Fermentasi, Memperpanjang Napas Kuliner Tradisi Jawa Barat
Kuliner Jawa Barat mendapat pemompa semangat lewat teknik fermentasi. Di tengah tantangan zaman, keberadaannya terus menghidupi manusia.
Kreasi kuliner Jawa Barat yang dibuat dengan fermentasi tidak hanya menambah daya tahan. Keberadaannya memperpanjang napas usaha produsen yang ditantang persaingan, perkembangan digital, hingga alih fungsi lahan. Kreativitas pun membawa kuliner tersebut dari rumah sederhana ke toko oleh-oleh, pasar swalayan, hingga kafe dan restoran masa kini.
Yani Handayani (43) menyuguhkan gelas plastik berisi yoghurt, nata de coco, irisan leci, dan jeli kepada pengunjung di tokonya, Yola Yoghurt, di Jalan Cipari, Cigugur, Kabupaten Kuningan.
”Bagaimana rasanya? Ini produk baru banget,” ucapnya, Rabu (2/3/2022).
Bukannya menjawab, pengunjung dari Cirebon, Jabar, itu terus melahap yoghurt buatannya. Keduanya pun tersenyum memandang isi cup yang nyaris ludes kurang dari 3 menit. Produk teranyarnya yang rasanya asam, manis, dan segar telah mendapatkan respons positif.
Dengan produktivitas 15 liter susu per hari per ekor sapi, potensi susu di kaki Gunung Ciremai itu bisa mencapai 102.030 liter per hari. Artinya, bahan baku pembuatan yoghurt melimpah.
Aneka kreasi yoghurt juga terpajang di lemari pendingin. Mulai dari rasa anggur, isi jeli, hingga campuran potongan buah naga. Semuanya dikemas dalam botol plastik ukuran 250 mililiter sampai 1 liter dengan merek Yola Yoghurt. Ada pula petunjuk waktu kedaluwarsa.
Yola merupakan akronim dari Yoghurt Laras Ati, sebuah kelompok peternak sapi perah. Dari para peternak itulah, Yani menerima susu murni, bahan baku yoghurt. Awalnya, susu dimasak hingga suhu 85 derajat celsius. Lalu, susu didinginkan sampai 40 derajat celsius sekitar 6 jam.
Baca juga: Kisah dari Jabar Sarat Pesan yang Terus Menghidupi
Setelah itu, bibit yoghurt yang mengandung bakteri Lactobacillus dituangkan ke susu dan diaduk merata. Kemudian, hasil campuran tersebut didiamkan sekitar 12 jam sebelum ditambah perasa atau gula sesuai selera. Tahap akhir, susu hasil fermentasi itu dikemas dan siap dijual.
Semua proses itu dikerjakan Yani bersama lima karyawannya di ruang produksi, belakang toko. Meski skala rumahan, ia menerapkan standar produksi. Pekerja, misalnya, harus mengenakan celemek, masker, penutup kepala, dan sarung tangan. Pengumuman itu menempel di tembok.
”Kami tetap menjaga kualitas. Misalnya, tidak mencampur susu dengan air. Makanya, harga di sini lebih mahal. Tapi, konsumen biasanya lebih memilih yang murah,” ujarnya. Ia mencontohkan, yoghurt kemasan 250 mililiter dijual Rp 10.000 per botol, sedangkan di tempat lain Rp 8.000 per botol.
Sejauh ini, menjajakan yoghurt jauh lebih menguntungkan dibandingkan susu. Sebagai gambaran, 1 liter susu dari peternak hanya berkisar Rp 7.500-Rp 8.000. Ketika jadi yoghurt, harganya Rp 18.000 per liter. Yoghurt bisa tahan hingga tiga bulan di kulkas, sedangkan susu hanya tiga hari.
Bukan susu basi
Yani mulai membikin yoghurt pada 2012, setelah pulang dari Malang, Jawa Timur, dalam pelatihan produk olahan susu yang digelar Pemkab Kuningan. Mulanya, ia menjajakan yoghurt ke warung sekitar. ”Dikiranya saya jual susu basi atau dikasih sitrun,” kenangnya.
Baca juga: Sarapan di Bandung, Bangunlah Lebih Pagi agar Tidak Gigit Jari
Sarjana ekonomi di sebuah kampus swasta di Kuningan ini pun memberi penjelasan soal yoghurt. Setelah mencicipi, pemilik warung menyukainya. Pesanan datang dari tetangga hingga konsumen dari Jakarta. Skala produksinya pun meningkat dari 5 liter hingga 100 liter per hari.
Ibu tiga anak ini pun lalu membangun toko di lahan kosong samping rumahnya. Produknya juga tersebar di sejumlah toko oleh-oleh Kuningan. ”Ada juga yang reseller (penjual kembali) yoghurt di Tangerang. Alhamdulillah, banyak pendapatan. Saudara juga bisa kerja,” katanya.
