Disorot Publik, Kejaksaan NTT Didorong Tuntaskan Kasus Kematian Ibu dan Anak di Kupang
Gubernur NTT Viktor Laiskodat mendorong Kepala Kejaksaan Tinggi NTT segera menuntaskan kasus kematian ibu dan anak di Kupang, enam bulan lalu. Penyidik kejaksaan tiga kali mengembalikan berkas perkara ke polisi.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat mendorong Kejaksaan Tinggi NTT segera menuntaskan kasus pembunuhan Astrit Manafe (30) dan anaknya, Lael Maccabe (1), yang ditemukan tak bernyawa di Kelurahan Penkase, Kota Kupang, 10 Oktober 2021, setelah hilang dari rumahnya sejak 28 Agustus 2021. Berkas perkara tersangka pembunuhan Randy Bajideh yang disampaikan penyidik Kepolisian Daerah NTT tiga kali dikembalikan penyidik Kejati NTT.
Viktor Bungtilu Laiskodat saat menerima Kepala Kejaksaan Tinggi NTT yang baru, Hutama Wisnu, di Kupang, Senin (7/3/2022), mengatakan, kasus pembunuhan ibu dan anak, Astrit dan Lael, sudah menjadi perhatian masyarakat. Kasus kematian Astrit dan Laelterungkap enam bulan lalu, 10 Oktober 2021, saat para pekerja proyek penggalian pipa menemukan jasad kedua korban dikubur di dalam tanah.
”Saya minta Pak Kajati membantu menuntaskan kasus kematian ibu dan anak, Astrit dan Lael, di Kupang beberapa waktu lalu. Saya juga telah menyampaikan hal ini ke Polda NTT karena telah menjadi sorotan warga NTT. Kasus-kasus serius seperti ini perlu segera diredam melalui penanganan yang adil dan jujur,” kata Laiskodat kepada Hutama Wisnu dan rombongan. Wisnu menggantikan Yulianto yang pindah tugas ke Kejaksaan Agung RI.
Berkas perkara Astrit dan Lael dengan tersangka pembunuhan ayah kandung Lael, Randy Bajideh (36), sudah tiga kali dikembalikan pihak penyidik Kejati NTT. Berkas perkara itu dinyatakan tidak lengkap. Pengembalian berkas berturut-turut pada 22 Januari 2022, 7 Februari 2022, dan 25 Februari 2022.
Astrit dan Lael dinyatakan hilang dari rumah mereka di Kupang, 28 Agustus 2021. Keduanya ditemukan meninggal pada 10 Oktober 2021 oleh pekerja proyek perpipaan di wilayah Kota Kupang atau dua bulan setelah dinyatakan hilang oleh keluarga.
Pasca-penemuan jenazah ibu dan anak ini, gelombang aksi demonstrasi dan protes dari warga terus bermunculan. Sedikitnya ada 42 lembaga swadaya masyarakat, praktisi hukum, pemerhati masalah perempuan dan anak, dan kelompok perempuan peduli hak perempuan dan anak di Kota Kupang terus mendesak polda agar bersikap terbuka, jujur, dan tidak diskriminatif dalam menangani kasus tersebut. Melalui diskusi di grup media sosial, mereka terus memantau, mengikuti, dan membahas kasus ini.
Lembaga swadaya masyarakat, praktisi hukum, pemerhati masalah perempuan dan anak, dan kelompok perempuan peduli hak perempuan dan anak di Kota Kupang terus mendesak Polda agar bersikap terbuka, jujur, dan tidak diskriminatif dalam menangani kasus tersebut.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (1/3/2022), Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejaksaan Tinggi NTT Abdul Hakim mengatakan, pihaknya mengembalikan berkas ke polisi terakhir kali pada 25 Februari 2022. Dia menyebut, pertama kali pihaknya mengembalikan berkas perkara pada 7 Januari 2022 dan kedua pada 7 Februari 2022. "Alasan dikembalikan karena petunjuk yang dikasih belum dipenuhi penyidik Polda NTT. Nanti penyidik penuhi petunjuk baru diteliti lagi," kata Abdul.
Menurut Abdul, batasan waktu melengkapi berkas yakni selama 14 hari. Jika belum mengirim berkas, maka akan diberikan surat pemberitahuan oleh jaksa. "Isi surat pemberitahuan, yaitu waktu sudah habis untuk segera dilimpahkan ke jaksa penuntut umum," kata dia.
Abdul mengatakan, pengembalian berkas perkara bisa tiga kali bahkan lebih, jika penyidik polisi tidak memenuhi petunjuk jaksa. "Karena yang akan buktikan di persidangan nanti itu jaksa," tambahnya.
