Proses penegakan hukum terhadap kasus pembunuhan seorang ibu dan bayinya di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, mendapat sorotan publik. Reputasi dan wibawa Polri pun dipertaruhkan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Aksi unjuk rasa di depan Markas Polda Nusa Tenggara Timur pada 23 Desember 2021. Massa aksi tersebut menuntut penegakan hukum yang adil terhadap pembunuhan Astri Manafe dan anaknya, Lael.
Gelombang unjuk rasa berdatangan ke Markas Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur pada 23 Desember 2021. Kritik pedas, umpatan, serta tuduhan terus menyengat tubuh institusi penegak hukum tersebut. Serbuan dari publik itu semata untuk meminta keadilan dalam penyidikan kasus pembunuhan Astri Manafe (30) dan anaknya, Lael (1).
Publik mulai bereaksi sejak penemuan jenazah seorang ibu dan bayi di Kelurahan Penkase Oeleta, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Sabtu 30 Oktober 2021. Penemuan jenazah itu langsung diikuti dengan tersiarnya kabar mengenai hilangnya Astri dan Lael. Ibu dan anak itu pergi dari rumah pada 27 Agustus 2021.
Untuk mengungkap kasus itu, polisi melakukan otopsi. Hasilnya, pada bagian kepala kedua korban terkena benda tumpul. Diduga kematian mereka tak wajar. Namun, polisi masih butuh waktu untuk mengungkap identitas korban. Jari Astri yang putus menyulitkan polisi mengungkap identitas korban lewat sidik jari.
Akhirnya, dilakukan tes DNA. Tes DNA merupakan penyelidikan secara genetik menggunakan teknik biologi molekuler. Tes DNA melibatkan orang yang diduga memiliki hubungan darah dengan korban. Pada 24 November 2021, terungkap bahwa sosok jazad itu atas nama Astri dan Lael.
TANGKAPAN LAYAR FACEBOOK
Tangkapan layar foto Astri Manafe dan anaknya, yang sama-sama jadi korban pembunuhan di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Janazah korban ditemukan pada 30 Oktober 2021.
Tak lama, di media sosial, muncul nama Randi (31). Ia dikaitkan dengan pembunuhan itu. Randi adalah pacar Astri dan Lael adalah anak dari hasil hubungan mereka. Namun, Randi sendiri sudah berkeluarga dan memiliki anak. Konon katanya, Randi dan Astri sejak lama pacaran, tetapi hubungan mereka tidak direstui lantaran beda agama.
Di media sosial, beredar pula tangkapan layar percapakan via aplikasi Whatsapp antara Astri dan istri Randi bernama Ira. Ira memarahi Astri lantaran dianggap merusak rumah tangga mereka. Percakapan itu pun dikaitkan dengan kasus kematian Astri dan Lael.
Publik mendesak polisi agar segera menangkap pelaku pembunuhan. Tanggal 2 Desember 2021 Randi datang menyerahkan diri ke Markas Polda NTT. Ia bahkan sempat bertemu dengan Kepala Polda NTT Inspektur Jenderal Lotharia Latif. Randi datang menyerahkan diri, bukan ditangkap.
Kami tidak ingin terburu-buru dan selalu mengedepankan prinsip scientific crime investigation.
Dalam keterangan pers seusai Randi menyerahkan diri, Direktur Kriminal Umum Polda NTT Komisaris Besar Eko Widodo mengatakan, penyidik tidak langsung percaya begitu saja dengan pengakuan tersebut. Penyidiki masih mendalami. Status Randi adalah saksi.
Sehari kemudian, Randi ditetapkan sebagai tersangka. Polisi menjerat Randi dengan Pasal 338 tentang pembunuhan sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tersangka diancam dengan hukuman penjara maksimal 15 tahun. Publik langsung bereaksi keras.
Kompas
Ilustrasi
Publik menuduh ada yang tidak beres dalam penegakan hukum tersebut. Publik menilai, Randi layak dijerat dengan Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang mengatur tentang pembunuhan berencana. Publik pun menduga ada pelaku lain. Tak hanya Randi.
Gelombang unjuk rasa mulai berdatangan ke Markas Polda NTT. Massa menilai ada kejanggalan dalam penanganan kasus tersebut. Massa bahkan menuntut agar Latif dicopot dari jabatannya sebagai Kapolda NTT. Pengacara ternama di Tanah Air, seperti Hormat Paris, pun angkat bicara dalam salah satu acara di televisi swasta. Hotman menilai ada kejanggalan.
