Sebagian anak di Cirebon, Jawa Barat, kini menghadapi ancaman ganda pandemi Covid-19. Virus korona baru mengintai anak-anak di luar rumah. Namun, tetap di rumah juga tak sepenuhnya aman.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·6 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Para tersangka kasus kekerasan seksual ditampilkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020). Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon menangani 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari hingga Mei 2020. Dari jumlah itu, 26 kasus merupakan pencabulan/pemerkosaan dan 6 kasus kekerasan anak.
Sebagian anak di Cirebon, Jawa Barat, kini menghadapi ancaman ganda pandemi Covid-19. Virus korona baru mengintai anak-anak di luar rumah. Namun, tetap di rumah juga tak sepenuhnya aman. Kekerasan yang dilakukan orang-orang terdekat menjadi hantu yang menakutkan.
Usia A, bocah asal Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu baru lima tahun. Hari-harinya seharusnya diisi bahagia. Namun, ia dipaksa menanggung beban berat. Di tengah pandemi Covid-19, keceriaannya direnggut di usia belia. Masa depannya pun kini terancam buram.
Beberapa waktu terakhir, tak mudah lagi menebak perilaku A. Senyumnya mudah sekali hilang. Gantinya adalah amarah yang sulit dikendalikan. Jika keinginannya tidak segera dipenuhi, ia bisa menangis sejadi-jadinya. S (39), ibunya, penjual tahu keliling, dibuat pusing tujuh keliling.
”Kalau ngamuk, dia suka cubit adik dan sepupunya. Perubahannya banyak,” ujar S, Senin (15/6/2020).
Barang bukti kasus kekerasan seksual ditampilkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020). Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon menangani 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari hingga Mei 2020. Dari jumlah itu, 26 kasus merupakan pencabulan/pemerkosaan dan 6 kasus kekerasan anak.
Hidup S jelas kian tak mudah saat A berubah perangainya. Selama ini, ia terpaksa berperan ganda. Dia harus bisa mencari nafkah sembari tetap membagi kasih sayang bagi tiga anaknya. Untuk makan, ia berjalan kaki keliling kampung menjual sekitar 500 biji tahu per hari.
”Kalau lagi jualan, anak-anak di rumah dengan dibantu ibu saya,” kata S, yang mendapat Rp 40.000-Rp 50.000 per hari.
Beban hidup pernah tak seberat ini saat ayah kandung S masih ada. Semua berubah ketika suami pertamanya meninggal. Berharap menikmati kehidupan baru, S lantas menikah lagi. Namun, hal itu tak berujung bahagia. Petaka hidup menghampirinya.
Suami keduanya, pengemudi truk, jarang pulang ke rumah. Lelaki itu bahkan sudah punya istri baru. Harus mengurus semuanya sendiri, ia kawalahan menata hidup. Puncaknya terjadi pada Selasa (19/5/2020). Pikiran S terpecah. Dia harus menyiapkan peringatan duka 40 hari meninggal ayahnya. S tidak tahu, AR (45), tetangganya, punya niat jahat pada A.
AR berakal bulus. Dengan alasan mencari bunga, ia mengajak A berkeliling desa dengan sepeda motor. Namun, di area persawahan, berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya, AR tega mencabuli A. Gadis kecil itu sempat melawan. Dia berteriak. Namun, AR berlagak kuasa. Dia mengancam bakal membunuh A jika ada orang lain tahu perbuatan bejat itu.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Para tersangka kasus kekerasan seksual ditampilkan dalam konferensi pers di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020).
Hari berganti, semuanya tak sama lagi bagi A. Dia kerap murung dan menyendiri. Cara berjalannya pun berubah. Ketika organ vitalnya disentuh saat mandi, A meronta kesakitan. Hati S hancur saat A menceritakan perbuatan AR.
Kabar buruk itu lantas menyebar. AR dicari warga desa. Beruntung warga tak gelap mata. AR diserahkan kepada polisi. Sesuai prosedur di masa pandemi, sebelum ditahan, tersangka harus menjalani tes cepat.
Hasilnya ternyata reaktif. AR lantas melanjutkan tes usap tenggorokan (swab) untuk memastikan apakah ada virus korona baru atau tidak dalam tubuhnya. Pertimbangan inilah yang membuat polisi tidak langsung menahan tersangka. Setelah hasil tes usap menyatakan AR negatif Covid-19, ia pun ditahan.
”Kami sudah telusuri ke anak-anak di desa untuk mengantisipasi korban lain. Sampai saat ini, belum ada laporan. Sejauh ini, tersangka diketahui baru sekali melakukan aksi ini,” kata Kepala Kepolisian Resor Kota Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi.
Seperti pelaku kejahatan lainnya, AR mengaku menyesal. Suara bapak tiga anak, dua di antaranya perempuan, itu tertatih saat menceritakan hidupnya yang berantakan di tahun ini. AR tak lagi mengolah sawah milik orang. Panggilan menanam dan memanen pun tak ada.
Kambing orang yang ia urus juga belum juga terjual. Akibatnya, pendapatan Rp 700.000 per bulan dari penjualan seekor kambing pun belum juga datang. Ia tak tahu, apakah pandemi jadi penyebabnya. Yang pasti, ia terancam menghabiskan waktu di penjara hingga 15 tahun.
