Pemulung Laut Kendari, ”Si Pungguk” yang Merindukan Bansos
Bertahun-tahun lamanya, perempuan pemulung laut di pesisir Teluk Kendari, Sultra, hanya didata untuk peneriman bantuan. Namun, meski rutin menyetor berkas di tengah berbagai bantuan, mereka tidak jua menjadi penerima.
Bertahun-tahun didata dan menyerahkan berkas, sejumlah pemulung sampah plastik di Teluk Kendari tidak kunjung menerima bantuan. Hidup mereka hanya bertopang pada sampah meski triliunan bantuan sosial digelontorkan pemerintah. Mereka merindukan uluran tangan negara, terlebih di tengah impitan pandemi Covid-19 yang membuat kehidupan semakin muram.
Menjelang senja, Minggu (2/1/2022), Marniati (39) baru saja tuntas menyelesaikan rutinitas di dapur kediamannya, di RT 011 RW 005 Kelurahan Petoaha, Kendari, Sulawesi Tenggara. Dapur itu terletak di ujung ruangan berukuran 5 meter x 4 meter yang sekaligus ruang tengah. Secangkir kopi ia sajikan ke depan Juhanis (41), suaminya, yang baru seminggu pulang melaut.
Ibu dua anak ini keluar ke halaman, mengecek sejumlah karung yang disenderkan ke pagar kayu. Karung tersebut berisi plastik beraneka rupa yang dikumpulkan beberapa lama.
”Tinggal ini yang tersisa. Sebagian sudah dijual dua minggu lalu,” kata Marniati. Berjarak 3 meter dari pagar rumahnya adalah bagian Teluk Kendari. Kawasan ini merupakan kawasan pesisir yang dihuni nelayan, pembuat perahu, hingga pemulung sampah di laut seperti dirinya.
”Kalau tidak cari sampah, kita tidak makan. Sambil cari sampah, kadang saya singgah di dekat muara sana, ambil daun ubi untuk sayur,” tuturnya. ”Mau bagaimana lagi, kita tidak pernah dapat bantuan pemerintah. Sama sekali tidak ada dari sebelum pandemi, sampai sekarang.”
Padahal, telah bertahun-tahun ia rutin menyetorkan berkas kependudukan ke pemerintah setempat. Kartu keluarga (KK) dan kartu tanda kependudukan (KTP), ia perbanyak untuk disetor saat diminta.
Tiga hari lalu saya diminta isi formulir lagi, tetapi saya bilang tidak usahlah. Sudah capek saya menunggu bantuan.
Ia tidak tahu apa yang menghambat sehingga ia tidak masuk dalam daftar penerima. Untuk mengecek ke kantor kelurahan atau kecamatan, ia berpikir berkali-kali. Sebab, waktunya lebih banyak di laut mencari sampah.
Belum lagi biaya ojek dan ketidaktahuan untuk mengurus berkas. ”Kalau ditanya berkas yang saya setor, mungkin kalau disusun sudah setinggi plafon di kantor sana,” katanya tersenyum miris.
Perantau asal Sulawesi Selatan ini bercerita, selama ini ia bergantung pada hasil penjualan sampah plastiknya. Terakhir menjual, ia mendapat penghasilan Rp 700.000. Nilai itu adalah akumulasi sampah yang dikumpulkan dalam satu bulan. Namun, nilai itu belum dikurangi biaya angkut dan operasional. Jika dihitung bersih, ia mendapatkan Rp 500.000.
Penghasilan itu yang digunakan untuk kebutuhan harian, utamanya membeli beras dan lauk-pauk. Ia juga menyisihkan agar bisa membeli token listrik hingga kebutuhan sekolah Israfil (8), anak bungsunya.
”Kemarin suami saya melaut sampai Sulawesi Tengah. Sebulan di sana, ikan sedikit sekali. Alhamdulillah, ada yang dikasih ke saya Rp 200.000,” sambungnya.
Pendapatan suami yang tidak menentu membuatnya harus bekerja ekstra. Memulung sampah plastik di lautan adalah hal yang paling mudah ia lakukan. Sebab, ia tidak memiliki ijazah, keterampilan, dan modal untuk berusaha.
Baca juga: Dugaan Aliran Emas dari Tambang Ilegal ke ANTM Ditelusuri
Meski sering sesak hingga batuk darah, ia rutin turun ke laut mencari sampah plastik. Sesekali ke puskesmas, ia hanya diberi obat penurun tekanan darah. Ia mendayung sampan tua, menyusuri Teluk Kendari hingga muara, lebih dari 3 kilometer jaraknya. Ia terbiasa keluar di pagi hari dan kembali setelah lewat tengah hari.
”Sampai sekarang saya tidak tahu kenapa tidak pernah jadi penerima bantuan seperti yang lain,” keluhnya.
Tidak hanya Marniati, sejumlah perempuan pemulung lainnya bernasib serupa. Mereka berulang menyetor berkas kependudukan, tetapi tidak pernah sekalipun mereka menerima bantuan pemerintah.
Hafiana (53), pemulung laut lainnya, menyampaikan, meski berkali-kali menyetorkan berkas, ia juga tidak kunjung mendapatkan bantuan. Ia mengenang, terakhir kali mendapat bantuan sebelum reformasi.
”Tahun kemarin itu ada bedah rumah. Tapi kalau bantuan sembako atau yang bulanan, tidak pernah sama sekali. Dikira kami sudah kaya mungkin jadi tidak dimasukkan sebagai penerima,” katanya.