Beberapa hari kemudian, Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Rishian Krisna mengumumkan bahwa Randi dijerat dengan Pasal 340, pembunuhan berencana. Menurut Krisna, penggunaan pasal itu setelah polisi menemukan bukti tambahan yang mengarah pada pembunuhan berencana.
Di tengah sorotan publik terhadap kinerja penyidikan Polda NTT, tiba-tiba Kepala Polri Jenderal Listyo (Pol) Sigit Prabowo memutasi Latif dari Kapolda NTT menjadi Kapolda Maluku. Jabatan yang ditinggal Latif diganti oleh Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto yang sebelumnya bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo diapiti Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Ago Yuwono dan Kapolda NTT Irjen Lotharia Latif saat berbicara kepada media seusai meninjau pelaksanaan vaksinasi oleh Polda di Markas Polda NTT di Kupang, Sabtu (3/4/2021).
Larang ambil gambar
Penyidik Polda NTT lalu menggelar rekonstruksi pembunuhan pada 21 Desember 2021. Sebelumnya, penyidik menggelar pra rekonstruksi yang berlangsung di halaman Markas Polda NTT. Rekonstruksi ini menarik perhatian masyarakat. Ribuan orang memadati sejumlah lokasi rekonstruksi.
Anehnya, masyarakat yang hadir dilarang mengambil gambar. Anggota Polri membentuk pagar betis sambil mengawasi warga agar tidak merekam adegan tersebut. Namun, sebagian warga menolak sehingga terjadi adu mulut. Warga menilai ada kejanggalan.
Warga lalu membandingkan rekonstruksi dengan kasus serupa beberapa waktu lalu. Saat itu, warga dengan bebas mengambil gambar, bahkan menyiarkan secara langsung lewat Facebook. ”Apa dasar polisi melarang hal ini? Mengapa kasus yang sebelum bisa?" teriak salah satu warga seraya mengajak warga yang lain ramai-ramai mengambil gambar.
Ternyata itu tidak hanya untuk warga. Wartawan pun sempat dilarang. Seorang perwira bernama Ajun Komisaris Laurensius meminta anak buahnya memeriksa telepon genggam milik wartawan Pos Kupang. Padahal, wartawan Pos Kupang sudah menyebutkan identitasnya.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Ajun Komisaris Laurensius (kanan), perwira pada Polda NTT, menyampaikan permintaan maaf kepada awak media di Kupang pada 22 Desember 2021. Sehari sebelumnya, Laurensius melarang awak media mengambil gambar dalam rekonstruksi pembunuhan Astri Manafe dan Lael.
Sehari kemudian, pada 22 Desember 2021, puluhan jurnalis di Kota Kupang menggelar unjuk rasa di depan Markas Polda NTT. Massa mengecam pembungkaman kerja jurnalistik oleh oknum perwira Polda NTT. Laurensius kemudian datang menemui wartawan dan secara terbuka menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut.
Berhati-hati
Kepala Bidang Humas Polda NTT Komisaris Besar Rishian Krisna mengatakan, Polda NTT sudah mendengarkan aspirasi dari masyarakat, baik melalui media sosial, media arus utama, maupun juga unjuk rasa. Penyidik tetap bekerja sesuai dengan aturan hukum yang didukung fakta dan bukti hukum. ”Kami tidak ingin terburu-buru dan selalu mengedepankan prinsip scientific crime investigation,” ucapnya.
Ia juga menegaskan bahwa Polri sangat transparan dalam penegakan hukum kasus tersebut. Setiap perkembangan penanganannya selalu dilaporkan kepada publik lewat konferensi pers. Ia meminta publik ikut mengawal kasus tersebut hingga proses persidangan nanti.
Mikhael Feka, pengajar Hukum Pidana pada Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, berharap Polda NTT bekerja secara profesional dalam menangani kasus itu. Sebab, penegakan hukum yang tidak memberikan rasa keadilan akan membuat institusi Polri, yang kini terus berbenah, akan terus mendapat sorotan negatif.
Peristiwa pembunuhan menarik perhatian publik. Ini terlebih dengan adanya korban seorang anak balita tak berdosa. Semua mata tertuju ke Polda NTT yang kini memiliki pemimpin baru, Inspektur Jenderal Setyo Budiyanto. Penegakan hukum terus bergulir. Reputasi dan wibawah Polri kini dipertaruhkan di NTT.