Tolak Kebijakan Wajib Vaksinasi, Orangtua Murid SD di Padang Lapor ke Ombudsman
Kebijakan tersebut dinilai melanggar aturan karena membatasi hak anak-anak yang belum divaksinasi Covid-19 terhadap akses pendidikan.
PADANG, KOMPAS — Puluhan orangtua dan wali murid SD yang menolak surat edaran wajib vaksinasi Covid-19 sebagai syarat pembelajaran tatap muka di Padang, Sumatera Barat, melapor ke Ombudsman Sumbar. Surat edaran itu dinilai merugikan hak anak terhadap akses pendidikan. Adapun Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Padang menyampaikan, kebijakan itu untuk mengurangi risiko siswa terpapar Covid-19.
Puluhan orangtua atau wali murid datang silih berganti secara berkelompok ke kantor Ombudsman Sumbar, Kelurahan Sawahan Timur, Padang Timur, Kamis (10/2/2022). Mereka adalah orangtua siswa dari berbagai SD di Kota Padang.
Berdasarkan catatan petugas di ruang penerimaan dan verifikasi laporan Ombudsman Sumbar, sudah ada enam laporan yang diterima dari 36 orangtua/wali murid hingga Kamis siang. Rinciannya, tiga laporan diterima Rabu (9/2/2022) dan tiga laporan Kamis ini.
Kebijakan yang diprotes itu termuat dalam Surat Edaran Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Padang Nomor 421.1/456/Dikbud/Dikdas.03/2022 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Anak Usia 6-11 Tahun untuk Pencegahan Covid-19. Ada dua dari enam poin yang dipermasalahkan dalam surat edaran yang ditandatangani dan berlaku sejak 7 Februari 2022 tersebut.
Baca juga : Kasus Covid-19 Meningkat, Rumah Sakit di Sumbar Siaga
Poin pertama dalam surat edaran menyebutkan pembelajaran tatap muka diberikan hanya kepada siswa yang telah divaksin. Poin kedua, bagi siswa yang belum atau tidak divaksin agar melaksanakan pembelajaran secara mandiri di rumah dibimbing orangtua. Adapun dalam poin lainnya disebutkan, siswa yang tidak bisa divaksinasi karena faktor kesehatan mesti menunjukkan surat keterangan dokter, puskesmas, atau rumah sakit Pemkot Padang.
Adi Kurniadi (42), salah satu orangtua murid yang melapor ke Ombudsman, mengatakan, karena belum divaksin, kedua putrinya yang duduk di kelas I dan III di SD Telkom Padang tidak bisa ikut pembelajaran tatap muka. Ia mengaku sudah berupaya berkomunikasi dengan wali kelas dan kepala sekolah, tetapi mereka tidak punya kuasa atas surat edaran tersebut.
”Kenapa harus divaksin? Ada pemaksaan bernada ancaman kalau anak tidak divaksin tidak dibolehkan ikut pembelajaran tatap muka. Kami sangat menyayangkan surat edaran ini,” kata Adi.
Adi menjelaskan, ia belum membiarkan anak-anaknya divaksinasi karena usia mereka terlalu dini, yaitu tujuh tahun dan sembilan tahun. Di sisi lain, tidak ada imbas balik dari pemerintah apabila anaknya sakit seusai divaksin. ”Jadi, saya tidak masalah dengan vaksin. Tetapi, berikanlah sebuah statement bahwa anak yang divaksin ataupun tidak divaksin tetap belajar karena itu hak mereka,” ujarnya.
Saya tidak masalah dengan vaksin. Tetapi, berikanlah sebuah statement bahwa anak yang divaksin ataupun tidak divaksin tetap belajar karena itu hak mereka. (Adi Kurniadi)
Hal senada diungkapkan Erinaldi (38), wali murid SD 22 Ujung Gurun. Menurut Erinaldi, keponakan perempuannya tidak bisa ikut pembelajaran tatap muka sejak surat edaran itu berlaku. Sementara itu, di rumah, sang keponakan diminta belajar mandiri di rumah tanpa bimbingan guru.
”Jadi, apa tugasnya, apa bahannya, kami tidak tahu. Kami tidak paham bagaimana kurikulumnya. Kalau diberlakukan seperti dulu (sekolah daring), kami, kan, jadi punya acuan. Namun, jika dibiarkan seperti sekarang, ini seperti pembodohan kepada masyarakat,” tutur Erinaldi.
Erinaldi pun berharap Ombudsman bisa menindaklanjuti laporan mereka. Diharapkan, dengan adanya laporan ini, pemerintah bakal mencabut kembali kebijakan wajib vaksinasi tersebut.
Baca juga : Kasus Covid-19 Bermunculan di Lingkungan Sekolah di Surakarta
Sementara itu, Pelaksana Harian Kepala Ombudsman Sumbar Rendra Catur Putra mengatakan, pihaknya segera menindaklanjuti laporan-laporan tersebut. Setelah melalui tahap pemeriksaan, bisa saja Ombudsman melakukan permintaan klarifikasi kepada pihak yang dilaporkan, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Padang, apa dasar Disdikbud menerbitkan surat edaran itu dan apa solusi bagi anak-anak yang tidak dapat atau belum divaksinasi.
