Ratusan Penyintas Gempa Pasaman Barat Bertahan di Posko Pengungsian Timbo Abu
Ratusan penyintas gempa masih bertahan di posko pengungsian Timbo Abu Ateh, Pasaman Barat, Sumatera Barat.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PASAMAN BARAT, KOMPAS — Ratusan penyintas gempa masih bertahan di posko pengungsian Timbo Abu Ateh, Pasaman Barat, Sumatera Barat. Warga bertahan di tenda-tenda pengungsian itu atas berbagai pertimbangan, mulai dari rumah yang hancur hingga khawatir tidak mendapat sembako jika pulang. Adapun kebutuhan di posko pengungsian relatif terpenuhi.
Pantauan di posko pengungsian di Jorong Timbo Abu, Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat, Sabtu (12/3/2022), puluhan tenda masih berdiri di areal perladangan. Sebagian besar tenda itu masih berpenghuni. Ada warga yang beristirahat di tenda, berteduh di pepohonan depan tenda, memasak, ada pula yang tengah menjemur pakaian.
Sementara itu, rumah-rumah di sekitar Timbo Abu Ateh, terutama rumah beton, sebagian besar rusak parah. Tidak sulit menjumpai rumah roboh total dengan atap berada di tanah. Lokasi ini merupakan pusat gempa. Sejumlah warga menyampaikan, gempa masih beberapa kali terasa meskipun tidak kuat.
Amardan (56), warga Jorong Timbo Abu yang mengungsi di posko itu, mengatakan, ia keluarganya masih bertahan di tenda karena rumahnya hancur. Selain itu, ia merasa di tenda relatif aman dan semua kebutuhan tercukupi. ”Takut kalau pindah ke tenda dekat rumah kami tidak lagi diberikan makanan dan kebutuhan lainnya,” katanya, yang sudah 16 hari mengungsi di posko.
Menurut Amardan, ia masih membutuhkan pasokan kebutuhan pokok dari posko sebab belum bisa bekerja di ladang. Meskipun fisik tidak sakit, ia lemah tulang karena jiwanya masih berduka usai gempa. Kemudian, jika memanen hasil karet dan jagung, belum tentu ada tauke yang membeli karena juga terdampak gempa.
Efrida (35), pengungsi lainnya, mengatakan, hal serupa. Ia bersama suami dan tiga anaknya masih bertahan di posko pengungsian karena rumahnya rusak. Lantai semen rumah kayu itu ambles dan tiangnya menggantung.
Sebenarnya, di sekitar rumah Efrida bisa didirikan tenda keluarga. Namun, ia khawatir jika pindah ke rumah tidak lagi mendapat bahan kebutuhan pokok karena rumahnya relatif jauh untuk menjemput sembako ke posko. Apalagi, sampai hari ke-16 sejak gempa, ia dan suaminya belum bisa bekerja di ladang dan sawah.
”Lahan kami di kaki Gunung Talamau. Mana tahu nanti ada longsor dan galodo (banjir bandang),” kata Efrida.
Menurut Efrida, tinggal di posko pengungsian beberapa hari terakhir relatif memadai meskipun tidur beralaskan tikar di atas tanah dan panas di siang hari. Kebutuhan harian tercukupi. Dua hari terakhir listrik dari PLN mulai mengalir. Cuma, saat hujan ada tempias dan banyak nyamuk. Untuk mandi cuci kakus (MCK) dilakukan di sungai.
Yeris (22), pengungsi lainnya, mengatakan, ia bersama suami dan anaknya baru sepekan menempati posko ini. Sebelumnya, keluarga ini mengungsi di posko utama di halaman kantor Bupati Pasaman Barat, sekitar 26 kilometer dari lokasi ini. Mereka mengungsi karena rumahnya roboh. ”Alhamdulillah di sini nyaman meskipun pas hujan tenda ada yang bocor. Kebutuhan cukup. Sejauh ini tidak ada kesulitan. Mandi ke sungai,” ujarnya.
Sementara itu, M Zein (48), pengungsi lainnya, mengatakan, ia dan keluarga masih menginap di tenda di posko pengungsian Timbo Abu Ateh. Walakin, ia mulai membersihkan reruntuhan di rumahnya yang roboh total. Zein mengambil material yang masih bisa digunakan, seperti seng, kayu, dan bata utuh. ”Nanti kalau lapang, bisa didirikan tenda,” ujarnya.
Ketua Posko Pengungsian Timbo Abu Ateh Dodi Indrayani mengatakan, saat ini masih ada 63 tenda di posko pengungsian ini yang dihuni sekitar 600 orang. Warga masih bertahan di tenda karena trauma dan tidak punya tempat tinggal.
Alhamdulillah di sini nyaman meskipun pas hujan tenda ada yang bocor. Kebutuhan cukup. Sejauh ini tidak ada kesulitan.
”Rasa aman, trauma, dan tempat tinggal itu faktor paling besar yang membuat masyarakat bertahan di tenda posko pengungsian. Mereka pindah ke tenda sekitar rumah atau huntara asalkan aman. Puing-puing yang menggantung di rumah berbahaya bagi anak-anak,” kata Dodi.
Walaupun demikian, kata Dodi, sebagian pengungsi mulai pindah ke rumah Sabtu ini. Jumlah yang pulang baru sekitar 20 persen dibandingkan kondisi awal. Ia memperkirakan dalam sepekan ini sebanyak 50 persen pengungsi sudah pindah ke sekitar rumah.
”Tapi kami tidak menyarankan pindah dan tidak pula melarang pindah. Tergantung pilihan masing-masing di mana tempat yang rasanya aman,” ujarnya.
Dodi meluruskan, warga yang pulang ke rumah tetap bakal mendapatkan bantuan bahan pokok. Mereka bisa mengambil di posko ataupun akan diantarkan jika tidak bisa menjemput asalkan petugas posko diberi tahu.
Dari segi bantuan kebutuhan pokok, kata Dodi, sejauh ini relatif mencukupi karena bantuan mengalir setiap hari. Namun, beberapa bahan masakan, seperti cabai dan minyak, sering kurang. Untuk penerangan, sejak Jumat (11/3/2022), aliran listrik PLN sudah kembali hidup.
Untuk air bersih, sudah memadai dari pamsimas. Fasilitas MCK umum juga sedang dibangun 8 kloset di empat titik sekitar posko pengungsian. ”Minggu atau Senin besok diperkirakan selesai. Sebelumnya, warga buang air ke sungai atau MCK umum yang tersisa,” ujarnya.
Berdasarkan data Pemkab Pasaman Barat, hingga 10 Maret 2022, jumlah pengungsi di posko pengungsian jauh berkurang karena sudah kembali ke rumah. Jika pada 4 Maret jumlahnya 14.723 orang, pada 10 Maret tinggal 3.072 orang. Alasan warga bertahan di posko pengungsian karena rumah rusak berat sehingga tidak punya tempat tinggal, terutama di Timbo Abu dan Mudiak Simpang.
Adapun jumlah rusak akibat gempa di Pasaman Barat mencapai 2.993 unit, yaitu 1.050 rusak berat, 703 rusak sedang, dan 1.240 rusak ringan. Kerusakan rumah paling banyak di Kecamatan Talamau, sebanyak 1.896 unit dan 540 unit di antaranya rusak berat.