Jaminan Kesehatan Aceh Jadi Tumpuan Rakyat Kecil di Tanah Rencong
Rencana penghentian program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) karena dana otonomi khusus 2023 menyusut jadi Rp 4,5 triliun. Ada cara lain mempertahankan, seperti memverifikasi penerima manfaat.
Rencana penghentian program Jaminan Kesehatan Aceh dianggap kebijakan tidak prorakyat kecil. Tunjangan berlebih, program tidak penting, dan korupsilah yang seharusnya dibabat, bukan jaminan berobat rakyat yang disikat.
Angkasah (35), warga Kabupaten Nagan Raya, Aceh, duduk termangu di pelataran Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin Banda Aceh, Jumat (11/3/2022). Bayinya yang masih berusia sebulan dirawat di ruang neonatal intensive care unit (NICU).
Anaknya lahir prematur sehingga harus dirawat intensif di rumah sakit. RSUD Zainoel Abidin adalah rumah sakit dengan fasilitas medis terlengkap di Aceh. ”Sudah 16 hari di dalam tabung. Mudah-mudahan cepat sehat,” ujarnya.
Meski hati gundah, masih ada rasa lega karena semua biaya pengobatan anak ditanggung Pemerintah Aceh melalui Jaminan Kesehatan Aceh (JKA). Angkasah tidak bisa membayangkan berapa rupiah harus dikeluarkan jika tidak ada program JKA, yang akan dihapus pada April 2022.
Legislatif dan eksekutif Pemprov Aceh telah sepakat menghentikan JKA. Akan tetapi, ada kemungkinan tetap dilanjutkan (Falevi Kirani).
Bukan hanya biaya pengobatan anak, biaya pengobatan dirinya dan istri juga ditanggung pemerintah. Bekerja sebagai tukang bangunan, pendapatan Angkasah pas-pasan untuk biaya hidup keluarga.
Program JKA diluncurkan pada Juni 2010. Melalui JKA, semua biaya pengobatan warga yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Aceh ditanggung Pemprov Aceh. JKA menggunakan dana otonomi khusus (otsus).
Akan tetapi, sejak 1 Januari 2014, program JKA diintegrasikan ke dalam program Jaminan Kesehatan Aceh (JKN). Sejak itu, Pemprov Aceh hanya membayar premi kesehatan warganya yang tidak ditanggung JKN.
Belakangan, Pemprov Aceh menghentikan program JKA yang sangat membantu warga itu. Terhitung sejak 1 April 2022, semua warga Aceh diminta mendaftarkan diri ke program JKN melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Baca juga : Jaminan Kesehatan Aceh Dihentikan Sementara, Warga Diminta Daftarkan JKN
JKA diluncurkan saat Irwandi Yusuf menjabat gubernur Aceh. Pada Pilkada 2012, pasangan calon gubernur-calon wakil gubernur Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah kembali mengusung JKA Plus sebagai komoditas kampanye. Mereka menang, tetapi Irwandi masuk penjara karena kasus korupsi dana otsus. Di saat Nova Iriansyah menggantikan posisi Irwandi, ia menghentikan program unggulan itu.
Saat mendengar penghentian JKA itu, Angkasah gelisah. Ia sangat khawatir keluarganya tidak masuk dalam daftar penerima bantuan iuran (PBI) JKN dari pemerintah pusat. Jika harus membayar premi BPJS mandiri, ia merasa kewalahan.
”Sebaiknya JKA jangan dihilangkan. Kasihan warga kurang mampu tidak sanggup bayar (premi) BPJS,” ujar Angkasah.
Bukan hanya Angkasah, pasien kanker dampingan Children Cancer Care Community (C-Four) Aceh juga cemas dengan kebijakan Pemprov Aceh menghentikan JKA. Koordinator C-Four Aceh Ratna Eliza mengatakan, pasien kanker dampingan mereka gundah jika harus keluar sebagai peserta JKA sekaligus tidak terdaftar dalam JKN.
Selama ini JKA menjadi rumah aman bagi pasien yang tidak masuk dalam daftar PBI dari JKN. Lebih dari 2 juta premi BPJS Kesehatan warga Aceh dibayarkan Pemprov Aceh melalui JKA.
”Pasien yang saya dampingi semua keluarga miskin. Jangan sampai ketika JKA dihapus, mereka tidak mampu berobat,” kata Ratna.
Beban keuangan
Pemprov Aceh telah mengumumkan penghentian JKA terhitung 1 April 2022. Warga yang selama ini premi BPJS-nya dibayar oleh JKA harus mendaftarkan diri kembali ke BPJS. Artinya, mereka harus membayar premi secara mandiri atau mendaftar sebagai peserta PBI dari JKN.
Persoalannya, Aceh telah mendapatkan kuota peserta PBI dari JKN sebanyak 2,1 juta. Nyaris separuh dari jumlah penduduk Aceh yang berjumlah 5,3 juta orang.
