Polemik Penggunaan Alat Tangkap Rentan Picu Konflik Antarnelayan di Natuna
Nelayan tradisional kesal karena sebuah kapal ikan asal pantura Jawa masih menggunakan cantrang di perairan Pulau Subi, Natuna, Kepulauan Riau. Padahal, penggunaan cantrang telah dilarang sejak Juni 2021.
Oleh
PANDU WIYOGA, KRISTI DWI UTAMI
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Polemik penggunaan alat tangkap rentan memicu konflik horizontal antarnelayan di Natuna. Metode dan keberadaan alat tangkap ramah lingkungan seharusnya menjadi perhatian utama semua pihak.
Pada Kamis (18/2/2022), Satuan Polisi Air dan Udara Polres Natuna menangkap satu kapal ikan asal Juwana yang diduga melanggar zona tangkap di perairan Pulau Subi, Natuna, Kepulauan Riau. Kapal itu beroperasi di perairan berjarak kurang dari 30 mil dari garis pantai pulau terdekat.
Polisi kemudian membawa kapal ikan asal Juwana, Pati, Jawa Tengah, itu ke Pelabuhan Selat Lampa di Pulau Natuna Besar untuk penyelidikan lebih lanjut. Di lokasi itu, nelayan setempat ikut turun ke lapangan memeriksa alat tangkap di kapal tersebut. Nelayan menduga kapal itu menggunakan alat tangkap cantrang yang telah dilarang sejak Juni 2021.
”Kalau kami lihat, alat yang mereka bawa itu cantrang. Buktinya, mata jaring yang mereka gunakan berbentuk ketupat. Panjang tali selambar sepertinya juga lebih dari 900 meter,” kata Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Senin (21/2), saat dihubungi dari Batam.
Hendri menduga masih banyak kapal dari pantai utara Jawa menggunakan cantrang di perairan sekitar Pulau Subi. Nelayan tradisional di Natuna khawatir hal itu akan memicu penangkapan ikan berlebih dan menyebabkan kerusakan lingkungan.
Penggunaan cantrang dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dan Laut Lepas serta Penataan Andon Penangkapan Ikan. Pemerintah meminta nelayan cantrang mengganti alat tangkap dengan jaring tarik berkantong.
Pertengahan 2021, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini Hanafi mengatakan, jaring tarik berkantong berbeda dengan cantrang. Hal itu terlihat dalam ukuran dan bentuk mata jaring, alat pemberat, serta panjang tali selambar. Selain itu, cara kerja jaring tarik berkantong juga berbeda dengan cantrang yang tergolong pukat hela.
”Kalau pukat hela, kapal jalan sambil menyeret alat tangkap sehingga menyapu (dasar perairan), sedangkan kalau jaring tarik posisi kapal diam, alat tangkap sudah dilingkari dan ditarik,” kata Zaini, (Kompas, 7/7/2021).
Terkait itu, nelayan tradisional di Natuna ragu kapal ikan dari pantura Jawa bakal mematuhi pemerintah untuk mengganti cantrang dengan jaring tarik berkantong. Menurut Hendri, banyak kapal ikan hanya memodifikasi cantrang di bagian ujungnya untuk mengelabuhi petugas saat uji petik.
”Kalau pemerintah serius melarang cantrang, seharusnya ada proses pemusnahan cantrang secara menyeluruh,” ujar Hendri.
Secara terpisah, Wakil Ketua Paguyuban Nelayan Cantrang Mina Santosa Pati Heri Budiyanto membenarkan bahwa kapal yang ditangkap polisi di Pulau Subi berasal dari Juwana. Namun, ia membantah kapal itu menggunakan alat tangkap cantrang.
”Kesalahan kapal, kalau dari versi polisi, adalah sebatas melaut terlalu dekat dari garis pantai, sekitar 10 mil,” kata Heri saat dihubungi dari Semarang.
Mengenai tuduhan penggunaan cantrang, Heri menilai nelayan di Natuna hanya mencari-cari kesalahan. Ia memastikan kapal-kapal dari Juwana yang saat ini melaut adalah kapal yang sudah selesai mengurus perizinan pergantian alat tangkap dari cantrang ke jaring tarik berkantong.
Menurut Heri, dari 220 kapal cantrang di Pati, sekitar 50 persen sudah selesai mengurus perizinan. ”Kendala dalam pengurusan perizinan ini adalah lamanya proses cek fisik kapal. Kapalnya yang mau dicek banyak, tetapi petugasnya terbatas,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan (CMSH) Abdul Halim berpendapat, langkah pemerintah mendorong nelayan beralih dari cantrang ke jaring tarik berkantong adalah salah satu bentuk pelonggaran regulasi. Jaring tarik berkantong masih tergolong alat tangkap aktif yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
”Yang sekarang terjadi sebenarnya sudah lama dikhawatirkan, yakni nelayan melakukan penyimpangan akibat keputusan pemerintah melonggarkan peraturan. Imbasnya, terjadi konflik horizontal antarnelayan di Natuna,” kata Halim.
Halim meminta agar pemerintah merevisi klausul izin penggunaan jaring tarik berkantong dalam Permen KP Nomor 18 Tahun 2021. Menurut dia, pemerintah seharusnya memprioritaskan pemanfaatan sumber daya perikanan berbasis alat tangkap ramah lingkungan yang biasa digunakan oleh nelayan lokal.