Demonstrasi Sopir Jawa Timur Terdampak Penertiban ODOL
Kalangan sopir truk angkutan barang di Jawa Timur berdemonstrasi menolak dampak penertiban ODOL atau dimensi muatan berlebih meski aturan tersebut untuk keselamatan semua pengguna jalan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Truk diparkir menutup jalan frontage Ahmad Yani saat aksi unjuk rasa sopir truk di depan Kantor Dishub Jatim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022).
SURABAYA, KOMPAS — Lebih dari 1.000 sopir truk angkutan barang dari berbagai komunitas dan kabupaten/kota di Jawa Timur, Selasa (22/2/2022), berdemonstrasi dan mogok kerja memprotes penertiban kendaraan dimensi dan muatan berlebih atau over dimension over loading.
Di Surabaya, aksi mereka diwujudkan dengan memarkir truk-truk di sepanjang jalan raya sejak sebelum Bundaran Waru sampai kantor Dinas Perhubungan Jatim di frontage atau jalur paralel Jalan Ahmad Yani. Mereka mendesak pencabutan regulasi pelarangan kendaraan over dimension over loading (ODOL) yang menurut rencana Kementerian Perhubungan akan berlaku mulai 2023.
Supriyanto yang mengklaim sebagai koordinator lapangan aksi sopir itu mengatakan, demonstrasi direncanakan berlangsung Selasa dan Rabu. Aksi bertujuan menolak kebijakan ODOL dan segala bentuk penerapan sanksi, terutama bukti pelanggaran (tilang), bahkan pemotongan komponen kendaraan di jalan raya oleh aparatur.
”Pada prinsipnya kami sepakat dengan regulasi ODOL karena mengutamakan keselamatan, tetapi kami tidak bisa menerima dampak penertiban yang sedang berlangsung,” ujar Supriyanto. Misalnya, petugas Polri hampir selalu memberhentikan dan menjatuhkan denda tilang kepada pengemudi truk yang menutupi muatan dengan terpal berbentuk segitiga atau tajuk.
Spanduk dipasang di bak truk saat aksi unjuk rasa sopir truk di depan Kantor Dishub Jatim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022).
Dalam pandangan petugas, tajuk melanggar aturan ODOL sehingga harus ditertibkan dengan sanksi dan pencopotan. Padahal, bagi pengusaha truk dan sopir, pemasangan tajuk untuk melindungi angkutan atau dalam hal ini muatan pemilik barang. Namun, hampir selalu kendaraan dikenai sanksi tilang yang ternyata dibebankan kepada sopir.
Demikian pula ketika dimensi kendaraan menjadi lebih panjang untuk kepentingan pemuatan barang. Truk-truk ODOL yang terkena razia banyak yang ditindak tegas berupa pemotongan komponen sehingga sebagian barang tidak terangkut. ”Padahal, segala dampaknya yang menanggung kebanyakan sopir sehingga semakin menyulitkan,” ujar Supriyanto dari Driver Logistik Community.
Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Provinsi Jatim Benny Sampirwanto seusai audiensi dengan pengunjuk rasa di Dishub Jatim mengatakan, para sopir tidak nyaman dengan penerapan sanksi yang sudah diterapkan. ”Pemerintah akan berkoordinasi dengan Polri untuk mengatasi potensi masalah terkait aksi tentang ODOL ini,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiyadi mengatakan, pemerintah menghendaki pada 2023 dapat diterapkan kebijakan zero ODOL. Kementerian Perhubungan berencana menempuh strategi preventif melalui sosialisasi dan edukasi, penegakan hukum, pembangunan terminal barang terintegrasi, dan insentif bagi angkutan barang.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Orasi saat aksi unjuk rasa sopir truk di depan Kantor Dishub Jatim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022).
Secara terpisah, Ketua Organda Jatim HB Mustofa mengatakan, pada prinsipnya organisasi ini mendukung penertiban ODOL demi memberikan keamanan dan keselamatan dalam berkendara. Penertiban ODOL jelas berdampak terhadap hubungan antara pemilik barang atau muatan dengan pengusaha angkutan termasuk sopir.
”Dampak-dampak itulah yang harus diperhatikan oleh regulator atau pemerintah,” kata Mustofa. Contohnya, ada barang yang harus diangkut sebanyak 30 ton. Pemilik barang sudah pasti akan mencari angkutan dengan tarif yang rendah atau sekali angkut. Namun, angkutan yang banyak dan sekali angkut untuk menekan ongkos perjalanan berkonsekuensi dijalankannya kendaraan dengan dimensi dan muatan berlebih. Padahal, ODOL berisiko dalam keselamatan dan keamanan perjalanan termasuk bagi pengguna jalan lainnya.
Jika tidak ODOL, muatan yang amat banyak harus diangkut dengan beberapa truk. Akibatnya, ongkos angkut barang menjadi lebih tinggi atau naik sampai 2-3 kali lipat. Dampak selanjutnya, harga barang atau komoditas akan naik di tingkat konsumen.
Djoko Setijowarno dari Masyarakat Transportasi Indonesia mengatakan, ODOL berakar dari masalah tarif angkutan barang yang rendah. Pemilik barang, pengusaha angkutan, dan sopir jelas tidak mau pendapatan atau keuntungan berkurang. Praktik ODOL untuk menutupi biaya tidak terduga yang sejauh ini menjadi beban pengemudi (sopir), yakni tarif tol, pungutan ilegal, parkir, dan penanganan masalah teknis kendaraan (mogok, pecah ban).
”Penetapan tarif angkut dapat dikendalikan pemerintah dengan menerapkan batas atas dan bawah sehingga pemilik barang tidak bisa seenaknya menentukan tarif yang berpotensi membuat sopir melanggar regulasi ODOL,” kata Djoko. Jika terjadi ODOL yang menimbulkan kecelakaan, seharusnya kesalahan tidak ditimpakan begitu saja ke sopir atau pengusaha truk, tetapi pemilik barang.
Penetapan tarif angkut dapat dikendalikan pemerintah dengan menerapkan batas atas dan bawah sehingga pemilik barang tidak bisa seenaknya menentukan tarif yang berpotensi membuat sopir melanggar regulasi ODOL.
Selain itu, pemerintah bisa memberikan insentif bagi kendaraan pengangkut barang dengan memberikan rabat atau tarif rendah melalui jalan tol. Namun, saat ini, yang berlaku, tarif kendaraan barang jauh lebih tinggi daripada kendaraan pribadi. Pengawasan dan penindakan terhadap kendaraan ODOL harus tetap dijalankan demi memastikan keselamatan berkendara.