Menunggu "Presisi" Pengungkapan Tewasnya Demonstran di Parigi Moutong
Pengungkapan kasus tewasnya Erfaldi di Parigi Moutong, Sulteng, menjadi salah satu pembuktian motto PRESISI Polri saat ini. Publik menunggu.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
Tewasnya pengunjuk rasa penolakan tambang emas di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, Sabtu dua pekan lalu, kembali mengusik nurani. Pengungkapan dan proses hukum yang adil terhadap pelaku menjadi ujian semboyan PRESISI yang digaungkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Erfaldi (21) tewas ditembak dalam pembubaran unjuk rasa penolakan tambang emas yang berujung penutupan jalan pada Sabtu (12/2/2022) di Desa Siney, Kecamatan Tinombo Selatan, Parigi Moutong. Sebuah peluru merobek punggung kirinya hingga tembus ke dada.
Erfaldi salah satu pengunjuk rasa penolakan tambang emas yang wilayah izin usaha pertambangannya melingkupi Kecamatan Tinombo Selatan, Kecamatan Kasimbar, dan Toribulu. Ratusan warga dari tiga kecamatan tersebut berdemonstrasi pada hari itu. Mereka sebelumnya menggelar dua kali aksi damai dengan tuntutan sama, yakni mencabut izin usaha perusahaan tambang.
Lebih kurang sembilan hari berlalu, pelaku penembakan Erfaldi masih berusaha diungkap Polda Sulteng. Tujuh belas polisi yang membawa pistol saat pengamanan unjuk rasa sudah diperiksa. Apa hasil pemeriksaan atas mereka? Kepala Bidang Humas Polda Sulteng Komisaris Besar Didik Supranoto hanya menyatakan hasilnya akan disampaikan pada waktunya.
Langkah lain yang ditempuh kepolisian adalah menguji secara forensik proyektil yang menewaskan korban dengan proyektil pada pistol-pistol polisi. Sebanyak 60 proyektil diambil sebagai sampel dari 20 pistol. Pemeriksaan masih berlangsung di Laboratorium Forensik Mabes Polri Cabang Makassar, Sulawesi Selatan. Uji forensik akan membuktikan proyektil peluru dari pistol mana dan dipegang siapa.
Secara teoritis, uji balistik proyektil akan mengungkap pelaku penembakan. Kepala Polda Sulteng Inspektur Jenderal Rudy Sufahriadi, seusai bertemu dengan Komisi III DPR pada Jumat (19/2/2022), pun mengonfirmasi pengumuman tersangka segera dilakukan setelah uji balistik tersebut rampung.
Sejak tewasnya Erfaldi, Rudy sudah menyatakan komitmennya untuk menindak polisi yang melanggar standar prosedur operasi pengamanan dan pembubaran unjuk rasa. Pada Minggu (13/2/2022), ia langsung mengakui adanya polisi yang melanggar standar prosedur operasi (SOP) pengamanan unjuk rasa.
Ia pun meminta maaf kepada keluarga korban atas apa yang terjadi. Pelaku akan ditindak sesuai peraturan yang berlaku. Pernyataan ini bisa diterjemahkan dalam dua bentuk penindakan, yakni penindakan etik, yang kalau terbukti berujung pada pemecatan dan jalur pidana yang bermuara di penjara.
Standar prosedur operasi atau prosedur tetap pengamanan unjuk rasa tercantum dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Regulasi lainnya Peraturan Kepala Polri No 16/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa.
Dalam dua peraturan tersebut, anggota kepolisian dilarang melakukan tindakan kekerasan yang tak sesuai prosedur, membawa peralatan di luar peralatan pengendalian massa, membawa senjata tajam, dan senjata peluru tajam.
Peraturan mengizinkan polisi untuk mengambil tindakan tegas saat aksi berjalan anarkistis dengan menangkap peserta unjuk rasa dan menghentikan tindakan anarkistis tersebut. Tindakan tegas itu pun harus proporsional. Peserta yang anarkistis tetap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan).
Ada optimisme pelaku akan segera disampaikan kepada publik dengan gerak cepat kepolisian tersebut.
