre di SPBU terdekat. Akan tetapi, banyak nelayan yang tidak memiliki dokumen persyaratan untuk bisa membeli solar bersubsidi di SPBU.
Akibatnya, mereka terpaksa membeli solar eceran dengan harga yang lebih mahal. Solar eceran dijual seharga Rp 8.000-Rp 10.000 per liter. Nelayan juga tidak mampu jika harus membeli BBM nonsubsidi jenis Dexlite karena harganya lebih tinggi lagi, yakni Rp 13.250 per liter.
Tidak kebagian
Ketua HNSI Lampung Bayu Witara menyatakan, kuota solar yang dipasok ke tiga unit SPBN di Lampung hanya memenuhi sekitar 20 persen kebutuhan nelayan. Sebagian besar nelayan masih bergantung pada pasokan solar di SPBU.
Kelangkaan solar yang terjadi di SPBU satu bulan terakhir secara otomatis berdampak pada nelayan. Meski sudah mengantre di SPBU, nelayan kerap tidak kebagian solar bersubsidi. ”Solar ini menjadi urat nadi nelayan untuk mencari nafkah. Kalau tidak dapat solar, tidak mungkin nelayan bisa melaut,” kata Bayu.
Ia mendesak agar pemerintah pusat bisa menambah kuota solar bersubsidi bagi nelayan. Solusi kelangkaan solar ini membutuhkan solusi dari pemerintah pusat karena penetapan kouta solar bersubsidi untuk daerah ditetapkan oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Minyak dan Gas.
Bayu mengakui, masih sebagian kecil nelayan di Lampung memiliki dokumen kepemilikan kapal. Dari sekitar 12.000 kapal, diperkirakan baru sekitar 3.500 kapal milik nelayan di Lampung yang mempunyai dokumen dan tercatat oleh Kementerian Kekuatan dan Perikanan.
Kondisi itulah, kata Bayu, yang membuat pasokan solar yang disalurkan untuk nelayan juga masih sedikit. Saat ini, baru ada tiga unit SPBN yang beroperasi di Lampung, yakni di Bandar Lampung, Kabupaten Lampung Timur, dan Lampung Selatan. Sementara satu unit SPBN di Kabupaten Tanggamus belum beroperasi karena kendala teknis.
Untuk itu, ia mendorong agar nelayan segera mendaftarkan kepemilikan kapalnya. Dengan begitu, mereka juga bisa mendapat bantuan solar bersubsidi dari pemerintah dengan lebih murah.
Ia berharap pemerintah daerah juga bisa membantu nelayan, khususnya yang ada di kabupaten untuk bisa mengurus dokumen kapal dengan lebih mudah. Salah satunya dengan membuka layanan pendaftaran satu pintu di kantong-kantong perkampungan nelayan. Dengan begitu, nelayan mendapat layanan yang lebih murah dan dekat.