Perajin Tahu dan Tempe di Magelang Mulai Gulung Tikar
Puluhan pelaku usaha tahu dan tempe di Kabupaten Magelang terpaksa gulung tikar. Mereka tidak mampu menekan biaya produksi karena melejitnya harga kedelai dan minyak goreng.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Terdesak oleh melejitnya harga kedelai dan minyak goreng, puluhan perajin tahu dan tempe di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, terpaksa gulung tikar. Menutup usaha menjadi keputusan terakhir karena upaya menaikkan harga, memperkecil ukuran tahu dan tempe, hingga mengurangi jumlah karyawan tidak lagi bisa menjadi solusi untuk mengatasi lonjakan biaya produksi.
Habib (50), salah seorang perajin usaha tahu dan tempe asal Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, mengatakan, setelah harga kedelai naik setahun lalu, dirinya berupaya menekan biaya produksi dengan mengurangi jumlah karyawannya sedikit demi sedikit.
Pengurangan hingga pemberhentian karyawan terus dilakukan diiringi beragam upaya mempertahankan produksi, seperti mengurangi volume produksi, menaikkan harga, dan memperkecil ukuran tahu. Sebagai upaya terakhir, dia pun menghentikan semua karyawannya dan melakukan aktivitas produksi sendirian. Namun, dia pun akhirnya menyerah karena semua usaha tersebut tidak cukup membuahkan hasil.
”Tidak ada lagi yang bisa saya lakukan. Usaha tahu dan tempe yang sudah saya jalankan selama lebih dari 20 tahun akhirnya terpaksa saya tutup sejak sebulan lalu,” ujarnya sedih, Sabtu (26/3/2022).
Sebelumnya, saat harga kedelai masih berkisar Rp 7.000-Rp 8.000 per kilogram (kg), Habib bisa mendapatkan omzet Rp 3 juta hingga Rp 5 juta per hari. Saat itu, ia memakai bahan baku 5 kuintal kedelai per hari. Namun, ketika harga kedelai melonjak mencapai lebih dari Rp 10.000 per kg, dengan mengolah bahan baku 1 kuintal kedelai saja, dia mengalami kerugian Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per hari.
Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, Habib pun beralih pekerjaan menjadi sopir. Ia membantu mengantarkan barang, termasuk tahu produksi tetangga sekitarnya, saat akan dijual ke pasar.
Usaha tahu dan tempe yang sudah saya jalankan selama lebih dari 20 tahun akhirnya terpaksa saya tutup sejak sebulan lalu. (Habib)
Yunis Setiawan (40), perajin tahu lainnya, mengatakan, saat ini harga kedelai melambung mencapai Rp 12.000 per kg. Aktivitas produksi tahu juga makin terpuruk karena sejak Februari lalu harga minyak goreng curah juga melambung dari harga Rp 160.000 per jeriken menjadi Rp 370.000-Rp 400.000 per jeriken. Satu jeriken berisi 17 kg minyak curah.
”Harga melambung pun, stok minyak curah juga tidak tersedia di pasar,” ujarnya. Minyak goreng digunakan para perajin untuk memproduksi tahu goreng.
Yunis juga telah melakukan berbagai upaya untuk menekan biaya produksi, termasuk menaikkan harga jual. Namun, mengurangi atau memperkecil ukuran tahu sengaja tidak dilakukannya karena hal itu dikhawatirkan akan mempersulit pelanggan, terutama kalangan pelaku usaha, untuk mengolah tahu.
”Ukuran tahu yang terlalu kecil akan membuat tahu sulit diolah atau dimasak menjadi berbagai menu. Pelaku usaha gorengan akan kesulitan mengolahnya menjadi tahu isi dan pelaku usaha warung makan akan susah memasaknya. Ukuran tahu yang kecil akan membuatnya hancur saat dimasak atau direbus bersama bumbu,” ujarnya.
Yunis mengatakan, di desanya, Desa Mejing, Kecamatan ,Candimulyo terdapat sekitar 200 perajin tahu tempe. Masing-masing perajin sebelumnya mempekerjakan 7-10 karyawan. Namun, di tengah impitan melejitnya harga minyak curah dan kedelai, kini masing-masing perajin berupaya mengurangi biaya produksi dengan mengurangi jumlah karyawan.
”Oleh karena itu, disadari atau tidak, kenaikan harga kedelai dan minyak curah ini telah memicu terjadinya penambahan jumlah pengangguran,” ujarnya. Karyawan yang bekerja pada usaha tahu dan tempe di Desa Mejing berasal dari sejumlah daerah, seperti dari Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, dan dari Kota Magelang.
Usna (34), perajin lainnya, mengatakan, jika 20 tahun lalu orangtuanya menjalankan usaha tahu dengan mempekerjakan 11 karyawan, kini seiring dengan kenakan harga kedelai dan minyak curah, dia hanya mempekerjakan tujuh karyawan.
Slamet (60), salah seorang perajin tahu asal Desa Tanjungsari, Kecamatan Borobudur, mengatakan, agar bisa tetap menjalankan usaha, dirinya juga mengurangi jumlah karyawan dari sebelumnya empat orang menjadi dua orang saja. Upaya mengurangi karyawan terpaksa dilakukan, selain menaikkan harga jual tahu dari Rp 400 per potong menjadi Rp 500 per potong.
Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kabupaten Magelang Basirul Hakim mengatakan, terkait harga kedelai dan minyak goreng, pihaknya masih menunggu kebijakan dari pemerintah pusat.
Terkait minyak goreng, pihak Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM, bekerja sama dengan Kepolisian Resor (Polres) Magelang, sudah berupaya memantau serta melakukan inspeksi mendadak ketersediaan minyak goreng di pasar. Dari kegiatan tersebut, stok minyak goreng kemasan dan minyak curah tersedia di sejumlah pedagang pasar.
”Harga minyak goreng memang naik. Namun, sejauh ini dipastikan tidak ada upaya pembatasan distribusi dan tidak ada upaya penimbunan,” ujarnya.