Polisi Tangkap Pasangan Pembuat Video Viral Sesama Jenis di Banjarnegara
Polres Banjarnegara menangkap dua tersangka pasangan sejenis yang membuat video mesum. Video itu viral di media sosial.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·4 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Kepolisian Resor Banjarnegara menangkap dua laki-laki, yakni J (24) dan V (17), yang diduga membuat video hubungan intim yang sempat viral di media sosial sejak akhir Januari. Penangkapan itu hasil penulusuran tim patroli cyber polres setempat. Konten itu diperjualbelikan di komunitas gay dan telah menghasilkan uang hingga Rp 17 juta.
”Dari hasil pemeriksaan, baik tersangka J maupun V, konten ini dijual setiap link-nya Rp 150.000. Mereka melakukan pembuatan video sebanyak tiga kali, tetapi yang viral ini di bulan Januari. Para anggota komunitas ini intens sekali membeli link video mereka berdua,” kata Kepala Kepolisian Resor Banjarnegara Ajun Komisaris Besar Hendri Yulianto di Banjarnegara, Jawa Tengah, Senin (14/2/2022).
Hendri mengatakan, kedua tersangka membuat cuplikan-cuplikan video dari bagian (part) 1 hingga 7. ”Ada tujuh part di sana. Dari hasil pemeriksaan, mereka telah mengunggah sejak November 2021. Tersangka J ini sebelumnya adalah asisten rumah tangga di Jakarta dan perawat warga lansia. Setelah pulang 2021, dia jadi pengangguran dan membuat video mesum tersebut,” tutur Hendri.
Menurut Hendri, omzet yang didapatkan dari penjualan video mesum sesama jenis itu sebesar Rp 17 juta. ”Sebanyak Rp 10 juta untuk membeli kendaraan sepeda motor. Kebetulan mereka membuat bersama-sama dan sisa uangnya pun dibagi dua,” katanya.
Pada akhir Januari, di media sosial beredar video sepasang laki-laki berhubungan badan di atas sepeda motor dengan latar persawahan. Salah satu tersangka saat itu mengenakan pakaian seragam putih abu-abu. Hasil penyelidikan polisi, V bersekolah di salah satu SMA negeri di Banjarnegara. ”Semua video ini dibuat di wilayah hukum Banjarnegara. Yang viral adalah video yang ketiga,” kata Hendri.
Tim Patroli Cyber Polres Banjarnegara menemukan konten itu pada 29 Januari 2022. Selanjutnya, pada 8 Februari 2022, polisi melakukan gelar perkara dan menetapkan keduanya sebagai tersangka. ”Pada 9 Februari, tersangka J ditahan, sedangkan V tidak ditahan karena masih 17 tahun. Kebetulan masih sekolah di salah satu SMA negeri di Banjarnegara,” tuturnya.
Hendri menyebutkan, hasil penyelidikan lainnya, tersangka J menggaet pasangannya dengan mengamati terlebih dulu bagaimana si target berinteraksi dengan sesamanya. ”Kalau sasaran terlihat gemulai, bisa digaet,” ujarnya.
Tersangka V mengakui sudah tiga kali membuat video dengan J. Dia juga mengaku tidak ada paksaan dari J dan tidak dibayar untuk berhubungan intim. Meski suka perempuan, V mengaku penasaran berhubungan dengan laki-laki. Adapun tersangka J mengatakan, dirinya sudah menyukai sesama jenis sejak usia 19 tahun.
Setiap penyimpangan seksual yang dialami seseorang memiliki akar penyebab di masa lalu.
Selain motor, barang bukti lain yang disita adalah alat pencahayaan berbentuk lingkaran untuk membuat konten. Menurut J, lampu itu dipakai di rumah saat membuat konten siaran langsung berupa tanya jawab dengan warganet. ”Mereka memberi pertanyaan tentang perjalanan hidup terkait LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender). (Saya) suka perempuan. (Tapi) penasaran (sama laki-laki), dan juga nonton video,” tutur J.
Menurut J, dirinya hanya hidup bersama ibunya. Sang ayah pergi meninggalkan mereka saat J berusia 7 bulan dalam kandungan ibunya. ”Ditinggal pergi papa saat saya di kandungan tujuh bulan. Saya hidup sama mama,” katanya.
Adapun kedua tersangka dijerat Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. ”Ancaman maksimal 12 tahun penjara,” kata Hendri.
Akar masa lalu
Pengajar Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Tri Wuryaningsih, menyampaikan, setiap penyimpangan seksual yang dialami seseorang memiliki akar penyebab di masa lalu. ”Ini mesti ditelusuri. Pengalaman saya ketika mendampingi pelaku sodomi, awalnya mereka menjadi korban sodomi. Ketika korban mengalami hubungan seksual dengan trauma seperti itu dan tidak ditangani secara baik oleh yang berkompeten, psikolog, misalnya, itu akan membekas. Para pelaku sodomi biasanya awalnya adalah korban sodomi,” papar Tri.
Apalagi, dalam kasus di Banjarnegara ini, tersangka J kehilangan figur ayah. Menurut Tri, figur ayah di masyarakat Jawa adalah figur sentral dan disegani. Dengan kondisi ibu tunggal, pengawasan ibu pun kurang karena harus menjadi tulang punggung keluarga. ”Dalam keluarga utuh, di mana kasih sayang bisa diberikan utuh kepada anak, mereka akan lebih terhindar dari hal-hal semacam itu,” katanya.
Jika konten pornografi itu sampai dijual, lanjut Tri, motifnya adalah benar-benar faktor ekonomi. Meski demikian, hal itu perlu menjadi perhatian berbagai pihak apakah dalam transaksi itu terdapat jaringan yang lebih luas. ”Ini harus digali siapa di belakang jaringan ini. Ini tantangan di masyarakat kita yang dianggap sebagai masyarakat religius, tetapi di sisi lain itu jadi sebuah fakta sosial yang harus diperhatikan,” tuturnya.