Trauma Petaka Sampah Leuwigajah yang Sulit Hilang
Longsor sampah di TPA Leuwigajah menelan korban hingga 150 orang. Kejadian serupa, bahkan lebih berat, rawan terjadi di daerah lain apabila pengolahan sampah sekadar menumpuknya begitu saja.
Longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, terjadi 17 tahun lalu. Namun, kenangannya masih sulit dilupakan. Tanpa pengolahan sampah yang baik, tragedi itu berpotensi terulang lagi.
Sabtu (19/2/2022) siang, matahari tepat berada di atas kepala Alvin (34), pemulung di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat. Panasnya membakar kulit. Namun, semuanya tidak menghalangi tangannya mengais kaleng bekas makanan di antara tumpukan sampah basah.
Belatung yang menggeliat saat dia membongkar tumpukan sampah juga tidak jadi masalah. Alvin juga tidak peduli dengan berisiknya ribuan lalat beterbangan di antara sampah yang menggunung beradu kencang dengan alat berat menumpuk sampah.
”Harus seperti ini bila mau makan dan anak sekolah,” kata Alvin. Sehari, dia biasanya mengumpulkan 10 kilogram sampah daur ulang atau setara Rp 60.000.
Meski butuh uang, Alvin dan pemulung lain yang jumlahnya diperkirakan 500-700 orang di TPA Sarimukti, tidak bekerja sembarangan. Satu dari banyak bekal yang harus dimiliki adalah mencari posisi terbaik saat mencari sampah.
Posisi dekat gunung sampah adalah tempat terlarang. Sampah bisa longsor kapan saja. Dari desas-desus di sana, ilmu itu dituai pascalongsor TPA Leuwigajah pada 21 Februari 2005.
Longsor akibat TPA yang melebihi kapasitas itu menewaskan 150 orang. Sebagian besar pemulung. Setelah kejadian itu, TPA Leuwigajah ditutup. Sebagai alarm, tanggal peristiwa itu diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional.
Di tempat yang sama di antara tumpukan sampah yang menggunung, Direktur Eksekutif Walhi Jabar Meiki W Paendong sependapat dengan para pemulung. TPA Sarimukti bisa bernasib sama dengan Leuwigajah. Mengandalkan prinsip pembuangan terbuka (open dumping), sampah hanya akan terus ditumpuk dan rentan longsor suatu hari nanti.
Baca juga : Bergantung pada TPA Sarimukti, Bandung Rawan Tumpukan Sampah
Belakangan, penumpukan bahkan terasa lebih cepat di Sarimukti yang mulai beroperasi tahun 2006. Awalnya, kawasan seluas 21,5 hektar berjarak 50 kilometer dari Kota Bandung ini diproyeksikan menampung 1.200 ton per hari. Namun, karena jumlah penduduk terus bertambah, jumlahnya kini semakin besar.
Data Dinas Lingkungan Hidup Jabar tahun 2020 menyebutkan, timbulan sampah mencapai 1.954 ton per hari. Kota Bandung menjadi penyumbang tertinggi dengan 1.335 ton per hari. Sampah juga datang dari Kabupaten Bandung, Bandung Barat, dan Kota Cimahi.
Akan tetapi, muatan berlebih itu tidak mengurangi laju truk yang terus berdatangan. Saking padatnya, truk-truk itu harus antre demi untuk membuang sampah.
Mamet (40), sopir truk sampah dari Kota Bandung, mengatakan harus antre selama empat jam. Bobot sampahnya hari itu sekitar 10 ton hasil pengangkutan dari Pasar Sederhana, sekitar pukul 05.00.
”Ini masih kurang satu rit. Sekarang sudah jam 12.00. Nanti, saya kira-kira sampai Bandung jam 15.00 di sana. Sampai ke sini lagi, TPA sudah tutup. Bakal tidur di sini untuk tunggu buka besok pagi,” ujarnya lesu. Gurat kelelahan terlihat jelas di keriput wajahnya.
Keluhan Mamet menjadi wajah kebergantungan daerah pada Sarimukti. Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung menyebutkan, rata-rata pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti mencapai 253 rit.
Akibatnya saat pasokan tidak lancar, sampah dengan mudah terlihat menumpuk. November 2021, misalnya, saat muncul gangguan operasionalisasi sampah ke Sarimukti, timbulan sampah bermunculan membuat malu ibu kota Jabar ini.
Ketua Forum Bandung Juara Bebas Sampah Ria Ismaria menyatakan, pengelolaan sampah Kota Bandung terlalu mengandalkan TPA Sarimukti. Kebergantungan ini, menurut dia, tidak boleh terus terjadi.
”Salah satu solusinya memilah timbulan sampah sejak dari sumbernya. Namun, kebiasaan untuk memilah ini masih sulit dilakukan sehingga butuh aturan tegas dari pemerintah,” ujarnya.
Pemkot Bandung mengklaim sudah melakukan banyak cara mempromosikan pemilahan sampah. Salah satunya adalah program Kang Pisman atau Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan.
Kepala Bidang Kebersihan DLHK Kota Bandung Sopyan Hernadi mengatakan, program itu menjadi salah satu solusi pengolahan sampah.
