Pandemi Covid-19 Menguak Kelemahan Sistem Kesehatan Nasional
Pusat kesehatan masyarakat secara nasional perlu dibentuk untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan ke depan.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran bagi sistem kesehatan nasional Indonesia. Ada kegagapan dalam menghadapi pandemi. Hal ini harus segera ditanggulangi agar tak terjadi lagi di masa mendatang.
”Pandemi Covid-19 menghardik kita bahwa sistem kesehatan nasional rentan hingga ke tingkat daerah. Kita mengalami kegagapan ketika menghadapi pandemi,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam diskusi terbatas Kompas Collaboration Forum-City Leaders Community.
Diskusi yang bertema ”Strategi Penanganan Pandemi Pusat dan Daerah” itu dilaksanakan secara daring, Jumat (25/2/2022). Diskusi tersebut juga dihadiri sejumlah pejabat lain, di antaranya Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal, Wali Kota Bogor sekaligus Ketua Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Bima Arya Sugiarto, Wali Kota Singkawang Tjhai Chui Mie, Wali Kota Tangerang Arief R Wismansyah, Wali Kota Cilegon Helldy Agustian, Wali Kota Banjarmasin Ibnu Sina, dan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi.
Selain itu, Wali Kota Batu Dewanti Rumpoko, Wali Kota Pangkalpinang Maulan Aklil, Wali Kota Tarakan Khairul, dan Wali Kota Gorontalo Marten A Taha. Selain itu, Wakil Wali Kota Denpasar Kadek Agus Arya Wibawa.
Di Indonesia, menurut Suharso, penanganan pandemi dilakukan oleh institusi-institusi yang sebenarnya bukan leading di sektornya. Hal itu terjadi karena pandemi dianggap kejadian yang luar biasa secara nasional, tetapi sumber daya tidak mencukupi dan ada persoalan desentralisasi. Vaksinasi, misalnya, pelaksanaannya melibatkan TNI-Polri untuk mendapatkan hasil yang luar biasa. Cara penanganannya pun melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Sementara itu, negara lain, seperti di Eropa dan Amerika yang tidak memiliki persoalan desentralisasi, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) atau pusat pengendalian penyakitlah yang berperan besar. Lembaga semacam CDC di negara-negara itu memiliki instrumen sampai ke negara bagian. Mereka mempunyai kewajiban mengingatkan negara-negara bagian. Jika ada hal yang tidak dilakukan gubernur/wali kota setempat, mereka memiliki informasinya. Adapun di Indonesia hal itu masih sulit dilakukan.
”Kegagapan desentralisasi dengan pandemi ini perlu dikaji baik-baik dan apa yang perlu dilakukan ke depan dalam situasi seperti ini,” ujar Suharso.
Baca juga: Jaga Momentum Percepatan Transformasi Sistem Kesehatan Nasional
Bappenas berpikir pusat kesehatan masyarakat secara nasional perlu dibentuk untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan ke depan. Misalnya, terkait imunisasi dasar lengkap yang sangat penting perannya. Secara nasional imunisasi dasar lengkap baru 63 persen berdasarkan data research kesehatan. Jika menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), imunisasi dasar baru 57 persen.
Sistem kesehatan nasional yang kini sedang dikonstruksi lagi oleh Kementerian Kesehatan perlu didukung seluruh pemerintah daerah. Dengan desentralisasi, pembentukan pusat kesehatan masyarakat secara nasional diperlukan.
Kegagapan desentralisasi dengan pandemi ini perlu dikaji baik-baik dan apa yang perlu dilakukan ke depan dalam situasi seperti ini.
”Saya mohon kepada para kepala daerah memiliki perhatian terhadap sistem kesehatan nasional, dalam hal ini sistem kesehatan di daerah. Jika tidak ada dokter spesialis tertentu harus diperjuangkan,” paparnya.
Kalau tidak ada calon dokter, misalnya, kepala daerah hendaknya mendorong generasi muda di daerahnya untuk masuk fakultas kedokteran dengan catatan mereka harus kembali ke daerah. Sebab, ada kalanya mereka tidak mau kembali ke daerah.
Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur, Khairul menuturkan, jika mengacu ke beberapa negara, misalnya di negara tetangga Malaysia, penyakit menular selalu menjadi kewenangan pusat. Sebab, penyakit menular lintas batas.
