Diperkosa, Perempuan Penyandang Disabilitas di Cirebon Butuh Perlindungan
Seorang perempuan penyandang disabilitas diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang kakek di Kecamatan Gempol, Kabupaten Cirebon. Kasus ini menunjukkan rentannya posisi perempuan penyandang disabilitas.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
DOKUMENTASI HUMAS POLRESTA CIREBON
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Cirebon Komisaris Anton (kanan) saat diwawancarai, Selasa (8/3/2022) malam, di Markas Polres Kota Cirebon, Jawa Barat. Polisi menangkap K, warga Kecamatan Gempol, yang diduga memerkosa perempuan penyandang disabilitas.
CIREBON, KOMPAS — Kasus pemerkosaan terhadap penyandang disabilitas di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, kembali terjadi. Kali ini, seorang perempuan penyandang disabilitas diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh seorang kakek di Kecamatan Gempol. Tanpa perlindungan dari berbagai pihak, posisi perempuan difabel kian rentan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Cirebon Komisaris Anton, Kamis (10/3/2022), mengatakan, seorang kakek berinisial K (64) di Kecamatan Gempol diduga memerkosa seorang perempuan penyandang disabilitas berusia 25 tahun yang juga tetangganya. Pihaknya telah menangkap tersangka untuk meminta keterangan lebih lanjut.
Peristiwa itu terjadi pada 16 September 2021 di kebun bambu di Gempol. Saat itu, tersangka menarik tangan korban dengan dalih mengajak makan bersama. Namun, korban, yang disabilitas fisik karena sulit berjalan, tergelincir dan terjatuh. Tersangka lalu mendorong tubuh korban kemudian melancarkan aksi bejatnya.
Korban mendapatkan pendampingan khusus selama proses penyelidikan dan penyidikan. Apalagi, korban penyandang disabilitas yang kesulitan berkomunikasi.
”Tersangka memaksa dan memperdayai korban dengan bujuk rayu,” ucap Anton. K juga mengancam akan membuat korban, yang mengalami keterbatasan dalam berbicara, menjadi gila jika melaporkan aksinya ke orang lain. Berdasarkan penyidikan sementara, tersangka diduga telah dua kali memerkosa anak yatim tersebut.
Belakangan, keluarga mengetahui tindakan asusila tersebut lalu melaporkan tersangka ke polisi pada 6 Desember lalu. Polisi pun menyelidiki kasus itu dengan mengumpulkan barang bukti, seperti pakaian korban. ”Proses penyidikan sempat menemui kendala karena korban penyandang disabilitas sehingga penyidik harus berhati-hati,” ujarnya.
Menurut Anton, korban mendapatkan pendampingan khusus selama proses penyelidikan dan penyidikan. Apalagi, korban penyandang disabilitas yang kesulitan berkomunikasi. Pihaknya masih mendalami kasus tersebut. Adapun tersangka dijerat dengan Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN
Koalisi perempuan yang tergabung dalam kelompok Save Our Sister berunjuk rasa di depan Kejaksaan Tinggi Jambi, Kamis (26/7/2018). Mereka menuntut dibebaskannya WA (15), korban pemerkosaan yang divonis penjara 6 bulan, karena menggugurkan kandungannya.
Sa’adah, Manajer Program Women Crisis Center Mawar Balqis, lembaga pendampingan perempuan dan anak di Cirebon, mengatakan, kasus kakek yang memerkosa difabel menunjukkan rentannya perempuan penyandang disabilitas jadi korban kekerasan seksual. ”Banyak kasus serupa di Cirebon, tetapi belum tercatat atau dilaporkan,” katanya.
Beberapa tahun lalu, misalnya, pihaknya mendampingi seorang perempuan penyandang disabilitas mental yang diperkosa hingga hamil dan melahirkan. ”Saat itu, ibu korban masih ada sehingga cukup membantu untuk berkomunikasi dengan korban. Prosesnya cukup lama, sekitar setahun. Pelaku yang sempat kabur akhirnya bisa ditangkap,” kata Sa’adah.
Menurut dia, sebagian besar warga masih menganggap kekerasan seksual sebagai aib sehingga enggan melaporkannya. Apalagi, jika korbannya merupakan penyandang disabilitas yang sulit menyampaikan perasaannya. ”Belum lagi stigma yang menyalahkan korban dan keluarga. Misalnya, keluarganya enggak jaga anaknya,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, peran keluarga, masyarakat, dan aparat hukum sangat dibutuhkan dalam melindungi perempuan penyandang disabilitas. Keluarga, misalnya, harus sering berkomunikasi dengan anaknya untuk menyampaikan bagian-bagian tubuh yang tidak boleh disentuh. Lingkungan juga perlu saling mengawasi dan melaporkan jika ada kekerasan seksual.
Sa’adah mendorong aparat hukum memenuhi hak-hak korban penyandang disabilitas. Penerjemah bahasa isyarat tidak cukup untuk berkomunikasi karena yang paling memahami korban adalah keluarganya, terutama ibu. ”Pemerintah juga harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melindungi (penyandang) disabilitas,” ujarnya.
Dugaan pemerkosaan perempuan penyandang disabilitas di Cirebon menambah daftar panjang kasus kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan pada 2020 mencatat, 87 kasus kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas tidak jauh dari angka tahun sebelumnya.