Korupsi Massal di ESDM Sultra Berlanjut, Kepala Dinas Jadi Tersangka
Kejati Sultra kembali menetapkan Kadis ESDM Sultra AA sebagai tersangka di kasus pertambangan, menyusul dua pejabat lainnya. Ketiganya terlibat dalam persetujuan izin RKAB meski perusahaan tidak memenuhi kewajiban.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tenggara Andi Azis ditetapkan tersangka kasus pertambangan. Kasus ini rangkaian kasus korupsi berjemaah di dinas terkait yang sebelumnya telah menjerat dua pejabat dinas dan dua orang dari perusahaan. Penegak hukum diharap menyasar semua aktor kasus korupsi pertambangan yang telah berlangsung belasan tahun ini.
”Sesuai fakta persidangan dan ekspose perkara, tim penyidik sepakat menetapkan tersangka baru dalam pengembangan pidana korupsi PT Toshida Indonesia. Seorang tersangka itu, Ir AA, selaku Kepala Dinas ESDM Sultra,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sultra Setyawan Nur Chaliq di Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (6/12/2021).
Dari hasil penyelidikan, ungkap Setyawan, AA yang menjabat sebagai Pelaksana Tugas Kadis ESDM pada 2019 hingga 2021 diketahui menyetujui penerbitan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) untuk PT Toshida Indonesia, sebuah perusahaan tambang nikel yang beroperasi di wilayah Kolaka. Dokumen ini menjadi dasar perusahaan melakukan produksi pertambangan.
Dokumen RKAB merupakan salah satu kewajiban perusahaan tambang sebelum melakukan produksi, yang dilaporkan secara berkala. Selain itu, dalam laporan tim Monitoring dan Evaluasi Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan, PT Toshida Indonesia memiliki IPPKH sejak 2009 dengan luas 5.265 hektar.
Namun, PT Toshida Indonesia tidak membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) atas izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang dimiliki. Perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Kolaka ini memiliki IPPKH sejak 2009 dan tidak pernah membayar PNBP hingga 2020 atau sekitar 11 tahun.
Berdasarkan dokumen, PT Toshida Indonesia memiliki izin usaha pertambangan (IUP) nikel sejak 2007 dan telah memiliki IPPKH pada 2009. Namun, sejak 2010 hingga 2019, perusahaan diketahui tidak pernah membayar kewajiban pemanfaatan IPPKH tersebut, yang dalam perhitungan BPKP Sultra senilai Rp 151 miliar. Selain itu, dalam kurun 2019 hingga Mei 2021, setelah IPPKH dicabut, perusahaan diketahui tetap melakukan aktivitas penambangan hingga penjualan ore nikel. Nilai kerugian negara dari aktivitas tersebut Rp 343 miliar.
”Bahkan, hingga IPPKH perusahan dicabut Kementerian Kehutanan pada akhir 2019, RKAB perusahaan tetap keluar. Kami juga menduga ada aliran uang atau suap dalam kasus ini, termasuk untuk tersangka AA,” ujarnya.
Menurut Setyawan, AA dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara. Pasal ini sama dengan yang dikenakan pada para tersangka sebelumnya dalam kasus ini. Pasal penyuapan nantinya akan dimasukkan dalam modus pelaku menjalankan aksi.
Sementara itu, Kepala Dinas ESDM Sultra Andi Azis yang dihubungi tidak menjawab telepon. Pertanyaan yang dikirimkan melalui pesan pendek juga tidak dibalas.
Sebelumnya, pada Juni 2021, Kejati Sultra telah menetapkan empat orang tersangka dalam kasus penggunaan kawasan hutan dan persetujuan RKAB PT Toshida Indonesia. Mereka adalah LSO dan UMR, Direktur Utama dan Manajer di PT Toshida Indonesia. Selain itu, juga BHR dan YSM, mantan Pelaksana Tugas Kepala Dinas ESDM dan mantan Kepala Bidang Minerba ESDM Sultra.
Saat ini, tiga orang, yaitu BHR, YSM, dan UMR, telah menjalani persidangan. Sementara LSO, Direktur Utama PT Toshida Indonesia, masih buron. Kejati telah melakukan penyitaan aset pribadi LSO sekaligus menyita 10.600 metrik ton ore nikel di kawasan perusahaan.
Asisten Intelijen Kejati Sultra Noer Adi menuturkan, pihaknya masih mencari LSO. Sayembara juga telah dilakukan untuk mengejar tersangka. Meski begitu, hingga saat ini keberadaan LSO belum juga diketahui.
”Sampai saat ini (LSO) masih dalam pencarian dan kami belum tahu di mana. Kami menunggu tindak kooperatif tersangka. Namun, karena saat ini tersangka lain sudah masuk persidangan, jadi ketika keterangan diperlukan segera, akan dilakukan sidang in absentia,” ujar Noer Adi.
Noer menuturkan, meski telah berjalan lebih dari 11 tahun, kasus ini baru terungkap. Dalam penyelidikan, diketahui ada bukti dan rentetan modus sehingga penyelidikan lalu ditingkatkan hingga penetapan sejumlah tersangka.
”Saat ini fakta yang terungkap baru pada periode 2019-2021. Kasus akan terus dikembangkan termasuk pada periode sebelumnya jika ada fakta lain yang ditemukan selanjutnya,” katanya.
Hariman Satria, pengamat hukum Universitas Muhammadiyah Kendari, berharap pihak kejaksaan betul-betul mengusut kasus korupsi bidang perizinan ini hingga ke akarnya. Sebab, selama belasan tahun, sektor ini menjadi bancakan banyak pihak meski baru ditindak saat ini.
Selama belasan tahun, sektor ini menjadi bancakan banyak pihak meski baru ditindak saat ini.
Menurut Hariman, kasus ini merupakan contoh lengkap korupsi berjemaah dalam kasus tambang di Sultra. Pejabat dinas dan perusahaan bekerja sama dalam memuluskan pekerjaan pertambangan meski ilegal. Terlebih lagi, kasus ini telah berjalan belasan tahun, yang tentunya melibatkan banyak pejabat sebelumnya.
”Dan ini baru puncak gunung es dari kasus yang berjalan belasan tahun. Pertanyaannya, kenapa kasus ini terkesan dilokalisasi di periode 2019-2021? Bagaimana dengan periode 2009-2019, di mana perusahaan tidak membayar PNBP IPPKH tetapi tetap beroperasi? Seharusnya kejaksaan mengusut tuntas sampai ke sana karena itu tidak ada bedanya dengan kasus saat ini,” kata Hariman.
Menurut Hariman, selama rentang waktu 2009-2019, perusahaan bebas melakukan pekerjaan hingga penjualan ore nikel. Jumlah kerugian negara dari proses tersebut tentu sangat banyak dan harus diusut tuntas.
”Dugaan penyuapan dalam kasus ini juga perlu dibuka menyeluruh. Sebab, RKAB tidak bisa keluar tanpa pembayaran PNBP izin penggunaan hutan. Kalau keluar selama bertahun-tahun, tentu patut diduga ada unsur korupsi di situ. Di situ yang harus ditelusuri aliran uangnya ke mana, siapa penerimanya, hingga benar-benar tuntas. Seorang kadis atau kabid tentu patut diduga tidak bekerja sendiri,” kata Hariman.