Air PDAM Atasi Puluhan Sumur Warga Kediri yang Tercemar Logam Berat
Puluhan sumur warga di Kediri tercemar logam berat yang diperkirakan dampak dari penimbunan tanah menggunakan limbah pabrik rokok puluhan tahun silam. Sebagai solusi, Pemkot Kediri memasang jaringan pipa PDAM.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
KEDIRI, KOMPAS — Sekitar 30 sumur milik warga di RT 001-003 RW 006 lingkungan Wonosari, Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur, tercemar logam berat. Tidak hanya itu, kandungan bakteri Escherichia coli juga jauh di atas ambang batas.
Sumber pencemar logam berat diperkirakan berasal dari timbunan limbah pabrik rokok pada 1980-an. Sebagai solusi, Pemerintah Kota Kediri mulai memasang jaringan pipa air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) secara bertahap guna memenuhi kebutuhan air bersih warga terdampak.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Kediri Fauzan Adhima, saat dihubungi dari Malang, Senin (21/3/2022), memaparkan, ada tiga pemeriksaan laboratorium yang pihaknya baru saja lakukan, yakni kimia, mikrobiologi, dan fisika. Dari hasil pemeriksaan kimia, diketahui sumber air warga mengandung logam berat berupa besi (Fe) dan Mangan (Mn).
Kadar Fe dan Mn di sumur warga melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 32 Tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air untuk Keperluan Higiene Sanitasi, Kolam Renang, Solus per Aqua dan Pemandian Umum.
Untuk kadar Fe standar air bersih tidak boleh lebih dari 1 miligram (mg) per liter (l). Sedangkan kandungan Fe dalam sumber air warga Wonosari, dari beberapa sampel, mencapai 2,85 mg/l, 3,78 mg/l, bahkan ada yang sampai 4 mg/l.
Untuk standar kadar Mn maksimal 0,5 mg/l ternyata temuan di sumur warga ada yang angkanya 3,06 mg/l bahkan 3,37 mg/l. Sedangkan kandungan Escherichia coli (e-coli) ada yang mencapai 800 per 100 ml, bahkan ada yang mencapai 1.940 per 100 ml. Padahal, standar kandungan E-coli tidak boleh lebih dari 50 per 100 ml.
”Itu tadi dari sisi pemeriksaan kimia dan mikrobiologi. Untuk pemeriksaan dari sisi fisika, mulai dari jenis bau, warna, dan rasa,” ujarnya. Air yang terkontaminasi logam berat, lanjut Fauzan, bisa mengakibatkan kanker (dampak jangka panjang); diare, mual, muntah (jangka pendek); serta penyakit kulit dan kelainan janin (dampak menengah).
Menurut Fauzan, Dinas Kesehatan Kota Kediri juga telah melakukan pemeriksaan terhadap warga terdampak dan memantau kondisi mereka. Jumlah warga yang telah diperiksa mencapai 120-an orang. Hasilnya, ada beberapa kasus diare dan sakit kulit, tetapi jumlahnya tidak banyak, kurang dari 1 persen.
”Kami sudah menginstruksikan ke puskesmas setempat untuk melakukan pemeriksaan secara rutin terhadap warga terdampak. Paling tidak seminggu sekali untuk melakukan pemantauan. Kepada warga, kami juga menyampaikan kalau ada keluhan kesehatan supaya langsung mendatangi puskesmas,” ucapnya.
Mengenai sumber penyebab, Fauzan menjelaskan hasil analisis sementara ada kemungkinan pencemaran ini berasal dari limbah pabrik rokok yang ditimbun ke daerah itu puluhan tahun silam. Dulu, di kawasan RW 006 banyak warga yang membuat batu bata. Bekas tanah galian batu bata itu kemudian diuruk dengan limbah. Pabrik rokok penghasil limbah tutup sejak lama.
Warga juga senang-senang saja saat itu karena penimbunannya gratis, tidak dikenakan biaya oleh perusahaan rokok
Dihubungi secara terpisah, Ketua RW 006 Kelurahan Bujel, Supandri, membenarkan bahwa dulu ada aktivitas penimbunan lubang bekas galian batu bata dengan limbah pabrik rokok. Memang, sebagian besar warga setempat membangun rumah dengan batu bata buatan sendiri.
Untuk meratakan lubang bekas galian batu bata yang jumlahnya cukup banyak, warga kemudian memanfaatkan limbah pabrik rokok. Material yang diurukkan berupa sisa-sisa daun tembakau, cengkeh, dan material lain. ”Warga juga senang-senang saja saat itu karena penimbunannya gratis, tidak dikenakan biaya oleh perusahaan rokok. Tinggal minta ke pabrik,” katanya.
Setahun pasca-penimbunan lubang galian dengan limbah, air sumur warga berubah warna begitu musim hujan tiba. Selain itu, muncul bau dan campuran seperti minyak menggumpal. Karena pengetahuan warga terkait pencemaran masih rendah, mereka hanya mengantisipasi dengan cara meminta air bersih ke tetangga (yang kondisi air sumurnya bersih).
Karena alasan minim pengetahuan, lanjut Supandri, warga hanya memasukkan gamping dan tawas untuk menjernihkan air sumur. ”Setelah diberi gamping dan tawas air kemudian mengendap dan jernih, tanpa kami berpikir air itu layak dikonsumsi atau tidak. Itu terjadi sejak saat itu hingga dua tahun lalu,” katanya.
Pada 2019-2020, mulai dilakukan pengujian kualitas air. Hal itu dilakukan setelah ada kader juru pemantau jentik (jumantik) yang melapor ke puskesmas. Beberapa waktu lalu, menurut Supandri, juga berembus kabar Kementerian Kesehatan akan memberikan bantuan untuk pembangunan saluran air bersih, tetapi hingga kini belum terlaksana lantaran ada pandemi Covid-19.
”Akhir 2021 kader jumantik melakukan sampling lagi dan awal 2022 dijadwalkan pengambilan sampel ulang oleh Dinas Kesehatan dan dinas terkait lainnya. Dari 30 sumur yang diuji laboratorium secara acak, 25 sumur tak layak dikonsumsi,” katanya.