Perjuangan Sangihe Melawan Tambang Berlanjut di PTUN Jakarta Pusat
Perjuangan warga Sangihe menolak kehadiran PT Tambang Mas Sangihe yang menguasai kontrak karya 57 persen dari luas pulau kecil itu berlanjut di PTUN Jakarta Pusat. Aktivitas tambang terbukti mulai merugikan warga.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Perjuangan warga Sangihe untuk menolak kehadiran PT Tambang Mas Sangihe yang menguasai kontrak karya 57 persen dari luas pulau kecil itu berlanjut di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Pusat. Mereka mengatakan, kehadiran perusahaan terbukti mulai mengganggu kehidupan masyarakat, salah satunya dalam pasokan air bersih.
Dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Jumat (14/1/2022), salah satu perwakilan aliansi Save Sangihe Island (SSI), Revoldi Koleangan, mengatakan, para saksi dari kalangan warga Sangihe diperiksa di PTUN Jakarta, Kamis (13/1/2022). Sidang itu dihadiri kuasa hukum dari pihak warga dan PT TMS, sementara kuasa hukum Menteri ESDM Arifin Tasrif sebagai tergugat utama tidak hadir.
Salah satu poin yang SSI tekankan masih sama, yaitu izin PT Tambang Mas Sangihe (TMS) tidak sesuai hukum. Menurut Revoldi, izin yang dikantongi PT TMS saat ini adalah persetujuan peningkatan tahap kegiatan operasi produksi kontrak karya (KK) dalam bentuk Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2021.
Padahal, KK harus diganti dengan izin usaha pertambangan khusus sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). ”Kontrak karya tidak bisa diperlakukan seperti izin karena tidak ada aturan dalam UU. Anehnya, Menteri ESDM menyatakan itu bisa dipakai sebagai izin. Tentu saja itu kami gugat,” ujar Revoldi.
SSI berargumen, keberadaan wilayah KK di Sangihe, pulau kecil berukuran 73.698 hektar, melanggar Pasal 35 Huruf K UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Menurut mereka, kegiatan pertambangan bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan dan merugikan masyarakat sekitar yang telah hidup dengan berkebun dan melaut di sana.
Kontrak karya tidak bisa diperlakukan seperti izin karena tidak ada aturan dalam UU. Anehnya, Menteri ESDM menyatakan itu bisa dipakai sebagai izin. Tentu saja itu kami gugat. (Revoldi Koleangan)
Hingga hari ini, PT TMS juga belum memiliki izin pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur Pasal 26A Ayat (1) UU No 1/2014. PT TMS yang 70 persen sahamnya dimiliki perusahaan asing bernama Baru Gold Corporation seharusnya mengantongi izin tersebut.
PT TMS juga mereka sebut melanggar Pasal 134 Ayat 2 UU No 3/2020 tentang Minerba. Kegiatan pertambangan tidak boleh dilaksanakan di tempat yang dilarang menurut ketentuan perundang-undangan lainnya, dalam hal ini UU No 1/2014. Sebab, pulau dengan luas kurang dari 200.000 hektar tidak diprioritaskan untuk pertambangan.
Menurut Revoldi, saat ini PT TMS tengah melakukan pembersihan lahan dan pembuatan jalan menuju lokasi tambang seluas 65,48 hektar di Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah, yang telah mendapatkan izin lingkungan dari Pemprov Sulut. Namun, proses yang menjadi bagian dari fase konstruksi itu bahkan sudah mulai mengganggu masyarakat.
Pada 21 Oktober 2021, pipa air yang membawa air bersih dari Pegunungan Sahendarumang menuju Kampung Bowone pecah sekalipun sudah diperbaiki PT TMS. ”Selama empat hari warga tidak mendapat air bersih. Ya, jelas keberadaan perusahaan ini sudah mulai merugikan,” ujar Revoldi.
Merugikan nelayan
Dalam persidangan, Robinson Saul, warga Kampung Sowaeng, Kecamatan Manganitu Selatan, menyatakan, tambang akan merugikan nelayan karena merusak mangrove yang menjadi tempat tinggal berbagai biota laut. Arbiter Makagansa, warga Kampung Salurang, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, menambahkan, terganggunya pasokan air yang juga merupakan sumber pengairan kebun warga dapat membahayakan masa depan Sangihe.
Samsared Barahama, juru bicara SSI, mengatakan, keberadaan tambang PT TMS juga dapat merusak keanekaragaman hayati di wilayah hutan Pegunungan Sahendarumang. Jika alam rusak, masyarakat pun terancam kehilangan rumah dan menjadi pengungsi yang tak tahu harus berpindah ke mana.
Sebelumnya, pada malam Natal, Jumat (24/12/2021), warga Sangihe menggelar aksi blokade di Pelabuhan Pananaru, Tamako. Berbagai alat berat, seperti pengebor tambang, akan diturunkan untuk dibawa ke Bowone.
Namun, warga bertahan semalaman sehingga alat berat itu dimuat kembali ke kapal dan dibawa pergi.
Jull Takaliuang, salah satu aktivis SSI, menyebut PT TMS memanfaatkan momen malam Natal untuk meloloskan alat-alat sehingga konstruksi bisa berlangsung selagi proses hukum berjalan. ”Tetapi masyarakat tidak bergeming. Sampai hari ini, kan, PT TMS tidak ada izin pemanfaatan pulau,” katanya.
Ia pun yakin, penolakan masyarakat semakin kuat. Apalagi, GMIST (Gereja Masehi Injili di Sangihe-Talaud) dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sudah menyatakan penolakan, bahkan menyurat kepada Presiden Joko Widodo. ”Yang masih mendukung hanya orang-orang yang tidak paham saja,” ujarnya.
Sementara itu, Jiriel Kumajas, Direktur PT TMS yang menangani hubungan eksternal, belum menjawab permintaan wawancara. Ia menyatakan sedang berada di situs tambang dan menyarankan untuk menghubungi juru bicara PT TMS, Sil Saroinsong. Namun, ia tidak menyertakan nomor telepon atau alamatnya.