Dari jumlah penduduk Aceh 5,3 juta orang itu, 801.204 pegawai negeri sipil/TNI/Polri dan 123.579 warga pekerja swasta membayar premi secara mandiri. Sisa 2,2 juta premi BPJS ditanggung oleh JKA yang besarnya sekitar Rp 1,2 triliun.
Setahun dana pokir (pokok pikiran) untuk 81 anggota DPRA mencapai Rp 1 triliun. Nyaris setara dana JKA untuk 2,2 juta warga (Sudirman Hasan).
Juru Bicara Pemprov Aceh Muhammad Mta menuturkan bahwa untuk menjamin pengobatan 2,2 juta warga, Pemprov Aceh mengalokasikan anggaran Rp 1,2 triliun. Namun, belakangan alokasi sebesar itu menjadi beban keuangan daerah.
Baca juga : Rumah Sakit Rujukan Regional Tengah Aceh Rampung 2020
Periode 2008-2022, dana otsus Aceh ditetapkan 2 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional. Mulai 2023 hingga 2027 menjadi 1 persen dari DAU nasional sesuai dengan perjanjian damai Aceh.
Pada 2022, Aceh masih memperoleh data otsus Rp 7,5 triliun. Kemungkinan, mulai tahun depan turun menjadi Rp 4,5 triliun.
Baca juga : Minyak dan Gas, Harapan Baru Penopang Pembangunan Aceh
Muhammad mengatakan, dari 2,2 juta warga Aceh yang ditanggung premi oleh JKA, tidak semua warga miskin. Apalagi, 2,1 juta warga Aceh telah masuk dalam PBI JKN.
”Jumlah penduduk miskin Aceh 819.069 jiwa. Artinya, JKN ditanggung oleh pusat ditambah JKA melebihi dari warga miskin. Sebagian besar penerima masyarakat menengah ke atas,” kata Muhammad.
Ketua Komisi V Bidang Kesehatan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Falevi Kirani mengatakan, legislatif dan eksekutif Pemprov Aceh telah sepakat menghentikan JKA. Akan tetapi, ada kemungkinan tetap dilanjutkan. ”Pelaksanaan JKA harus dievaluasi menyeluruh. Uang Rp 1,2 triliun ini besar dan harus dipertanggungjawabkan,” katanya.
Falevi menyebut, potensi penyalahgunaan anggaran bisa saja terjadi. Sebab, selama ini tidak ada data penerima premi dari JKN dan dari JKA. Falevi khawatir ada nama ganda sehingga sangat terbuka peluang korupsi. ”Saya menemukan orang yang sudah meninggal masih ada dalam daftar penerima JKA,” ujarnya.
Baca juga : Dalami Penggunaan Dana Otsus, KPK Periksa Belasan Pejabat Aceh
Sementara itu, Sekjen Forum LSM Aceh Sudirman Hasan menuturkan, seharusnya yang dihentikan bukan JKA, tetapi dana pokok pikiran (pokir) untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Setahun dana pokir untuk 81 anggota dewan mencapai Rp 1 triliun. Nyaris setara dana JKA untuk 2,2 juta warga.
”Penggunaan dana itu tidak transparan sehingga potensi manipulasi sangat besar. Mengapa bukan ini dihentikan,” kata Sudirman. Ia menuturkan, kasus korupsi beasiswa dewan fakta dana pokir jadi bancakan korupsi. Kerugian dari korupsi beasiswa Rp 10 miliar.
Apalagi, korupsi dana otsus berlangsung masif. Dia mencontohkan korupsi pengadaan sapi di Dinas Peternakan, pengadaan wastafel di Dinas Pendidikan, pembangunan jembatan pada Badan Penanggulangan Bencana Aceh, dan pembangunan jalan di Dinas Pekerjaan Umum.
Baca juga : Aceh dalam Pasung Korupsi
”Korupsi harus diberantas, tetapi program kerakyatan jangan dihapus. Lebih baik dana pokir ditiadakan, tetapi anggaran dialihkan ke JKA,” ujar Sudirman.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh Safrizal Rahman berpendapat, JKA menjadi jembatan bagi warga miskin di Aceh mengakses layanan kesehatan. Oleh karena itu, program itu tidak boleh dihentikan. ”Namun, jika beban anggaran terlalu berat, penerima harus diverifikasi agar tepat sasaran,” kata Safrizal.
Baca juga : Tiga Daerah di Aceh Belum Penuhi Standar Pelayanan
JKA janganlah sekadar komoditas politik saat pilkada karena manfaatnya nyata dirasakan warga Aceh, terutama dari kalangan ekonomi lemah. Jika JKA benar-benar dihentikan, rakyat kecil seperti Angkasah yang menjadi korban. Jangan sampai terjadi.