Lurah di Konawe Alihkan Tanah Universitas untuk Proyek Jalan
Seorang lurah dan dua warga Konawe ditetapkan sebagai tersangka pengadaan tanah untuk proyek jalan milik Pemprov Sultra. Kasus ini masih terus dikembangkan, terutama terkait pengadaan tanah yang tak memenuhi ketentuan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
Kantor Kejati Sultra di Kendari, Kamis (17/6/2021).
KENDARI, KOMPAS — Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan tiga tersangka dalam pengadaan tanah proyek Jalan Pariwisata Kendari-Toronipa. Tiga orang ini, termasuk lurah setempat, memalsukan dokumen tanah milik Universitas Halu Oleo agar dibebaskan dalam pembangunan jalan. Kasus ini pun terus dikembangkan, termasuk terkait teknis pengadaan tanah yang tidak memenuhi ketentuan dan keterlibatan oknum pemerintah.
Asisten Intelijen Kejati Sultra Noer Adi di Kendari, Senin (17/1/2022), menjabarkan, setelah melakukan penyelidikan sejak 2021, pihaknya menetapkan tiga tersangka dalam pengadaan tanah untuk proyek Jalan Pariwisata Kendari-Toronipa. Tiga orang tersebut adalah AZ, M, dan S.
”S adalah mantan Lurah Toronipa, AZ seolah-olah selaku pemilik tanah, dan M seorang PNS yang turut terlibat dalam kasus ini. Ketiganya melakukan perbuatan melawan hukum dalam pengalihan tanah dan bangunan yang melanggar UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah. Mereka dikenai Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang TPK (Tindak Pidana Korupsi)juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman hukuman minimal empat tahun,” kata Noer.
Ia melanjutkan, kasus ini bermula saat adanya permintaan dari pihak Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari untuk pemulihan aset pada 2021. Saat itu ditemukan adanya lokasi seluas 4.896 meter persegi di Kelurahan Toronipa, Kabupaten Konawe, yang diduga telah diambil alih oleh pihak lain.
Saat dilakukan penyelidikan dan pemeriksaan lebih dari 30 saksi, diketahui adanya proses pemalsuan dokumen hingga penjualan tanah. Di lokasi tersebut sedang berlangsung pembangunan Jalan Pariwisata Kendari-Toronipa yang merupakan proyek strategis Pemprov Sultra.
”Ketiga orang tersangka ini bersama-sama melakukan pemalsuan dokumen, seolah-olah tanah milik UHO tersebut telah diserahkan ke pemilik awal. Dari situ dibuatkan dokumen hingga dibayarkan untuk pembebasan tanah oleh Dinas Bina Marga,” terang Noer.
Akan tetapi, pada 2019, AZ selaku anak dari pemilik awal tanah tersebut membuat surat penyerahan kembali tanah dari UHO, yang seolah-olah dibuat pada 2001. Surat tersebut dilanjutkan oleh Lurah Toronipa yang saat itu dijabat S untuk membuat surat penguasaan tanah.
Dokumen ini, tambah Marolop, lalu dijadikan dasar saat adanya pembebasan lahan untuk pembangunan jalan itu. Sekitar 1.500 meter persegi dari tanah tersebut dibebaskan oleh pihak Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Sultra dengan nilai Rp 127 juta.
”Sisa dari tanah tersebut lalu dibeli M seharga Rp 100 juta. Dari M, tanah dijual kembali ke almarhumah A seharga Rp 750 juta. Setelahnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konawe menerbitkan sertifikat hak milik (SHM) atas nama A,” katanya.
Saat ini, tutur Marolop, pihaknya tengah menyelisik keterlibatan instansi terkait dalam proses pembayaran tanah. Sebab, dalam tahapan tersebut, sejumlah hal dianggap tidak memenuhi ketentuan dalam pengadaan tanah untuk proyek pemerintah. Salah satunya adalah tidak adanya tim bersama yang dibentuk untuk pengadaan tanah di atas 5 hektar. Malah, pihak Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air melakukan pengadaan tanah sendiri.
Penetapan tiga tersangka ini masih bagian pertama dari pengadaan tanah di proyek tersebut secara luas.
”Jadi, tanah tersebut seharusnya tidak perlu dibayarkan karena masih tanah negara. Jikapun dilakukan ganti rugi, uang dibayarkan ke pemilik tanah, dalam hal ini pihak UHO. Apakah ini sebuah kesengajaan atau ada modus besar di baliknya, itu masih kami selidiki. Tetapi, memang sejauh ini indikasi hal tersebut kuat,” ucapnya.
Noer Adi menambahkan, penetapan tiga tersangka ini masih bagian pertama dari pengadaan tanah di proyek tersebut secara luas. Semua hal masih terus diselidiki, terutama pola pengadaan tanah dalam proyek tersebut.
Proyek jalan Kendari-Toronipa merupakan satu dari tiga megaproyek Pemprov Sultra, selain RS Jantung dan perpustakaan. Jalan sepanjang 14,6 kilometer yang menghubungkan Kota Kendari dengan Toronipa di Kabupaten Konawe, yang merupakan lokasi wisata, ini akan diperlebar menjadi 27 meter dengan total anggaran Rp 1,1 triliun.
Dihubungi secara terpisah, Abdul Rahim, Pelaksana Tugas Kadis Bina Marga dan SDA yang menjabat hingga 2021, menyampaikan, pihaknya merasa telah membayarkan pembebasan tanah sesuai harga dan persyaratan yang ada. Setiap persyaratan telah diteliti dan dikonfirmasi ke pemerintah setempat.
”Termasuk juga lahan yang sekarang diberitakan milik UHO tersebut, ada dokumen dan diakui oleh pemerintah setempat. Kalau sekarang dibilang milik pihak lain, kami tidak tahu, karena kalau tahu dari awal, pasti kami tidak akan bayarkan,” kata Rahim.