Sopir di Jateng Unjuk Rasa Minta Revisi Aturan ODOL
Pengemudi truk meminta keringanan aturan terkait kendaraan angkutan barang dengan dimensi dan muatan berlebih atau ODOL. Menaikkan standar upah sopir truk menjadi kunci perwujudan aturan bebas ODOL.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Ratusan pengemudi truk di Jawa Tengah melakukan unjuk rasa meminta agar aturan 2023 bebas kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih (over dimension over loading/ODOL) direvisi. Aturan itu dinilai memberatkan sopir dan berpotensi merugikan masyarakat.
Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Angkutan Barang Dengan Kendaraan Bermotor di Jalan, kendaraan dengan kapasitas dan dimensi berlebih dilarang beroperasi. Hal itu terjadi karena keberadaan truk ODOL dianggap membahayakan keselamatan masyarakat umum dan pengguna jalan lain.
Sanksi terhadap pelanggaran bebas ODOL, antara lain, penilangan, transfer muatan, hingga tidak diizinkannya kendaraan pelanggar meneruskan perjalanan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Jelang program 2023 bebas kendaraan ODOL, Kementerian Perhubungan dan kepolisian berencana menggelar operasi penegakan hukum terhadap truk ODOL secara masif sepanjang 2022. Rencana tersebut mendapatkan sejumlah reaksi dari para sopir angkutan barang.
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, sekitar 350 sopir truk dari Kota Semarang, Magelang, Purworejo, Cilacap, Demak, dan Kendal berkumpul untuk berunjuk rasa, tepatnya di depan Kantor Dinas Perhubungan Jateng, Selasa (22/2/2022). Dalam unjuk rasa tersebut, para sopir membawa sejumlah spanduk berisi penolakan terhadap aturan yang melarang kendaraan ODOL beroperasi.
Para sopir juga menyampaikan sejumlah tuntutan agar truk roda enam sumbu satu diperbolehkan memiliki panjang bak 9.500 sentimeter dan lebar 260 sentimeter serta truk roda sepuluh sumbu dua diperbolehkan memiliki panjang bak 10.500 sentimeter dan lebar 260 sentimeter. Sementara truk engkel dan boks roda enam sumbu satu diperbolehkan memiliki penjang bak 9.500 sentimeter, lebar 260 sentimeter, dan tinggi 4.200 sentimeter. Adapun truk tronton dan boks roda sepuluh sumbu dua diperbolehkan memiliki panjang bak 10.500 sentimeter, lebar 260 sentimeter, dan tinggi 4.200 sentimeter.
”Kami meminta revisi karena denda tilang yang diterapkan itu mahal, memberatkan sopir. Selama ini, kalau ditilang karena ODOL itu yang menanggung biayanya sopir. Selain berdampak dari segi biaya, ada ancaman hukuman bagi pengemudi truk ODOL yang akhirnya membuat sebagian dari kami tidak berani bekerja,” kata Ketua Umum Aliansi Pengemudi Independen Nasional Suroso, Selasa.
Selain terkait dimensi truk, para sopir juga meminta dipermudah dalam uji emisi dan uji KIR. Mereka juga berharap agar dibuatkan standar upah sopir angkutan barang dan diberi perlindungan dalam perjalanan.
”Kalau ODOL tidak diperbolehkan, otomatis tarif angkutan barang akan naik. Dengan truk ODOL, misalnya, dengan biaya Rp 2,5 juta sudah bisa mengangkut 7-8 kubik. Kalau tidak ODOL, dengan biaya angkut Rp 3 juta hanya bisa mengangkut 3 kubik saja,” ujar Suroso.
Suroso berharap pemerintah mempertimbangkan aspirasi para sopir. Ia mengungkapkan, jika aspirasinya tidak didengarkan, mereka akan melakukan aksi mogok kerja. Aksi ini diklaim Suroso akan diikuti oleh seluruh sopir di Indonesia.
Kepala Dinas Perhubungan Jateng Hengar Budi Anggoro menuturkan, pihaknya tidak bisa memberikan keputusan terkait revisi aturan ODOL. Namun, ia berjanji akan menyampaikan aspirasi para sopir. ”Kami akan mengirimkan surat hasil penyempaian aspirasi para sopir hari ini kepada Direktur Jenderal Perhubungan Darat,” ucapnya.
Kami meminta revisi karena denda tilang yang diterapkan itu mahal, memberatkan sopir.
Sementara itu, Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jateng Komisaris Besar Agus Suryonugroho mengatakan, pihaknya akan memberikan toleransi terkait penindakan terhadap pelanggar ODOL. Para sopir yang melanggar tidak serta-merta langsung ditilang, tetapi akan diberi sosialisasi.
”Aturan ini dibuat untuk melindungi keselamatan masyarakat. Terkait penindakan, kami akan mengutamakan sosialisasi,” kata Agus.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno mengungkapkan, akar masalah truk ODOL adalah tarif angkut barang semakin rendah karena pemilik barang tidak mau keuntungannya berkurang dan pemilik armada truk juga tidak mau berkurang keuntungannya. Di saat yang sama, pengemudi truk tidak mau berkurang pendapatannya.
”Penggunaan truk ODOL itu sebenarnya untuk menutupi biaya tidak terduga yang dibebankan kepada pengemudi truk selama perjalanan, seperti tarif tol, pungutan liar, parkir, urusan ban pecah, dan sebagainya,” tutur Djoko.
Untuk menekan penggunaan truk ODOL, menurut Djoko, perlu ada peningkatan kompetensi sopir dan peningkatan pendapatan sopir. Harapannya, pemberantasan ODOL demi keselamatan pengguna jalan dapat tercapai tanpa ada yang dirugikan.