Sumur milik warga Kelurahan Simbangkulon, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, tercemar limbah batik. Pelaku usaha batik bisa turut berperan menekan risiko pencemaran dengan mengolah limbah.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
KAJEN, KOMPAS — Puluhan warga di Kelurahan Simbangkulon, Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, mengeluhkan sumur mereka tercemar limbah batik. Akibatnya, warga kesulitan air bersih dan harus mengeluarkan biaya tambahan sebesar Rp 20.000 per hari untuk membeli air bersih.
Sejak tiga bulan terakhir, sebanyak sembilan sumur warga yang menjadi satu-satunya sumber air bagi sekitar 40 warga di Kelurahan Simbangkulon tercemar limbah batik. Air sumur tersebut berbau tak sedap dan berwarna hitam kemerahan.
Misbahudin (40), salah satu warga terdampak, menuturkan, keluarganya terpaksa menggunakan air sumur yang telah tercemar tersebut untuk mandi dan mencuci. Namun, mereka harus lebih dulu menyaring air tersebut sebelum digunakan.
”Meski sudah disaring, airnya tidak langsung jernih, tetap berwarna, tapi tidak pekat. Kalau dipakai mandi, kadang kala menyebabkan gatal-gatal,” ujar Misbahudin saat dihubungi, Selasa (8/3/2022).
Saefudin (47), warga lain, memilih untuk menumpang mandi di tempat kerabat atau tetangganya. Sebab, ia dan keluarganya takut terkena penyakit kulit jika memaksakan mandi dengan air yang telah tercemar. ”Sebenarnya malu setiap hari menumpang mandi di tempat orang lain. Tapi, mau bagaimana lagi? Satu-satunya sumber mata air untuk keluarga saya sudah tercemar,” katanya.
Untuk keperluan makan dan minum keluarga, Saefudin dan Misbahudin memilih untuk membeli air minum dalam kemasan. Dalam sehari, kebutuhan air untuk konsumsi 45-50 liter per keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut, dua keluarga itu harus mengeluarkan uang tambahan masing-masing Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. ”Walau hanya Rp 15.000-Rp 20.000, kalau setiap hari, ya, terbilang berat. Soalnya, sebelum-sebelumnya, kan, gratis, tidak perlu ada tambahan pengeluaran untuk itu,” ucap Saefudin.
Setelah mendapat keluhan dari warga, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pekalongan bersama Palang Merah Indonesia menyalurkan bantuan air bersih bagi warga terdampak, Senin (7/3/2022). Pada hari itu, 9.000 liter air disalurkan dengan dua unit mobil tangki.
”Sementara ini, penyuplaian air bersih baru kami lakukan satu kali. Tapi, kami sudah berpesan kepada warga untuk melapor kalau cadangan air mereka habis. Nanti kami akan kirimkan bantuan air bersih lagi,” ujar Kepala BPBD Kabupaten Pekalongan Budi Raharjo.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Daerah Kabupaten Pekalongan Yulian Akbar menuturkan, pihaknya telah mengecek dan menyelidiki penyebab tercemarnya sumur warga. Berdasarkan hasil penyelidikan, pencemaran tersebut akibat pembangunan saluran air di sebagian wilayah Kelurahan Simbangkulon.
Pembangunan itu dalam rangka program Kota Tanpa Kumuh atau Kotaku dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang belum selesai. Saluran yang sedang dibangun itu adalah saluran air yang biasanya dilewati oleh limbah batik.
Karena bentuknya cair, limbah itu meresap ke dalam tanah dan mencemari sumur-sumur warga.
”Setelah kami cek, saluran tersebut masih dalam konstruksi. Akibatnya, limbah batik yang biasanya lewat saluran itu meluap ke permukiman, kemudian bercampur dengan limbah rumah tangga. Karena bentuknya cair, limbah itu meresap ke dalam tanah dan mencemari sumur-sumur warga,” kata Yulian.
Menurut Yulian, pihaknya akan berkomunikasi langsung dengan kepala proyek program Kotaku tersebut untuk mencari solusi terbaik. Sembari menunggu itu, pihaknya akan terus berupaya menyalurkan bantuan air bersih kepada warga terdampak.
Pengusaha batik memiliki peran signifikan untuk mencegah pencemaran lingkungan dengan mewarnai batik menggunakan pewarna dari bahan alami. Pewarna dari bahan alami dinilai memiliki risiko mencemari lingkungan lebih rendah daripada pewarna sintetis.
”Kalau mau limbahnya lebih aman bagi lingkungan, bisa pakai pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Pewarna alami itu bisa pakai tumbuhan, antara lain mangga, ketapang, dan mengkudu,” ujar Nanang Tri, pengusaha batik asal Kecamatan Wiradesa, Kabupaten Pekalongan.
Menurut Nanang, pengolahan limbah batik di instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga perlu dilakukan sebelum membuangnya ke sungai atau saluran air. Pengolahan limbah di IPAL akan membuat kandungan bahan berbahaya pada limbah berkurang.
Nanang menyebutkan, untuk membuat IPAL sederhana yang bisa menampung sekitar 1.000 liter limbah, perlu dana sekitar Rp 7 juta. Pembuatan IPAL tersebut juga tidak lama, sekitar sepekan.