Dari ”Ontbijt” hingga ”Rijsttafel”, Akulturasi Kekayaan Kuliner Negeri
Sajian ”ontbijt” dan ”rijsttafel” sama-sama mengisi kekayaan budaya. Bisa jadi kini sajiannya dianggap biasa. Namun, kehadirannya terbukti bertahan lama hingga kini menjadi salah satu fondasi kuliner negeri ini.
Akhir abad ke-19 kerap disebut awal masa emas bagi banyak daerah di Hindia Belanda, termasuk Bandung. Beragam kemudahan aturan dan transportasi mendukung terjadinya akulturasi budaya Eropa-Nusantara dalam beragam hal, termasuk kuliner.
Kala itu, warga pribumi mulai mengenal istilah ontbijt (sarapan) roti, mentega, dan susu. Sebaliknya, makan siang orang Belanda tidak lagi minim bumbu dan monoton. Mereka mulai mau menyantap nasi beserta beragam lauk-pauknya yang dikenal dengan nama rijsttafel.
Kedatangan orang Eropa, terutama Belanda, melatarbelakangi akulturasi budaya itu. Selepas tanam paksa tahun 1870, para pengusaha swasta diizinkan menyewa lahan untuk menanam teh, kopi, dan kina, termasuk di dataran tinggi Bandung. Preangerplanters, begitu mereka kemudian disebut.
Akan tetapi, semuanya bukan perkara mudah. Tidak mudah bagi orang Eropa hidup terasing di negeri orang yang terpencil. Mereka butuh hiburan yang mirip seperti di negara asal agar betah tinggal lama.
Di masa itu, pilihan memanjakan diri tidak banyak. Dalam Bandung, Citra Sebuah Kota, Robert Voskuil menyebutkan Braga menjadi tempat utama mengobati rindu Preangerplanters pada tanah airnya. Di sana ada bioskop, rumah dansa, toko mode terkini, hingga restoran yang berusaha menarik pengunjung sebanyak mungkin.
Salah satu yang berusaha mengais rezeki dari kerinduan itu adalah L van Bogerijen. Sudarsono Katam dalam buku Produsen Ontbijt Walanda Bandoeng mengatakan, L van Bogerijen mendirikan restoran Maison Bogerijen di perempatan Jalan Braga tahun 1918.
Salah satu andalannya adalah menu sarapan. Kue seperti tompoesjes, ontbijtjoek, hingga booterstaf produksi perusahaan roti Valkenet banyak dicari pelanggan.
Salah satu pelanggannya adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda De Fock (1921-1926). De Fock pernah meminta Maison Bogerijen menyediakan resepsi gala makan malam di Residen Yogyakarta dan Keraton Sultan Yogyakarta.
Acaranya sukses dan atas jasanya, restoran itu lantas diberikan penghargaan oleh Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Semakin ramai, Maison Bogerijen pindah ke tempat yang lebih luas di ruas Jalan Braga tahun 1923.
Di tempat baru, namanya semakin harum. Pada 15 April 1925, rumah makan ini diakui sebagai perusahaan pemasok utama kuliner Ratu Belanda.
Baca juga : ”Art Deco”, Tabungan Kenangan di Bandung Merespons Perubahan
Dengan status itu, Maison Bogerijen diberi izin membuat kue khas Kerajaan Belanda, mulai dari Koningin Emma Taart dan Wilhelmina Taart. Lambang Kerajaan Belanda yang dipasang di muka restoran menjadi buktinya.
Masyarakat umum, meski jumlahnya terbatas, juga bisa menikmati sajian kulinernya saat L van Bogerijen membuka pabrik roti sendiri tahun 1926. Pemasok susu, salah satu bahan utama roti, diperkirakan berasal dari peternakan Bandung selatan dan Bandung utara.
Pabrik itu dikenal yang terbaik di seantero Bandung. Bahan bakarnya menggunakan gas dengan jumlah pekerja mencapai 130 orang.
Bagi mereka yang segan makan di restoran, warga sekitar Braga bisa membelinya di bagian belakang bangunan. Ada juga jasa pengiriman menggunakan sepeda bagi pelanggan yang tinggal jauh dari Braga. Cara itu diyakini semakin memopulerkan roti bagi warga Bandung, apa pun statusnya.
Wiranatakusuma V dengan sarapan roti atau nasi setiap pukul 07.00 atau pukul 08.00. Minuman yang dihidangkan adalah ovomaltin dengan susu.
Berjalan lebih dari 50 tahun, pengiriman itu dihentikan tahun 1980-an. Dalam Braga, Jantung Parijs Van Java, Ridwan Hutagalung dan Taufaanny Nugraha mengatakan, dengan dalih antikolonial Pemerintah Indonesia, bangunan asli Maison Bogerijen juga dirombak tahun 1960. Sisanya hanya tungku pembuatan oven dan pipa gas.
Kini, masih berdiri di tempat yang sama, restoran ini bernama Braga Permai. Masih mempertahankan sebagian kue andalan zaman dulu, makanan seperti nasi goreng juga disajikan untuk memanjakan lidah pelanggan.
Kuliner susu dan produk olahannya sebagai teman roti saat sarapan juga bermunculan. Sebelum tahun 1930, ada 15 perusahaan susu besar di Bandung dan Cimahi.
Semuanya bergabung dalam Bandoengsche Melk Centrale (BMC) demi menjamin kualitas susu sapi. Dengan sistem pasteurisasi, BMC menjadi pabrik pengolahan susu tercanggih di zamannya sejak berdiri tahun 1925. Hingga kini, BMC masih beroperasi.