Menurut Rendra, ia menangkap ada ketakutan sejumlah orangtua ataupun anak-anak terhadap vaksin. Sementara itu, berdasarkan surat edaran tersebut, anak yang belum divaksinasi dididik sendiri oleh orangtua di rumah sehingga mereka khawatir hak pendidikan anak terhambat oleh surat edaran tersebut.
Rendra menjelaskan, ada potensi malaadministrasi dalam surat edaran itu. Jika disinkronkan dengan Pasal 13 Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 terkait pelaksanaan vaksinasi Covid-19, tidak ada sanksi berupa pembatasan layanan pendidikan bagi sasaran yang menolak vaksinasi. Bentuk sanksinya hanya penundaan/penghentian pemberian jaminan/bantuan sosial, penundaan layanan administrasi pemerintahan, dan/atau denda.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, ada tiga kategori, yaitu administrasi publik, jasa publik, dan barang publik. Di Ombudsman, kata Rendra, pendidikan masuk kategori jasa publik. ”Ombudsman tidak menolak vaksinasi. Kami juga mendorong vaksinasi berjalan lancar dan target tercapai, tetapi tidak boleh mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” ujarnya.
Menurut Rendra, pendidikan adalah hak asasi semua orang dan dijamin konstitusi. Mesti ada solusi dari pemerintah terkait hak pendidikan anak apabila ia tidak ikut vaksinasi. Bagi warga yang masih takut atau ragu divaksin, pemerintah harus meyakinkannya. Jikapun ada dampaknya seusai divaksin, pemerintah mesti tegas menyatakan tanggung jawabnya.
”Wali Kota atau pejabat lain yang punya anak juga mesti memberikan contoh. Caranya bisa dengan memperlihatkan ke masyarakat, mereka membawa anaknya ikut vaksinasi supaya orangtua lain yang ragu jadi yakin juga,” ujar Rendra.
Baca juga : Ditemukan 15 Kasus Covid-19, SDN 23 dan SDN 24 Ujung Gurun di Padang Ditutup
Kepala Disdikbud Padang Habibul Fuadi menjelaskan, surat edaran soal peserta pembelajaran tatap muka wajib telah vaksinasi Covid-19 itu terbit sebagai tindak lanjut keputusan Wali Kota dan anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Padang. Keputusan itu merupakan hasil rapat Forkopimda menyikapi kejadian anak-anak SD terpapar Covid-19 varian Omicron di Padang.
”Sebelumnya sudah ada rapat Forkopimda mencermati terjangkitnya anak-anak SD di Padang oleh Omicron. (Sejauh ini), lebih dari 20 orang (siswa) di SD yang berbeda,” kata Habibul melalui pesan tertulis. Terhadap laporan orangtua murid ke Ombudsman, Habibul mengatakan akan berkoordinasi dulu dengan pimpinan.
Menurut Habibul, tidak benar apabila siswa yang belum divaksinasi tidak ada pendampingan dari guru ketika belajar di rumah. Guru tetap memberikan tugas seperti saat belajar daring sebelumnya. ”Orangtua yang menjemput tugas dan mengantar kembali ke sekolah,” ujarnya.
Secara terpisah, epidemiolog Universitas Andalas, Defriman Djafri, mengatakan, dari sisi epidemiologi, kebijakan Pemkot Padang itu adalah upaya meminimalkan risiko penularan Covid-19 pada anak-anak. Apalagi, saat ini kenaikan kasus varian Omicron juga signifikan di Indonesia, termasuk di Padang.
Defriman melihat masih banyak orangtua ragu-ragu anaknya untuk divaksinasi. Pemicunya bisa dua hal, yaitu sosialisasi yang belum cukup dan ketakutan akibat misinformasi dan disinformasi yang beredar di masyarakat. Sosialisasi dan upaya melawan misinformasi dan disinformasi itu mesti ditingkatkan. Sekolah ataupun puskesmas mesti bisa membuat inovasi dalam implementasi vaksinasi ini.
Terkait surat edaran itu, menurut Defriman, orangtua yang cerdas sebenarnya dapat memahami bahwa murid yang belum divaksinasi bisa belajar di rumah, seperti saat masa sekolah daring. Sayang, pemerintah juga tidak bisa menjawab bentuk pembelajaran di rumah ini. Padahal, semestinya sama dengan saat sekolah daring.
Selain itu, Defriman menilai, surat edaran tersebut lebih banyak menyasar individu. Semestinya sasarannya ke sekolah, bukan ke individu murid atau orangtua. Misalnya, sekolah yang capaian vaksinasinya mencapai target, misalnya 50, 60, atau 70 persen, boleh menggelar pembelajaran tatap muka.
”Jadi, mestinya pemerintah mendorong sekolah berinovasi agar target minimal vaksinasi tercapai. Sekolah yang sudah berhasil diekspose agar yang lainnya juga termotivasi, sembari tetap diedukasi,” kata Defriman.