Setiap hari, janda lima anak ini rutin turun ke laut. Pada Minggu pagi, ia mendapatkan satu karung plastik setelah memulung sekitar lima jam. Salah satu lokasi utama pencarian plastik di sekitar muara. Ia mendayung sampan sembari menghindari kapal-kapal yang hilir mudik. Tidak terhitung ia terjatuh dari sampan saat ombak dari kapal menghantam. Sering kali juga sampannya terbalik sehingga plastik hasil memulung berhamburan.
Berjuang mengumpulkan sampah harus terus ia lakukan. Sebab, jika tidak mengumpulkan sampah, kebutuhan harian akan sulit. Kebutuhan makan dan rumah tangga bergantung pada banyaknya temuan sampah plastik.
Sedikitnya, ada lima pemulung sampah di laut yang tidak mendapatkan bantuan jenis apa pun di wilayah ini. Mereka telah berulang kali didata, tetapi tidak jua mendapatkan bantuan yang didambakan.
Baca juga: Perjuangan Sangihe Melawan Tambang Berlanjut di PTUN Jakarta Pusat
Padahal, berbagai bantuan disalurkan pemerintah bertahun-tahun lalu. Selain Program Keluarga Harapan (PKH), di masa Covid-19 ini ada program Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Bantuan ini berupa uang elektronik sebesar Rp 200.000 yang ditukarkan dengan bahan pangan. Tidak hanya itu, juga ada program BPNT-PPKM berupa bantuan sembako untuk masyarakat miskin. Selama 2021, total ada Rp 110 triliun bantuan yang digelontorkan oleh pemerintah untuk masyarakat miskin dan terdampak Covid-19.
Pendataan
Ketua RW 005 Kelurahan Petoaha Syarifuddin mengatakan, di wilayahnya terdapat 80 keluarga dengan total 258 jiwa. Dari jumlah tersebut, 30 keluarga mendapatkan bantuan PKH, 14 keluarga mendapatkan BPNT, dan 17 keluarga pada bantuan BPNT-PPKM.
”Hampir semua pernah dapat bantuan. Karena setiap ada pengumuman akan ada bantuan, kami pasti minta semua KK warga. Apalagi di sini hampir semuanya adalah masyarakat berpenghasilan rendah,” katanya.
Meski begitu, ia tidak mengetahui persis mengapa sejumlah pemulung laut di wilayahnya tidak juga mendapatkan bantuan berbagai jenis tersebut. Sejumlah hal bisa menjadi penyebab, salah satu yang utama adalah data yang tidak terverifikasi di pusat.
Menurut Syarifuddin, data setiap orang harus sinkron dari daerah hingga ke pusat. Data tersebut harus benar-benar sesuai, baik itu di KK juga di KTP. Data ini harus dicek di kantor pemerintah untuk mengetahui apakah telah valid dan terverifikasi.
”Makanya, kami sampaikan ke warga yang belum terima bantuan, berkasnya di cek di kantor kelurahan atau kantor kecamatan,” kata Syarifuddin. ”Kalau belum terima juga, memang belum rezeki. Yang jelas, tiap akan ada bantuan, kami minta semua berkas warga tanpa terkecuali,” katanya.
Baca juga: Pesan Abdul Gafur Mas’ud, Bupati Penajam Paser Utara Tajir yang Terjerat OTT KPK
Ketua Kelompok Perempuan Pesisir Mutmainna menyampaikan, sejumlah permasalahan ditemukan terkait penyaluran bantuan sosial ke masyarakat miskin. Selama ini, banyak dari perempuan yang juga kepala keluarga tidak tersentuh bantuan bertahun-tahun lamanya. Mutmainna aktif mengorganisasi perempuan pekerja informal, pemulung, dan ibu rumah tangga di pesisir Kendari. Sebagian dari mereka adalah kepala keluarga juga warga lanjut usia.
Berdasarkan penelusuran awal, sedikitnya ada 20 keluarga berpenghasilan rendah yang terkendala dalam menerima bantuan, khususnya di Kecamatan Abeli dan Nambo, Kendari. ”Khusus untuk pemulung, data kami ada enam orang yang tidak mendapatkan bantuan sama sekali. Selebihnya adalah keluarga miskin yang juga belum mendapatkan bantuan atau telah masuk dalam daftar tapi tidak bisa mencairkan,” katanya. Ia berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada masyarakat miskin agar tidak semakin terbebani kebutuhan dasar, terlebih di masa pandemi Covid-19.
Kepala Bidang Perlindungan dan Jaminan Sosial Dinas Sosial Kendari Ishak Bulo menyampaikan, semua bantuan sosial yang digelontorkan pemerintah diperuntukkan kepada masyarakat miskin atau mereka yang telah masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bantuan ini menyasar mereka yang paling sulit secara ekonomi, terbatas secara akses, dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup harian.
”Baik itu PKH, hingga BPNT, semuanya untuk masyarakat kecil. Termasuk juga kelompok pemulung laut yang ada di pesisir Kendari,” kata Ishak. Jika selama ini mereka tidak mendapatkan bantuan, ia menduga data warga tersebut tidak tervalidasi hingga ke data pusat. Akibatnya, meski berkali-kali dimasukkan, nama warga tidak masuk sebagai penerima bantuan.
Menunggu bantuan pemerintah ,seperti jalan tak ada ujung bagi pemulung di pesisir Kendari ini. Marniati dan rekannya sudah di tahap pasrah dan tidak ingin berharap lebih lagi. ”Tiga hari lalu saya diminta isi formulir lagi, tetapi saya bilang tidak usahlah. Sudah capek saya menunggu bantuan.”