Penegakan hukum yang ditegaskan Rudy pun diwanti-wanti oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Perwakilan Sulteng. Lembaga itu berkomitmen mengawasi proses hukum terhadap polisi yang terbukti menembak Erfaldi. Keadilan harus ditegakkan karena tewasnya pengunjuk rasa tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, yakni hak hidup dan kebebasan.
Minggu ini dipastikan menjadi salah satu titik tegang pengungkapan tewasnya Erfaldi. Pada Kamis (17/2/2022), Didik menyebutkan, sampel proyektil mulai diperiksa di Laboratorium Forensik. Pemeriksaan diperkirakan memakan waktu empat hari. Artinya, pekan ini hasil pemeriksaan proyektil sudah bisa dikantongi Polda Sulteng untuk selanjutnya dipakai menjerat pelaku.
Langkah meyakinkan sudah diayun Polda Sulteng pada awal pekan lalu dengan menaikkan status pengusutan tewasnya Erfaldi dari penyelidikan menjadi penyidikan. Informasi dan barang bukti sudah menunjukkan adanya tindak pidana, tinggal mencari tahu tersangkanya.
Langkah cepat ini pun diapresiasi Aliansi Rakyat Bersatu, simpul masyarakat sipil di Sulteng yang mengawal kasus tersebut. Anggota Aliansi Rakyat Bersatu Moh Arfandy menyatakan, ada optimisme pelaku akan segera disampaikan kepada publik dengan gerak cepat kepolisian tersebut.
Namun, terselip juga pesimisme pengungkapan kasus tewasnya Erfaldi. Ini terutama becermin pada dua kasus dugaan salah tembak yang dilakukan polisi sebelumnya.
Peristiwa pertama terjadi pada 9 April 2020. Warga Desa Tambarana, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, Qidam Alfariski Monafance (21) tewas ditembak di dekat kantor Kepolisian Sektor Poso Pesisir Utara. Ia diduga tewas ditembak anggota Satuan Tugas Operasi Tinombala (yang saat ini berganti nama menjadi Operasi Madago Raya).
Kasus kedua adalah tewasnya bapak-anak, Syafruddin (37) dan Firman (16), saat berada di pondok kebun mereka di Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Keduanya tewas diberondong peluru tajam oleh aparat yang diduga anggota Satuan Tugas Operasi Madago Raya.
Hingga saat ini, pelaku penembakan ketiga warga tersebut belum terungkap. Padahal, tak hanya Polda Sulteng, Markas Besar Polri juga pernah turun untuk mengusut dua kejadian tersebut. Pada laporan akhir tahun 2021, Rudy menyebutkan, kasus-kasus tersebut masih terus diselidiki. Pernyataan tersebut tentu dipertanyakan setelah hampir dua tahun berlalu.
Pengungkapan tewasnya Erfaldi terganjal dengan belum tuntasnya pengusutan kematian tiga warga Poso pada 2020. Atau barangkali bisa menjadi momentum, setelah kasus Erfaldi tuntas, dua kasus terdahulu itu bisa ikut diusut. Semuanya ada di tangan Polri, khususnya Polda Sulteng. Publik tentu menunggu karena bagaimana pun keadilan harus ditegakkan dengan menghukum secara pantas pelaku tindak kejahatan.
Perlu diingat, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan pada 31 Juli-2 Agustus 2021 dengan responden 1.000 orang yang dipilih secara acak mengungkap kepercayaan publik terhadap Polri sebesar 58 persen. Angka tersebut terendah dibandingkan dengan lembaga lainnya, yakni peradilan (61 persen), Komisi Pemberantasan Korupsi (60 persen), dan kejaksaan (59 persen) (Kompas.id, 9 Oktober 2021).
Survei sama juga memperlihatkan tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri sebesar 38 persen. Persentase tersebut tertinggi daripada tiga lembaga negara lainnya, yakni kejaksaan dan KPK masing-masing 36 persen serta pengadilan 35 persen.
Di tengah masih rendahnya kepercayaan publik, semboyan PRESISI (prediktif, responsibilitas, transparansi) dan berkeadilan Polri di bawah Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo akan teruji perwujudannya dalam mengungkap kasus Erfaldi ini.
Kasus Erfaldi menjadi salah satu pertaruhan. Jika kasus terungkap, dua kasus salah tembak dua tahun lalu di Poso juga harus diusut sampai pelakunya ditindak sesuai aturan hukum yang berlaku di republik ini.