Dana Otsus Berkurang, Warga Desak Jaminan Kesehatan Aceh Tetap Dilanjutkan
Dana otsus mulai berkurang sehingga kemampuan keuangan Aceh melemah. Pemprov Aceh menginginkan program Jaminan Kesehatan Aceh ke depan hanya diperuntukkan bagi warga miskin.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Gerakan Masyarakat Aceh menggugat menggelar aksi mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Pemprov Aceh melanjutkan program Jaminan Kesehatan Aceh yang selama ini mengandalkan dana otonomi khusus. Penghentian program tersebut dinilai merugikan hak warga mengakses layanan kesehatan. Tuntutan itu disuarakan di tengah berkurangnya dana otonomi khusus.
Unjuk rasa digelar di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan di halaman kantor Gubernur Aceh, Senin (21/3/2022). Massa membawa poster dan melakukan aksi teriatikal.
Koordinator Gerakan Masyarakat Aceh (Geram) Syakya Meirizal mengungkapkan, Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) mengurus hak paling dasar bagi warga, yakni hak mendapatkan pelayanan kesehatan. Jika dihentikan, sama halnya menghalangi warga mendapatkan haknya.
Syakya mengatakan, wacana penghapusan program JKA menimbulkan kepanikan warga. Warga berekonomi rendah yang selama ini mendapat bantuan premi BPJS Kesehatan oleh Pemprov Aceh melalui JKA khawatir tidak dapat berobat secara gratis.
Adapun JKA diluncurkan pada Juni 2010. Kala itu, melalui JKA, semua biaya pengobatan warga yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Aceh ditanggung Pemprov Aceh. JKA menggunakan dana otonomi khusus.
Namun, sejak 1 Januari 2014, program JKA diintegrasi ke dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Sejak pelaksanaan JKN, Pemprov Aceh hanya membayar premi kesehatan warga yang tidak ditanggung oleh JKN.
"Kami mendesak Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan BPJS Kesehatan duduk bersama mencari jalan keluar terbaik keberlanjutan program JKA," kata Syakya.
Dia menambahkan JKA adalah janji politik yang ditawarkan Irwandi Yusuf–Nova Iriansyah dalam kampanye Pilkada 2012. Meski kemudian Irwandi masuk penjara karena korupsi, Nova harusnya menunaikan janji politik itu kepada warga Aceh. "Penghapusan JKA adalah bentuk pengingkaran terhadap janji politik," kata Syakya.
DPRA dan Pemprov Aceh sepakat menghentikan program JKA dengan alasan tidak memiliki anggaran cukup. Dalam setahun, Pemprov Aceh mengalokasikan Rp 1,2 triliun untuk membayar premi BPJS dan biaya jasa medis untuk 2,2 juta warga.
Ketua Nahdlatul Ulama Provinsi Aceh, Faisal Ali juga mendesak pemerintah untuk mencari solusi bijak agar program JKA tetap bisa dilanjutkan. Menurut Faisal, penghentian program JKA bentuk ketidakberpihakan pemerintah kepada warga. "Jika alasannya karena anggaran terbatas, mungkin ada program lain yang bisa dirasionalisasi sehingga JKA tetap bisa dilanjutkan," kata Faisal.
Kepala Dinas Kesehatan Aceh, Hanif menuturkan, dana otsus mulai berkurang sehingga kemampuan keuangan Aceh melemah. Pemprov Aceh menginginkan program JKA ke depan hanya diperuntukkan bagi warga miskin. "Warga yang mampu, diarahkan untuk membayar premi sendiri, tidak mahal Rp 35.000 per bulan," kata Hanif.
Sejak 2008-2022, dana otsus Aceh sebesar 2 persen dari dana alokasi umum nasional, tetapi mulai 2023 hingga 2027 menjadi 1 persen dari DAU nasional. Pada 2022, Aceh memperoleh data otsus Rp 7,5 triliun. Kemungkinan mulai tahun depan turun menjadi Rp 4,5 triliun.
Kemungkinan dilanjutkannya program tersebut tetap terbuka, tetapi perlu dievaluasi penggunaan anggaran dan sistem kerja samanya dengan BPJS Kesehatan.
Ketua Komisi IV Bidang Kesehatan DPRA Falevi Kirani menuturkan, sebelum 1 April 2022, akan ada keputusan terkait lanjut atau tidaknya program JKA. Falevi mengatakan kemungkinan dilanjutkannya program tersebut tetap terbuka, tetapi perlu dievaluasi penggunaan anggaran dan sistem kerja samanya dengan BPJS Kesehatan.
”Warga tidak perlu panik. Kami perlu evaluasi agar program JKA lebih tepat sasaran,” kata Falevi.