Aktivis Pembela Hak Perempuan dan Anak Kota Kupang, Grace Gracela, misalnya, mengatakan, pengembalian berkas perkara Randy Bajideh dari Kejaksaan ke Polda NTT sebanyak tiga kali semestinya menjadi bahan refleksi kinerja institusi Polri di Polda NTT. Pengembalian berkas itu harus bisa mendorong polda untuk mengungkap kasus ini secara transparan dan berkeadilan.
Koordinator Aksi Peduli Kemanusiaan untuk Astrit dan Lael, Cristo Kolimon, mengatakan, terjadi sejumlah kejanggalan yang dilakukan penyidik polda. Hasil pemeriksaan forensik oleh dokter ahli forensik, Ajun Komisaris Besar Edy Hasibuan, menyebutkan, pada kepala korban Astrit terdapat benturan benda tumpul, sedangkan kepala Lael tidak bisa dideteksi karena sudah membusuk, tinggal tengkorak. Selain itu, kedua korban juga diduga meninggal karena gangguan pernapasan, sesuai tanda pembengkakan pada leher.
Keterangan tersangka (Randy) bahwa ia mencekik korban Astrit hingga meninggal karena terlebih dahulu mencekik Lael dinilai janggal. ”Sangat tidak mungkin seorang ibu kandung membunuh anaknya dan siapa yang menjadi saksi atas pernyataan tersangka ini,” kata Kolimon.
Menurut Kolimon, dalam pernyataannya, tersangka mengaku, ada seseorang yang membantumenggali lubang dan memasukkan kedua jenazah ke dalam lubang. Orang itu mestinya juga ditetapkan sebagai tersangka, tetapi orang itu tetap dibiarkan. Keterlibatan orang itu memperlihatkan peristiwa ini sebagai pembunuhan berencana.
Untuk itu, Kolimon menduga penyidik polda sengaja membiarkan berita acara pemeriksaan begitu sumir, mentah, dan tak dilengkapi alat bukti dengan tujuan membebaskan tersangka di pengadilan. Penyidik sengaja tidak menggali lebih dalam untuk mengungkap kasus ini secara terang benderang demi kepentingan tertentu.
Menurut Kolimon, penyidik Polda, dengan kemampuan dan fasilitas yang dimiliki semestinya bisa mengungkap kasus ini secara transparan melalui keterangan tersangka RB dan saksi lain. Penyidik juga bisa menganalisis hasil percakapan lewat telepon seluler antara korban Astrit dan sejumlah orang sebelum dibunuh.
Sementara itu, penasihat hukum Randy Bajideh, Benny Taopan, mengatakan, penetapan penahanan Bajideh dimulai 2 Desember 2021. Perintah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana antara lain menyebutkan, penahanan itu berlangsung 20 hari, kemudian bisa diperpanjang 40 hari, hingga menjadi 60 hari oleh penyidik.
Namun, untuk perkara dengan ancaman hukuman di atas 9 tahun, KUHP memberi tambahan 60 hari lagi bagi penyidik sehingga total waktu penahanan di tangan penyidik Polda menjadi 120 hari. ”Dengan ini, jika sampai dengan 2 April 2022 penyidik Polda belum memenuhi permintaan penyidik Kejati NTT, klien kami RB bebas demi hukum,” kata Taopan.
Ia mendukung pengembalian berkas oleh Kejati NTT. Berkas perkara tersebut dinilai masih mentah. Penyidik polda mengenakan Pasal 340 UU KUHP mengenai pembunuhan berencana, Pasal 338 tentang penghilangan nyawa orang lain, dan Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun, tiga unsur penetapan tersangka ini tidak didukung dengan alat bukti.
Jika kasus kematian itu masuk kategori pembunuhan berencana, semestinya selain RB, masih ada tersangka lain. Namun, polisi hanya menetapkan RB sebagai tersangka tunggal. ”Tidak ada saksi yang melihat atau menyaksikan seluruh proses pembunuhan itu kecuali RB sendiri,” kata Taopan.
Taopan menambahkan, terkait kematian Lael, sesuai keterangan RB, dilakukan oleh ibu kandungnya, bukan oleh tersangka sehingga pengenaan pasal perlindungan anak juga tidak pas. Tindakan ibu kandung itu mendorong tersangka membunuh Astrit.
Supaya berita acara itu segera diterima penyidik Kejati, penyidik polda harus mengubah pasal-pasal yang dikenakan terhadap RB. ”Mengubah, bisa menghapus, bisa juga menambahkan. Namun, jika penyidik menghapus pasal-pasal yang telah dikenakan itu, klien kami akan bebas di pengadilan. Di sini, reputasi polda dipertaruhkan di hadapan masyarakat NTT, bahkan masyarakat Indonesia karena berita ini sudah viral,” kata Taopan.