Pengendalian Covid-19 semakin menunjukkan titik terang. Tidak hanya di Jawa, namun juga merata di seluruh wilayah Indonesia. Sinyal pandemi sudah terkendali?
Oleh
Rangga Eka Sakti dan Dedy Afrianto
·5 menit baca
Perbaikan yang konsisten menunjukkan jalan pengendalian Covid-19 semakin terang. Tak hanya wilayah-wilayah di Pulau Jawa, kini perbaikan juga dirasakan nyaris di seluruh wilayah di Indonesia. Tren positif ini perlu untuk terus dijaga momentumnya dengan menggenjot laju vaksinasi dan tak lengah untuk terus melakukan 3T.
Konsistensi perbaikan pengendalian Covid-19 ini terekam dalam Indeks Pengendalian Covid-19 (IPC-19) yang kini telah dilakukan selama 16 minggu. Dalam dua bulan terakhir, terdapat sebuah pola pemerataan dalam upaya pengendalian Covid-19 di Indonesia.
Jika pada Agustus 2021 perbaikan didominasi daerah-daerah di Pulau Jawa, sejak September lalu daerah lainnya di luar Jawa juga menunjukkan perbaikan pengendalian hampir merata.
Perbaikan pada daerah-daerah di luar Jawa sekaligus memperkecil selisih skor pada setiap gugus wilayah. Pada periode penghitungan 30 Agustus 2021, misalnya, rata-rata skor indeks di Pulau Jawa dan Kalimantan terpaut 11 poin. Kini, kedua gugus wilayah ini hanya terpaut empat poin. Hal senada juga tampak pada gugus wilayah lainnya.
Namun, di tengah laju perbaikan pengendalian masih terdapat sejumlah wilayah yang belum menunjukkan konsistensi. Saat sebagian besar daerah mencatatkan tren perbaikan skor pengendalian dalam lima pekan terakhir, ada lima daerah yang mencatatkan tren skor pengendalian secara tidak konsisten dan cenderung memburuk.
Kelima daerah tersebut adalah Kepulauan Bangka Belitung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Barat.
Dari seluruh provinsi, Kepulauan Bangka Belitung dan Sulawesi Tengah adalah daerah yang selama lima pekan terakhir tidak pernah mencatatkan kenaikan skor pengendalian. Kedua provinsi ini mencatatkan tren pengendalian yang cenderung memburuk sejak 4 Oktober 2021.
Aspek manajemen pengobatan menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh kedua provinsi ini. Pasalnya, baik Kepulauan Bangka Belitung maupun Sulawesi Tengah sama-sama mencatatkan tren penurunan skor pada aspek manajemen pengobatan yang mencakup indikator total kesembuhan terhadap total kasus, rata-rata kasus kematian selama tujuh hari terhadap maksimal kasus, dan keterisian tempat tidur di rumah sakit khusus Covid-19.
Sementara Jawa Tengah dan Jawa Timur, meskipun pada pekan terakhir periode pengukuran mengalami perbaikan skor pengendalian, kedua wilayah ini mengalami tren penurunan skor pengendalian pada empat pekan sebelumnya.
Konsistensi pengendalian pada aspek manajemen pengobatan menjadi pekerjaan rumah bagi Jawa Tengah dan Jawa Timur, khususnya pada indikator tingkat kesembuhan dan tingkat kematian.
Catatan khusus juga perlu ditujukan pada Provinsi Sulawesi Barat. Setelah mengalami tren perbaikan skor pengendalian pandemi sejak akhir Agustus hingga September lalu, daerah ini mengalami fluktuasi skor pengendalian pandemi sepanjang Oktober.
Meski membaik pada pertengahan Oktober, dalam dua pekan berturut-turut kondisi pengendalian pandemi di wilayah ini kembali mengalami perburukan dan mengalami penurunan skor sebesar lima poin dibandingkan dua pekan sebelumnya. Penurunan skor ini adalah yang terdalam dibandingkan 33 provinsi lainnya di Indonesia.
Sama seperti provinsi lainnya yang mengalami tren penurunan skor, aspek manajemen pengobatan juga menjadi hal yang perlu memperoleh perhatian khusus, terutama pada indikator kesembuhan dan kematian. Aspek dan indikator inilah yang berkontribusi pada penurunan skor indeks pengendalian Covid-19 di Selawesi Barat.
Terlepas dari tren positif ini, vaksinasi masih menjadi pekerjaan rumah yang tak urung selesai. Memasuki kurun lebih dari setengah tahun, capaian vaksinasi masih berkisar di angka 44 persen dari total target.
Dari angka tersebut, baru sekitar 27 persen yang telah terimunisasi secara penuh. Dalam hal ini, ketimpangan menjadi persoalan yang paling utama.
Di satu sisi, beberapa wilayah memiliki capaian vaksinasi yang sangat tinggi. Salah satu contohnya DKI Jakarta sebagai provinsi dengan laju vaksinasi tercepat. Di wilayah ini capaian vaksinasi pertama telah mencapai 100 persen dari target. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen telah menerima dosis kedua.
Ketimpangan mulai nampak ketika membandingkan vaksinasi di DKI Jakarta dengan di Kep. Riau sebagai provinsi dengan capaian tertinggi ke tiga. Di provinsi ini, baru sekitar 60 persen dari target vaksinasi yang telah menerima setidaknya satu dosis. Dari jumlah tersebut, tak sampai 50 persen yang telah menerima dosis lengkap.
Merujuk pada laporan WHO, masih terdapat beberapa provinsi dengan catatan kritis. Garis merah dari WHO ini tentu dikarenakan capaian vaksinasi di provinsi-provinsi ini masih jauh tertinggal dibandingkan yang lainnya.
Namun tak hanya itu, kekritisian ini bukan hanya soal capaian yang masih jauh dari target, melainkan juga karena masih rendahnya vaksinasi di golongan umur lansia yang rentan jika terpapar Covid-19.
Beberapa provinsi yang ”kritis” menurut WHO adalah Aceh, Sumatera Barat, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Secara umum, capaian vaksinasi di provinsi-provinsi ini masih berada di kisaran 20 persen ke bawah dari target. Parahnya, tak sampai 10 persen dari lansia di wilayah-wilayah ini yang telah menerima dosis vaksin.
Di antara kedelapan provinsi tersebut, Aceh menjadi yang paling parah. Di provinsi ini, baru 15,5 persen dari target yang telah divaksinasi. Adapun hanya 5 persen dari lansia yang sudah menerima dosis vaksin. Sebelas dua belas, capaian serupa juga diraih oleh Sumatera Barat.
Di provinsi ini, hanya sekitar 15 persen dari target yang telah divaksin. Selanjutnya, baru sekitar 5,4 persen dari penduduk golongan usia tua yang telah diimunisasi.
Pengalaman negara lain, seperti Inggris, membuktikan bahwa vaksinasi menjadi modal yang kuat untuk menekan angka kematian ketika kasus positif sedang tinggi.
Tak ayal, persoalan ketimpangan vaksinasi ini perlu untuk segera diselesaikan. Momen melandainya pertumbuhan kasus mestinya dapat dimanfaatkan untuk mengatasi ketertinggalan karena mobilisasi logistik yang relatif lebih mudah dan aman.
Jangan sampai ketika varian baru mulai menerpa, Indonesia tak siap dan ribuan korban jiwa harus berjatuhan seperti kala varian Delta melanda lima bulan lalu. (LITBANG KOMPAS)