Dari BMC juga beragam produk susu mulai beragam. Susu cokelat, mentega, es krim, hingga susu tepung bayi mulai akrab di lidah warga Bandung dan daerah lain di Priangan.
Simak jadwal makan Bupati Bandung RAA Wiranatakusumah V (1920-1931). Dalam Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942, Nina Lubis menyebutkan, Wiranatakusuma V sarapan roti atau nasi setiap pukul 07.00 atau pukul 08.00. Minuman yang dihidangkan adalah ovomaltin dengan susu. Dia tidak terlalu suka makanan berat Eropa.
Bupati Garut RAA Musa Kartalegawa (1929-1944) juga suka roti dan susu untuk sarapan. Dia bahkan menyukai makanan Eropa, seperti macaronischoutel hingga bistik.
Selain itu, kue-kue Eropa sudah lazim disajikan para menak bukan bupati. Menu panekoek, poffertjces, hingga kue keju disajikan. Saat Lebaran, makanan kaleng, seperti kornet dan ikan salem, menjadi menu utamanya. Pernah menjadi makanan mewah di tempo dulu, roti dan susu kini menjadi menu lazim untuk sarapan.
Kemewahan ”rijsttafel”
Akan tetapi, bukan pribumi saja yang menyerap budaya kuliner baru. Orang Eropa juga ternyata kepincut kuliner lokal. Satu dari sekian banyak hal yang terkenal adalah rijsttafel.
Fadly Rahman dalam Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, menyebutkan, rijst berarti nasi dan tafel artinya meja atau makna kiasan dari hidangan. Komposisi pada umumnya adalah nasi dengan tambahan kuah, sayuran, daging, ikan laut, ikan air tawar, telur, dan tidak lupa sambal.
Dia mengatakan, rijsttafel berasal dari pergulatan panjang orang Eropa dan pribumi di Hindia Belanda. Mulai dari keterbukaan ekonomi akhir abad ke-19 hingga kebergantungan pada perempuan pribumi hingga gengsi pejabat. Keinginan orang Belanda menjadi bagian budaya seni boga adiluhung ikut melatarbelakanginya.
Akan tetapi, lebih dari rasa yang kaya rempah-rempah, sisi seremonial mewah rijsttafel memegang peran penting menaikkan gengsi makanan pribumi. Dari sana, pesonanya dilirik pengusaha hotel di awal tahun 1920-1930.
Kala itu, bisnis hotel dan pariwisata sedang tumbuh. Pengelola butuh inovasi untuk menghadapai persaingan ketat.
Baca juga : Di Tengah Muram Covid-19, Cikadut Jaga Keberagaman hingga Ujung Makam
Haryoto Kunto dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger 1897-1997 menyebutkan, risjsttafel dapat dinikmati di Hotel Preanger, Maison Bogerijen, hingga Societet Concordia, yang semuanya berada di sekitar Jalan Braga. Untuk menambah kebutuhan sumber daya manusia, didirikan Sekolah Kepandaian Puteri untuk memberi pelajaran dan keterampilan memasak.
Pada awalnya, hidangan disajikan pada meja bulat dengan bagian tengah berlubang untuk meletakkan nasi dalam wadah. Di bawahnya disediakan perapian untuk menjaga nasi tetap hangat.
Fadly menambahkan, Savoy Homann juga getol memperkenalkan rijsttafel dan berhasil menjadi daya tarik baru. Mereka menawarkan pengalaman makan di tengah arsitektur bangunan dan interior modern di masa itu.
Akan tetapi, rijsttafel tidak sepenuhnya mati. Hingga kini, banyak muncul restoran menjual menu itu di Belanda. Di Den Haag, misalnya, tidak sulit mencari menu dan penyajian ala rijsttafel.
Peyajiannya bak raja-raja. Dalam satu kesempatan rijsttafel, nasi akan ditemani 20-30 hidangan yang akan diberikan satu per satu. Dengan jumlah sebanyak itu, butuh puluhan pelayan untuk menyajikannya satu per satu. Tidak heran apabila dalam satu sesi bisa dibutuhkan waktu 3-4 jam.
Pamor rijsttafel meredup jelang penjajahan Jepang. Banyak orang Belanda angkat kaki akibat Perang Dunia II. Hotel yang jadi etalase rijsttafel menjadi bagian dari markas militer Jepang.
Savoy Homann, misalnya, menjadi asrama opsir Jepang dan banyak peralatannya rusak berat. Sejak itu, risjttafel tidak lagi jadi menu utama di hotel dan rumah makan kelas atas.
Akan tetapi, rijsttafel tidak sepenuhnya mati. Hingga kini, banyak muncul restoran menjual menu itu di Belanda. Di Den Haag, misalnya, tidak sulit mencari menu dan penyajian ala rijsttafel.
Banyak restoran makanan Indonesia di sana dan menyediakanya sebagai menu itu. Jika ingin merasakan nasi, sate, beragam sayuran, dan sup dalam satu meja, tinggal pesan saja. Semuanya tersedia. Belakangan, Pemerintah Indonesia juga getol melakukan diplomasi budaya dengan Belanda lewat sajian rijsttafel.
Baik ontbijt dan rijsttafel, keduanya sama-sama mengisi kekayaan budaya meski dengan jalan berbeda. Bisa jadi kini sajiannya dianggap biasa. Namun, kehadirannya terbukti bertahan lama hingga kini menjadi salah satu fondasi kuliner negeri ini.
Baca juga : Kenang dan Selamatkan Wajah Pembentuk Geliat Kota Bandung