Kami sudah telusuri ke anak-anak di desa untuk mengantisipasi korban lain. Sampai saat ini, belum ada laporan. Sejauh ini, tersangka diketahui baru sekali melakukan aksi ini. (M Syahduddi)
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Kepala Kepolisian Resor Kota Cirebon Komisaris Besar M Syahduddi (kiri) bersama Wakil Kepala Polresta Cirebon Ajun Komisaris Besar Arif menunjukkan barang bukti kasus kekerasan seksual di Mapolresta Cirebon, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (5/6/2020).
Meski AR sudah dibui dan tak bisa lagi menebar ancaman, kondisi A belum pulih. Ia masih mengeluh kesakitan di bagian organ vitalnya. ”Obatnya habis. Ini mau tebus resep dokter lagi. Tetapi, belum tahu mau beli di mana. Obat kemarin saja yang tebus itu Bu Yani (Siti Nuryani),” kata S yang mengaku tabungannya setelah bekerja di Arab Saudi sudah ludes.
Yani adalah Ketua Komisi Perlindungan Anak Daerah Kabupaten Cirebon. Dia juga yang memberikan terapi kepada A agar tak lagi trauma. ”Orangtua harus selalu menanyakan apa yang anaknya kerjakan setiap hari sehingga mengetahui jika ada sesuatu yang terjadi,” ujarnya.
Biasanya, Yani dan sukarelawan lainnya berkeliling ke desa-desa untuk berbagi informasi terkait pola asuh anak hingga mengenali ciri-ciri korban kekerasan seksual. Namun, pandemi menghentikan langkah itu. Baru belakangan, pihaknya kembali mengunjungi warga.
Obatnya habis. Ini mau tebus resep dokter lagi. Tetapi, belum tahu mau beli di mana. Obat kemarin saja yang tebus itu Bu Yani (Siti Nuryani).
Kompas/Heru Sri Kumoro
Mural berisi pesan untuk menghindari kekerasan terhadap anak dan perempuan di Jalan Bekasi Timur Raya, Jakarta Utara, Kamis (20/2/2020).
Belum tuntas mendampingi A, Yani dan rekan-rekannya kini juga harus mengurus S (3,5), yang diduga jadi korban kekerasan AA (38), ibunya sendiri. Dalam video yang sempat viral di jagat media sosial, tubuh kecil S dihujani perlakukan kasar AA. Hal itu dilakukan karena kesal pada suaminya yang kini kawin lagi di Malaysia.
Berdasarkan penelusuran Yani, ia stres berat. Dia harus mengurus tiga anaknya, masing-masing berusia 3,5 tahun, 2 tahun, dan sebulan. Setelah tinggal bersama suami di Malaysia, dia dan tiga anaknya pulang kampung ke Palimanan, Cirebon, November tahun lalu.
Pilihan pulang kampung berujung tidak bahagia. ”Sejak Februari, suaminya tidak lagi mengirimkan uang. Padahal, dia sedang hamil dan akan melahirkan. Kondisi semakin buruk karena suaminya dikabarkan menikah lagi,” ungkap Yani.
Sejak saat itu, hidup AA tak keruan. Dia mengandalkan hidup dari bantuan dan pinjaman uang kerabatnya. Bahkan, ia harus utang sekitar Rp 800.000 untuk biaya persalinan. Kalut, AA mengaku sengaja mengabadikan tiga tindakan kekerasannya terhadap S. Tiga video berdurasi sekitar 2 menit itu lalu dikirimkan kepada suaminya.
”Setelah memukul anaknya, AA menyesal. Dia memeluk S sambil menangis. Setelah videonya viral, banyak yang menghujatnya. Saya sudah kontak suaminya. Tetapi, dia enggak bisa pulang karena alasan pandemi Covid-19,” ujar Yani.
Setelah memukul anaknya, AA menyesal. Dia memeluk S sambil menangis. Setelah videonya viral, banyak yang menghujatnya. Saya sudah kontak suaminya. Tetapi, dia enggak bisa pulang karena alasan pandemi Covid-19. (Siti Nuryani)
Kedua kasus kekerasan terhadap anak di Cirebon itu seperti fenomena gunung es. Terlihat sedikit, tetapi masih kerap terjadi. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Cirebon, misalnya, menangani 38 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak Januari hingga Mei 2020. Dari jumlah itu, 26 kasus merupakan pencabulan/pemerkosaan dan 6 kasus kekerasan anak.
Jumlah kasus dalam lima bulan pertama 2020 itu hampir mencapai setengah kasus kekerasan anak dan perempuan di Cirebon tahun lalu yang mencapai 90 kasus. Menurut Yani, kasus kekerasan terhadap anak tahun ini lebih banyak. Selain kasus A dan S, ia juga mendampingi dua kasus pemerkosaan anak dan seorang anak berusia 14 tahun yang membuang bayinya.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sejak 1 Januari hingga 12 Mei 2020 menerima laporan 1.201 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 1.526 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah ini, 1.213 perempuan menjadi korban. Mayoritas kasus berupa kekerasan dalam rumah tangga (Kompas.id, 15/6/2020).
Pandemi ini memperburuk risiko anak sebagai korban kekerasan. Banyak yang kehilangan pekerjaan sehingga orang semakin stres. ”Anak jadi korban karena ancaman kekerasan sangat dekat. Mereka bisa dibentak orangtua sampai menjadi korban keganasan tetangganya, seperti kasus A,” ungkap Yani.
Kini, setelah hampir sebulan menjadi korban kekerasan seksual, A harus menjalani terapi sekali dalam dua pekan. Terapi berupa pendampingan psikologis, bermain, hingga jalan-jalan diharapkan dapat mengubur traumanya ketika menatap rumah tetangga yang merebut keceriaannya.