Baca juga: Dari ”Ontbijt” hingga ”Rijsttafel”, Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri
Yoghurt juga telah mengubah hidup Ade Hendra (47) dan keluarganya, warga Desa Cipari, Cigugur. Setelah mengikuti pelatihan produk olahan susu pada 2007, ia belajar membuat yoghurt. Pada 2013, ia melabeli produknya dengan Suka Yoghurt.
Tidak hanya Ade, peternak pun diuntungkan. Saat itu, dari sekitar 21.000 liter susu sapi peternak di KSU Karya Nugraha, hanya 6.000 liter yang dikirim ke pabrik di Bandung. Sisanya, 15.000 liter susu belum terolah optimal.
Cigugur merupakan sentra sapi perah di Kuningan. Pada 2021, tercatat 6.802 sapi betina. Dengan produktivitas 15 liter susu per hari per ekor sapi, potensi susu di kaki Gunung Ciremai itu bisa mencapai 102.030 liter per hari. Artinya, bahan baku pembuatan yoghurt melimpah.
Saat ini, toko yang juga menyediakan aneka produk usaha mirko, kecil, menengah Kuningan itu mampu mengolah 300 liter susu, paling banyak menjadi yoghurt, per hari. ”Dulu, sebelum pandemi, bisa 600 liter diolah setiap hari,” ucap Widya (20), anak Ade.
Baca juga: Julie Sutardjana, ”Nyonya Rumah” Wariskan Resep Sederhana Kaya Cita Rasa
Tidak hanya di toko, sekitar 50 reseller juga menjual Suka Yoghurt. Mulai dari Cirebon, Indramayu, sampai Bandung. Produknya juga dapat dipesan melalui ojek daring. ”Yoghurt kami juga sudah ada di dua kafe di Cirebon,” ucap Widya.
Yoghurt juga telah meningkatkan taraf pendidikan keluarganya. Orangtuanya hanya tamatan SMP dan SMA, sedangkan Widya telah sarjana. Sebanyak 20 karyawannya juga menikmati lapangan kerja, buah sejahtera dari yoghurt.
Salah satunya Hilda Sri Pertiwi (25), yang tiga tahun bekerja di bagian pemasaran Suka Yoghurt. Anak kuli bangunan itu pun bisa sarjana dan membantu sekolah tiga adiknya. ”Lebih baik kerja di sini, dekat rumah. Apalagi, sekarang pandemi Covid-19, susah cari kerja,” ungkapnya.
Tantangan alih fungsi lahan
Di Kota Bandung, colenak atau kuliner berbahan dasar tape singkong yang dicampur gula aren dan parutan kelapa juga bergerak mengikuti zaman. Kudapan yang pernah disajikan untuk para tamu Konferensi Asia Afrika di Bandung 1955 silam ini mulai berganti kemasan dari kertas ke kaleng.
Selama ini, colenak hanya dibungkus kertas dan bertahan kurang dari sepakan. ”Sekarang adik saya sedang mencobanya. Kalau dari produsen, kaleng bisa sampai lebih dari setahun. Sekarang kami akan coba buktikan,” ujar generasi ketiga Colenak Murdi Putra, Mahmud Saefudin (59).
Selain Mahmud, dua adiknya yang berjualan di dekat Pasar Kosambi dan daerah Cibiru juga meneruskan usaha kudapan itu. Colenak buatannya dijajakan di Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, hingga supermarket.
Baca jaga: Aneka Hidangan dari Peuyeum Bandung (Tape Singkong)
Inovasi dengan kemasan wajib dilakukan di tengah pandemi Covid-19. ”Kami memang lebih banyak menyuplai colenak ke supermarket. Dulu itu bisa sampai lebih dari 600 kemasan di supermarket dan di gerai. Sekarang dapat 200-an saja sudah syukur,” ujarnya lesu.
Mahmud melihat, penurunan ini terjadi karena penikmat colenak masih jauh dari kalangan anak muda. Pandemi pun semakin memisahkan jarak dengan pelanggan, sementara penjualan daring sulit dilakukan karena kemasan yang tidak tahan lama.
”Dulu masih ada perkenalan colenak ke anak-anak sekolah. Kalau sekarang susah, jadi kami sekarang mencoba upayakan apa yang bisa dilakukan saja,” tuturnya.
Baca juga: Giliran Coletot, Kudapan Singkong Eratkan Jabar-DI Yogyakarta
Tantangan lainnya adalah bahan baku colenak. Ladang singkong langganannya dari Cimeyan, Kabupaten Bandung, pun berkurang. Cimeyan berada di kawasan perbukitan Bandung utara.
”Sekarang ladang mereka tidak seluas dulu karena daerah sana banyak perumahan. Jadi bisa dibilang colenak sekarang beda dengan rasa zaman dulu. Kami berharap, dengan ragam inovasi, cita rasa kuliner ini tidak hilang,” ujarnya.
Inovasi bakal menyambung napas kuliner yang difermentasi di Jabar. Tidak hanya bersaing dengan aneka makanan lainnya, semua ini dilakukan agar racikan itu tetap menemani berbagai generasi.