Data harian pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti memperlihatkan penurunan meski belum terlalu siginifikan. Pada tahun 2019 tercatat 268 rit atau setara 1.340 ton per hari.
Setahun kemudian tercatat 264 rit atau 1.335 ton per hari. Sementara hingga Oktober 2021, pengangkutannya mencapai 253 rit atau 1.309 ton per hari.
Sebagian pengelola sampah di Cimahi juga masih harus bersusah payah mengolah sampah. Oldri (23), p engelola Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS 3R) di Kelurahan Melong, Kecamatan Cimahi Selatan, mengatakan, masih sedikit warga yang mau mengolah sampah. Padahal, jika dikelola dari rumah, semua pihak bakal diuntungkan.
Ia mencontohkan, TPS 3R Melong mampu mengolah lebih dari 1,5 ton sehari. Sampah-sampah yang ada berasal dari 10 RW yang masuk ke dalam Kelurahan Melong. Plastik bisa diolah menjadi pelet plastik, sementara yang organik diolah untuk pakan ternak.
Baca juga : Sampah di Saluran Air yang Berujung Nestapa
Direktur Bank Sampah Bersinar (BSB) Fei Febri mengatakan, tantangan ke depan bakal lebih besar. Masalah sampah bukan hanya timbulan yang muncul setiap hari. Ada jejak karbon yang ditimbulkan dalam proses pengangkutan hingga ragam pencemaran lainnya. Semuanya tidak hanya bisa selesai saat sampah dibuang ke TPA.
BSB adalah bank sampah induk di Balendah, Kabupaten Bandung, sejak 2014. Bank sampah ini melakukan pemilahan dan pengolahan beragam jenis sampah dengan nasabah lebih dari 1.000 orang dengan 300 unit bank sampah.
Dalam sebulan, BSB bisa mengurangi 500 kg sampah jelantah dan 1.000 kg sampah organik. Selain itu, ada juga 40-50 ton sampah anorganik hingga 1,5 ton popok bekas.
Fei mencontohkan, munculnya jenis sampah baru saat pandemi Covid-19, yaitu masker sekali pakai. Berbahan plastik, dampaknya bisa sangat buruk bagi manusia dan lingkungan. Seperti sampah lainnya, pemilahan dari rumah harus menjadi kunci utamanya.
Oleh karena itu, ia mengajak warga untuk menyalurkan masker bekas pakai ke BSB. Syaratnya, masker bukan dari pasien terinfeksi atau tenaga medis.
”Sebelum dikirimkan, masker dipisahkan dan diberi disinfektan atau dibiarkan selama lima hari. Dengan mesin pengolah, hasil akhirnya adalah bahan bakar minyak untuk industri yang menggunakan boiler,” katanya.
Saat ini, Fei mengatakan, kapasitas pengolahan sampah masker di BSB sebesar 3-4 kg per jam. Bila mesin beroperasi selama 7-8 jam, baru bisa mengolah 30-40 kg per hari. Minyak hasil pengolahan digunakan oleh usaha kecil menengah.
Ke depan, kata Fei, bila memungkinkan, tengah disiapkan pengolahan hingga 500 kg per jam sehingga bahan bakunya bisa mencapai 4 ton per hari. Selain itu, kerja sama dengan mitra dengan pengolahan katalis tengah dilakukan untuk mengubah bahan bakar minyak menjadi lebih ramah lingkungan.
”Sampah seharusnya tidak jadi masalah, tapi berkah bagi warga yang mau mengolahnya. Selama konsep pengolahan masih dengan menumpuk sampah, kejadian Leuiwigajah mungkin terjadi lagi,” katanya.
Ade (48), warga Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, juga punya keinginan serupa. Belasan tahun setelah longsor sampah di Leuwigajah, trauma itu belum juga hilang. Suami dan mertuanya meninggal ditimbun sampah.
”Peristiwa itu belum hilang dari kepala saya. Sekarang saya sendirian, harus bisa membuat anak saya sekolah tinggi agar tidak menjadi pemulung seperti kami,” ujar Ade yang hingga kini masih menjadi pemulung untuk menyambung hidup.
Suciro (66), warga Kelurahan Leuwigajah lainnya, mengatakan, kawasan eks TPA kini kembali ke bentuk awalnya, kebun yang hijau. Dia berharap, tidak ada lagi TPA di sana atau daerah lain.
Bagi dia dan warga lainnya, TPA membuat muram kehidupan di sekitarnya. Selain membuat lingkungan menjadi kumuh dan kotor, Suciro dipaksa memendam trauma saat melihat jenazah orang yang dia kenal diangkut tidak bernyawa dari tumpukan sampah yang entah milik siapa.
Beban berat TPA Sarimukti mungkin akan berakhir tahun 2023. Sebagai gantinya adalah Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah Legok Nangka, Kabupaten Bandung.
Luasnya 82,5 hektar dan akan digunakan Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Bandung Barat, Kota Cimahi, Sumedang, dan Garut. Namun, sebanyak dan sebesar apa pun kawasan baru, bila tanpa perbaikan pengolahan dari sumbernya, sampah bakal terus menjadi petaka bagi manusia dan dunia.
Baca juga : Banjir dan Sampah Hambat Perjalanan Kereta Api di Bandung