Namun, beberapa waktu lalu dengan alasan desentralisasi, daerah mengalami guncangan. Guncangan itu, misalnya, tidak adanya anggaran yang tersedia di pusat untuk penanganan penyakit menular sehingga daerah harus beberapa kali melakukan refocusing anggaran.
Baca juga: Jalan Terang Pengendalian Covid-19 di Indonesia
Menurut Khairul, jika melihat pada kasus-kasus sebelumnya, yakni saat ada isu SARS, begitu ada kabar, pemerintah pusat langsung bergerak cepat, pintu-pintu masuk langsung ditutup. Pintu bandara dan pelabuhan diketahui merupakan kewenangan pusat.
Hal itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah pusat saat awal pandemi Covid-19. Namun, saat itu daerah masih menunggu komando pusat. Karena tak juga ada komando terpusat, akhirnya masing-masing daerah berinisiatif.
Contohnya, pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang melakukan pada awalnya DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Tarakan. Lima bulan hasilnya berjalan dengan baik. Namun, akhirnya tak bisa membendung penyebaran Covid-19 karena tidak semua daerah melaksanakan pembatasan secara bersamaan.
”Belum lagi masalah anggaran. Setiap daerah memiliki kemampuan fiskal berbeda. APBD sudah ’bergerak’ tiba-tiba harus refocusing,” ungkapnya.
Indonesia seharusnya belajar dari negara China yag sudah berpengalaman beberapa kali menanggulangi wabah. Saat ada kasus di Wuhan, maka satu provinsi lock down tiga bulan. Mereka pulih dan ekonomi tetap tumbuh karena provinsi lain tetap bisa bergerak.
Di Indonesia, saat isu Covid-19 muncul justru ada yang meyakini virus itu tidak akan masuk ke Indonesia karena suhu panas. ”Ketika Covid-19 kita terlambat dalam bergerak dan semestinya komando dari pusat langsung antisipatif di pintu-pintu masuk,” ujar Khairul.
Keseimbangan
Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri Safrizal menuturkan, memang di awal-awal pandemi Indonesia gagap. Hal itu dialami oleh semua negara di saat menghadapi awal pandemi karena belum pernah menghadapi pengalaman seberat ini. Namun, sistem penanganan pandemi saat ini menemukan keseimbangannya.
Dalam pengendaliannya pernah dengan pendekatan PSBB, tetapi ternyata banyak ”tarik-ulur” dan pendapat yang tidak sempat didiskusikan karena tekanan. Kemudian, pendekatan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) dan PPKM darurat hingga kini PPKM berjalan. Semua negara mencari bentuk terbaiknya dengan karakteristik negara masing-masing untuk mengatasi pandemi.
Syafrizal mengatakan, regulasi biasa misalnya adanya pembagian kewenangan bisa dilakukan dalam situasi normal. Namun, dalam keadaan darurat, banyak penyesuaian untuk mencari jalan terbaik hingga menemukan cara terbaik.
Di Kementerian Kesehatan, tambahnya, ada pusat krisis kesehatan. Namun, pusat krisis itu disiapkan untuk krisis sebesar pandemi Covid-19. Karena itu, kebijakan darurat dilakukan.
Baca juga: Pengelolaan Kota Perlu Lebih Kreatif dan Inovatif
Tjhai Chui Mie mengatakan, untuk saat ini hal yang penting diperhatian adalah stok obat batuk, flu dan anti virus. Obat-obat itu hendaknya ada di puskesmas dan diberikan kepada masyarakat secara gratis. “Vaksinasi juga dilakukan dengan berbagai cara. Vaksinasi dilakukan malam hari di tempat terbuka, misalnya di kafe,” kata Tjhai Chui Mie.
Bima Arya Sugiarto, menuturkan, sinergi dan kolaborasi begitu dahsyat apabila dimaksimalkan antara pemerintah pusat, daerah serta media. Indonesia bukan hanya Jakarta dan pulau Jawa. Episentrum Indonesia harus lebih luas.
Perspektif daerah harus lebih tampil ke muka dan ikut naik ke panggung-panggung diskusi dan pembuat kebijakan. Hanya dengan kolaborasi pemerintah pusat dan daerah serta turun ke bawah masalah pandemi bisa diatasi.