Pantang Berpangku Tangan di Hadapan Tambang
Lebih dari setengah luas Pulau Sangihe masuk konsesi tambang emas perusahaan swasta, termasuk Kampung Bowone. Para ibu berjuang secara hukum menolak lahan dan masa depan mereka diserahkan kepada pertambangan.
”The privatisation of land for revenue generation displaced women more critically, eroding their traditional land use rights.” – Vandana Shiva (1988)
Stevi Poae (28) bisa saja menjadi jutawan dadakan. Syaratnya satu: merelakan kebun dan rumahnya di Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, jadi situs pertambangan emas. Ibu rumah tangga itu hanya perlu menemukan tempat baru yang bisa disebut rumah bagi keluarganya, termasuk tiga anaknya yang masih kecil.
Namun, apa arti bergelimang harta jika harus terusir dari kampung halaman. Sepanjang usia Stevi, lahan Kampung Bowone bermurah hati memberi kehidupan. Ubi jalar, sagu, pisang, sayuran, cengkeh, dan kelapa tumbuh subur. Air bersih mengalir dari hulunya di Pegunungan Sahendarumang.
Laut biru nan jernih di timur kampung pun menyediakan segala jenis ikan. Dalam kesederhanannya, alam kampung di pesisir tenggara Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, itu selalu mencukupi kebutuhan warganya. Stevi tak mampu membayangkan kehidupan di tempat lain.
”Saya sudah di sini sejak lahir. Kakek dan nenek saya juga berasal dari sini. Sekarang, saat saya sudah punya anak, kampung ini malah akan dimusnahkan perusahaan. Di masa depan anak-anak saya mau makan apa?” ujar Stevi, Sabtu (7/8/2021), selepas kegiatan pos pelayanan terpadu kampung.
Lima bulan lalu, 24 Maret 2021, Bowone digemparkan kedatangan PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Berbekal izin lingkungan dari Pemprov Sulut, perusahaan tambang emas itu akan segera beroperasi di lahan seluas 65,48 hektar.
PT TMS juga telah mengantongi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Lahan seluas 42.000 hektar, lebih dari setengah luas Pulau Sangihe, boleh mereka tambang selama 33 tahun.
Baca juga: Tambang Emas di Sangihe, Semua yang Perlu Kita Ketahui
Perwakilan PT TMS bahkan langsung mengutarakan niat membeli tanah warga dengan patokan harga Rp 50 juta per hektar atau Rp 5.000 per meter persegi. Bowone semakin geger. Masalahnya, tak satu pun dari mereka merasa pernah diberi tahu soal pembukaan tambang emas berskala besar, apalagi diajak berunding.
Warga pun khawatir akan tergusur dari tanah leluhur mereka. Sebab, analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) PT TMS menunjukkan, pusat pengolahan bijih emas dan kolam limbah akan didirikan di wilayah permukiman yang didiami 90-an keluarga itu.
Di tengah kegelisahan ini, semangat perlawanan warga Kampung Bowone bangkit dalam diri kaum perempuan. Sebanyak 53 ibu rumah tangga, termasuk Stevi, sepakat menggugat izin lingkungan yang diterbitkan Pemprov Sulut bagi PT TMS di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado.
Gugatan ini dimotori Elbi Pieter (53), ibu rumah tangga. Ia hendak membuktikan, para ibu rumah tangga tak terkungkung urusan dapur, sumur, dan kasur. Mereka juga berdiri di garis depan melindungi kekayaan alam kampung yang telah turun-temurun memberi kehidupan.
”Kaum perempuan mau berjuang menyelamatkan masyarakat Kampung Bowone dan Kepulauan Sangihe. Bapak-bapak juga banyak yang menolak PT TMS, tetapi kami ingin perempuan saja yang maju menggugat. Berikan kami kesempatan untuk memperjuangkan masa depan anak-anak kami,” ujar Elbi.
Izin lingkungan PT TMS, bagi Elbi, menyalahi undang-undang (UU). Sebab, masyarakat tidak dilibatkan dalam penyusunan Amdal sebagaimana diatur Pasal 26 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Menurut Pasal 35 UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pulau seluas kurang dari 2.000 kilometer persegi ini tidak boleh ditambang. Luas Sangihe hanya 736,98 kilometer persegi. Lagi pula, izin lingkungan untuk lahan 65,48 hektar yang mendasari penerbitan IUPK di wilayah seluas 42.000 hektar adalah absurd.
Jika PT TMS jadi beroperasi, para ibu yakin kesulitan air bersih akan segera menimpa Kampung Bowone. Sebab, tambang emas sebagai sektor yang rakus air. Setidaknya dibutuhkan 100 liter air untuk menghasilkan 1 gram emas saja.
