Gaya Hidup Diduga Sebabkan Teluk Jakarta Tercemar Parasetamol
Tingginya konsumsi hingga keterbatasan kapasitas pengolahan limbah obat-obatan jenis parasetamol oleh masyarakat diduga menjadi alasan ditemukannya parasetamol di perairan Teluk Jakarta.
Oleh
Erika Kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya konsumsi hingga keterbatasan kapasitas pengolahan limbah obat-obatan jenis parasetamol oleh masyarakat diduga menjadi alasan ditemukannya parasetamol di perairan Teluk Jakarta. Sinergi antara peneliti, masyarakat, dan pemerintah diperlukan untuk mengendalikan jenis pencemaran tersebut dan efeknya terhadap ekosistem perairan.
Peneliti oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wulan Koagouw, pada konferensi media secara virtual, Senin (4/10/2021), menduga, berdasarkan studi pustaka, temuan parasetamol di perairan Teluk Jakarta dalam penelitiannya bisa bersumber dari gaya hidup masyarakat.
Sebagai obat pereda demam dan nyeri, yang banyak terkandung dalam beragam obat yang dapat diakses tanpa resep dokter, parasetamol jamak dikonsumsi masyarakat. ”Ditambah dengan banyaknya penduduk di Jakarta, yang pada 2017 sudah masuk 10 besar kota terpadat di dunia, saya jadi tertarik meneliti ini,” ujarnya.
Peneliti, publik, dan pemerintah perlu bersinergi.
Zainal Arifin, yang juga peneliti oseanografi BRIN, menambahkan, gaya hidup di perkotaan dan daerah pertanian bisa menghasilkan kadar limbah yang berbeda di perairan sekitarnya.
”Ada penelitian yang saya baca menyebut bahwa konsentrasi obat sejenis parasetamol di daerah Brebes dan Pekalongan tidak setinggi di pantai Jakarta. Kita paham karena itu daerah pertanian, enggak ada industri terkait,” katanya.
Selain faktor konsumsi dan industri, Zainal menyebut, ketidakpahaman masyarakat dalam mengolah obat-obatan yang sudah kedaluwarsa dan sistem pengolahan limbah yang belum memadai juga perlu jadi perhatian. Apalagi, sistem pengelolaan air limbah di dunia belum mampu menyaring parasetamol.
Hal ini disampaikan keduanya setelah merilis hasil penelitian terkait pencemaran parasetamol dan bahan pencemaran lain di perairan Teluk Indonesia tahun ini. Studi yang dikerjakan bersama peneliti dari Universitas Brighton, Inggris, ini dilakukan sejak 2017.
Penelitian itu mengambil sampel air laut di empat lokasi di Teluk Jakarta, yaitu Angke, Ancol, Tanjung Priok, dan Cilincing, serta satu lokasi lain di Pantai Eretan, perairan utara Jawa Tengah.
Hasilnya menunjukkan, sampel air di Angke dan Ancol mengandung parasetamol dengan kadar tertinggi, masing-masing 610 nanogram per liter dan 420 nanogram per liter. Adapun kandungan parasetamol di lokasi lain nyaris tidak terdeteksi karena kandungannya rendah.
Kendati konsentrasi parasetamol tersebut tidak setinggi takaran yang biasa dikonsumsi manusia dalam bentuk obat, parasetamol disebut sebagai jenis kontaminan air laut yang baru berkembang. Ini juga berpotensi membahayakan lingkungan, apalagi belum ada regulasi yang mengatur pengelolaan limbahnya.
Sejauh ini, penelitian baru melihat dampak dari kontaminasi parasetamol terhadap kerang yang hidupnya sedentair di perairan. Dari eksperimen paparan 7-24 hari ditemukan, folikel dan sel gamet dalam gonad atau kelenjar reproduksi kerang mengalami degradasi. Efek tak kasatmata juga ditemukan pada ekspresi gen kerang.
Mereka pun berharap dapat melakukan riset lanjutan yang diperluas di perairan kota-kota besar lain, termasuk untuk mengetahui sumber kontaminan parasetamol di laut.
Sinergi
Setelah studi itu dipublikasikan, peneliti BRIN sudah berkomunikasi dengan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan instansi pemangku kebijakan terkait lain yang menaruh perhatian pada temuan tersebut.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Syaripudin, Minggu (3/10/2021), melalui keterangan tertulis mengatakan, pihaknya ikut memeriksa sampel air laut di Ancol dan Muara Angke. Sampel itu dibawa ke laboratorium kesehatan daerah milik Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk diteliti lebih kurang 14 hari.
”Kami juga berkomitmen mendalami dan menelusuri sumber pencemarnya dan mengambil langkah untuk menghentikan pencemaran tersebut,” kata Syaripudin.
Organisasi lingkungan hidup Walhi Jakarta meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendalami temuan BRIN dan mengkaji lebih luas dampak yang ditimbulkan pada ekosistem Teluk Jakarta.
Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, pihaknya juga berharap Pemprov DKI segera mengevaluasi dan memonitor semua fasilitas kesehatan di Ibu Kota dalam hal penanganan limbah. Lalu, membuka rencana revitalisasi Teluk Jakarta dan hasil pemantauan yang telah dilakukan secara berkala kepada publik.
”Di tengah menyusun upaya revitalisasi, pencegahan terhadap beban pencemaran dilakukan terlebih dahulu, termasuk menginventarisasi segala jenis pencemaran,” ujarnya (Kompas.id, 3/10/2021).
Selain dari Jakarta, Zainal menilai, pemerintah daerah lain di sekitar Jakarta juga perlu mengambil peran. Pasalnya, limbah yang mengalir ke perairan seperti Teluk Jakarta bisa datang dari daratan lain yang lebih jauh.
”Banyak riset menunjukkan, 60-80 persen pencemaran di laut datang dari daratan. Jadi, ini bisa saja bersumber dari Bogor atau wilayah Detabek,” katanya.
Adapun Wulan mengapresiasi langkah yang telah dikerjakan di Jakarta. Menurut dia, pemangku kepentingan terkait juga perlu berperan dalam memonitor dan membuat kebijakan. Misalnya, mencari cara agar penanganan limbah menjadi lebih baik supaya konsentrasi yang dilepas ke laut lebih rendah dan efeknya nihil.
”Peneliti, publik, dan pemerintah perlu bersinergi. Kami kawal dengan data-data yang kami umpan ke pemerintah untuk membuat kebijakan atau melengkapi data yang ada. Lalu, publik ambil bagian dalam kampanye dan mengawal kebijakan agar kita bisa mengerjakan solusi yang dirumuskan bersama,” tuturnya.