Sungai-sungai di Dunia Tercemar Obat-obatan, Citarum Ikut Diteliti
Studi di hampir 300 sungai di seluruh dunia, termasuk Sungai Citarum, menemukan polusi obat-obatan. Pada konsentrasi tertentu sejumlah bahan aktif obat dapat mengganggu biologi organisme dan ekologi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
Sebuah studi yang melibatkan banyak peneliti dan institusi menemukan bahwa konsentrasi obat-obatan di sungai-sungai dunia telah berada di tingkat yang berpotensi beracun di lebih dari seperempat lokasi. Riset itu mengamati 258 sungai, termasuk Sungai Citarum di Indonesia, Sungai Thames di London, dan Sungai Amazon di Brasil, untuk mengukur keberadaan 61 jenis obat-obatan, seperti carbamazepine, metformin, dan kafein.
Riset tersebut diklaim mencakup lebih dari separuh negara di dunia dengan sungai di 36 negara belum pernah dipantau untuk obat-obatan. Studi ini bagian dari Proyek Pemantauan Farmasi Global yang dipimpin Universitas York di Inggris, yang telah berkembang secara signifikan selama dua tahun terakhir, dan menjadi investigasi skala global pertama dari kontaminasi obat di lingkungan.
Dalam situs internet Universitas York, 14 Februari 2022, kesimpulan dari penelitian tersebut adalah polusi farmasi mencemari air di setiap benua serta ada korelasi kuat antara status sosial ekonomi suatu negara dan polusi obat-obatan lebih tinggi di sungai-sungainya (dengan negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah yang paling tercemar).
Kesimpulan lain, tingkat polusi farmasi yang tinggi paling positif terkait dengan wilayah dengan usia rata-rata tinggi serta tingkat pengangguran dan kemiskinan lokal yang tinggi, dan negara dan wilayah paling tercemar di dunia adalah yang paling sedikit diteliti (yaitu Afrika sub-Sahara, Amerika Selatan, dan sebagian Asia Selatan).
Selain itu, kegiatan yang paling terkait dengan tingkat polusi farmasi tertinggi adalah pembuangan sampah di sepanjang tepi sungai, infrastruktur air limbah dan pembuatan obat-obatan yang tidak memadai, serta pembuangan isi tangki septik sisa ke sungai.
Dampaknya bisa berbagai hal bergantung pada jenis obat, jenis organisme yang terpapar, dan konsentrasi polutan.
Studi itu mengungkapkan, seperempat lokasi mengandung kontaminan (seperti sulfametoksazol, propranolol, ciprofloxacin, dan loratadine) pada konsentrasi berpotensi berbahaya.
Riset ini dipublikasikan pada jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America) edisi 22 Februari 2022. Artikel ini bisa diakses secara daring di jurnal PNAS berjudul ”Polusi Obat-obatan di Sungai-sungai di Dunia” (Pharmaceutical Pollution of the World’s Rivers).
Dengan temuan ini, para peneliti berharap ada peningkatan pemantauan obat-obatan di lingkungan. Ini bisa dilakukan dengan pengembangan strategi untuk membatasi efek yang berpotensi disebabkan oleh polutan.
Studi ini mencakup sungai-sungai penting, seperti Amazon, Mississippi, Thames, dan Mekong. Sampel air diperoleh dari sejumlah titik situs mulai dari Desa Yanomami di Venezuela, di mana obat-obatan modern tidak digunakan, ke beberapa kota terpadat di planet ini, seperti Delhi, London, New York, Lagos, Las Vegas, dan Guangzhou.
Daerah dengan kondisi politik tidak stabil seperti Baghdad, Tepi Barat Palestina, dan Yaoundé di Kamerun juga dimasukkan. Iklim di mana sampel diperoleh bervariasi dari tundra alpine dataran tinggi di Colorado dan daerah kutub di Antarktika hingga gurun Tunisia.
Mengacu pada riset ini, konsentrasi bahan farmasi aktif (API) di Sungai Citarum berada di kisaran 5.000 nanogram per liter (ng/L). Pada tabel tampak konsentrasi API tertinggi terdapat di Sungai Lahore, Pakistan (lebih dari 70.000 ng/L).
Konsentrasi kumulatif yang dilaporkan di sini dihitung sebagai rata-rata dari jumlah konsentrasi semua residu API yang dapat diukur di setiap lokasi pengambilan sampel di setiap daerah tangkapan sungai. Analisis sampel air dilakukan di Pusat Keunggulan Spektrometri Massa Universitas York.
Salah satu pimpinan riset ini, John Wilkinson, dari Departemen Lingkungan dan Geografi, mengatakan, penelitian ini melibatkan 127 kolaborator di 86 institusi di seluruh dunia. ”Proyek Pemantauan Farmasi Global adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana komunitas ilmiah global dapat bersatu untuk mengatasi masalah lingkungan skala besar,” ujarnya.
Menurut Wilkinson, selama lebih dari 20 tahun obat-obatan masuk ke lingkungan perairan yang dampaknya dapat memengaruhi biologi organisme hidup. Para peneliti menyarankan pendekatan mereka juga dapat diperluas di masa depan untuk memasukkan media lingkungan lainnya, seperti sedimen, tanah dan biota, serta dapat diikuti pengembangan kumpulan data skala global tentang polusi.
Studi ini menggunakan cara ”memprediksi konsentrasi efek samping (PNECs)” untuk menentukan di mana ada risiko efek samping (seperti toksisitas). Jika tim mengukur konsentrasi di lingkungan di atas PNEC, ada potensi organisme yang akan terpengaruh oleh farmasi.
Dampaknya bisa berbagai hal bergantung pada jenis obat, jenis organisme yang terpapar, dan konsentrasi polutan. Contoh dampak buruknya pada organisme meliputi gangguan kemampuan reproduksi, perubahan perilaku atau fisiologi, dan perubahan detak jantung.
Kontaminan yang ditemukan pada konsentrasi yang berpotensi berbahaya meliputi propranolol (penghambat beta untuk masalah jantung seperti tekanan darah tinggi), sulfametoksazol (antibiotik untuk infeksi bakteri), ciprofloxacin (antibiotik untuk infeksi bakteri), dan loratadine (antihistamin untuk alergi).
Peristiwa kontaminasi obat-obatan di sungai di Indonesia baru-baru ini juga pernah terjadi di Jakarta. Awal Oktober 2021, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Universitas Brighton, Inggris, menemukan kandungan parasetamol di air laut Teluk Jakarta dan dampaknya pada biota laut kerang.
Penelitian yang dilakukan sejak 2017 hingga 2021 ini menemukan bahwa perairan di wilayah Ancol dan Angke mengandung parasetamol paling tinggi dari total empat sampel di perairan laut Ibu Kota. Temuan ini direspons Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan memanggil sejumlah perusahaan farmasi.
”Perusahaan ini akan dipanggil dan dicek bagaimana pengelolaan limbah dan obat-obatan bekas yang sudah kedaluwarsa. Obat-obatan itu akan jadi limbah B3 sehingga pengelolaannya khusus,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK Rosa Vivien Ratnawati, merespons pencemaran parasetamol tersebut (Kompas.id, 10/11/2021).