Baca juga: Tambang Emas Sangihe Masih Mungkin Meluas
PT TMS pun nantinya akan membutuhkan lebih dari 1 juta liter air bersih setiap hari. Elbi pun berkata, segala jenis hasil bumi tiada berguna jika tak ada air bersih. Ditambah lagi perkebunan rakyat akan lenyap, sedangkan laut tercemar akibat pembukaan lahan dan operasional tambang.
Padahal, hanya karena kemurahan alam Kampung Bowone-lah para ibu dapat merawat keluarga dan membesarkan anak serta cucu mereka. Jika alam rusak, mereka akan kehilangan dunia yang mereka rawat dan jaga sepenuh jiwa raga.
”Setiap hari kaum perempuanlah yang mengatur kehidupan rumah tangga. Suami memang kerja di ladang, tetapi ibu-ibu yang mengolah segala sesuatu di rumah, dari cuci, masak, makan, sampai minum. Itu bukti kami tidak hanya duduk berpangku tangan, tetapi berjuang nyata dalam hidup sehari-hari,” ujar Elbi.
Selagi membimbing para ibu menggugat izin lingkungan, Elbi juga menjadi penggugat utama IUPK PT TMS di PTUN Jakarta Pusat bersama enam warga kampung lingkar tambang lain. Upaya hukum ini disokong Save Sangihe Island (SSI), koalisi lembaga masyarakat sipil yang menolak kehadiran PT TMS.
Samsared Barahama (44), juru bicara SSI, menyebut gugatan Elbi dan para ibu di Bowone adalah ujung tombak misi menyelamatkan Pulau Sangihe dari kerusakan alam permanen. Elbi dan SSI juga tengah berupaya mengumpulkan tanda tangan 476 warga kampung-kampung lingkar tambang yang bersedia menjadi penggugat intervensi terhadap IUPK PT TMS.
Samsared pun yakin warga akan menang di pengadilan. ”Kita masih punya hukum. Kalau Indonesia negara hukum, tentu kita berharap hukum ditegakkan. Jangan sampai kita menyesal karena tidak melakukan sesuatu sebelum ada kerusakan alam,” kata dia.
Di lain pihak, CSR and External Affair Superintendent PT TMS, Robertus ”Bob” Priya Husada, mengakui semula perusahaannya berniat membangun fasilitas pertambangan di wilayah permukiman warga. Namun, kini ia menegaskan, hanya lahan perkebunan warga yang akan dibebaskan.
Artinya, tak ada permukiman yang bakal digusur. ”Setelah mempertimbangkan besarnya biaya dan faktor sosiologisnya, kami tidak meneruskan rencana awal seperti dalam Amdal,” kata dia.
Untuk sementara, PT TMS belum mampu menunjukkan peta situs tambang yang sudah final. Bob bilang, masih ada waktu 1-2 tahun membebaskan lebih dari 290 bidang kebun dari 120 penduduk Kampung Bowone dan Kampung Binebas di Tabukan Selatan, baru kemudian desain situs tambang dituntaskan.
Sekalipun penolakan warga Bowone tampak menggelora, Bob optimistis setidaknya 90 persen pemilik lahan yang ditarget akan menjual kebunnya kepada PT TMS. Harga lahan yang ditawarkan bukan lagi Rp 5.000 per meter persegi, melainkan hasil kesepakatan tertutup masing-masing pemilik lahan dengan perusahaan.
Soal gugatan warga terhadap perizinan PT TMS yang dinilai cacat hukum, Bob mengatakan, tambang di mana pun di seluruh dunia memang akan selalu menuai pro-kontra. Yang jelas, masyarakat telah dilibatkan dalam sidang kajian Amdal melalui beberapa perwakilan, termasuk aparat Kampung Bowone.
”Biarlah (gugatan) itu diuji di PTUN. Tetapi, saya mau tegaskan, PT TMS sudah melewati proses perizinan yang cukup panjang sejak pemberian kontrak karya pada 1997, jauh sebelum UU No 1/2014 dibuat. Sampai sekarang kami taat aturan, termasuk pada rencana tata ruang wilayah Sulut dan Sangihe yang memungkinkan adanya wilayah pertambangan,” ujar dia.
Dinas Lingkungan Hidup Sulut yang meloloskan Amdal PT TMS tidak menanggapi permintaan wawancara. Walakin, kepala dinas tersebut, Marly Gumalag, meminta masyarakat tidak khawatir akan kerusakan alam. ”Biarlah perusahaan beroperasi terlebih dahulu sehingga kami bisa mengawasi,” kata dia, April 2021 lalu.
Wakil Gubernur Sulut Steven Kandouw pun mengatakan, penolakan warga adalah hak berdemokrasi yang harus dihargai. Namun, ia menegaskan, penolakan itu lebih tepat ditujukan ke pemerintah pusat sebagai pemberi kontrak karya, yang kini disebut IUPK. Di Kampung Bowone, hari-hari tenang mengelola alam tak sama lagi, bagi Stevi dan para ibu lainnya.