Dilema Warga Melepas Tanah di ”Pulau Emas” Sangihe
PT Tambang Mas Sangihe membatalkan tawaran pembelian lahan warga dengan harga Rp 5.000 per meter persegi. Kini, harga ditetapkan sesuai kesepakatan antara perusahaan dan pemilik lahan.
Akhir-akhir ini, Faris Makahinda (38) sering berkhayal punya duit Rp 10 miliar. Seandainya uang itu sudah di tangan, setengah bakal ia depositokan di bank, sedangkan sisanya untuk membeli kapal ikan serta lahan perkebunan baru. Jika masih ada sisa lagi, warung makan keluarganya akan ia pugar.
Pria lajang asal Kampung Salurang, desa pesisir di tenggara Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, itu yakin angannya menjadi miliarder tak lagi jauh dari kenyataan. Ia tinggal menjual tiga petak kebun seluas 5 hektar miliknya kepada PT Tambang Mas Sangihe (TMS), perusahaan Kanada-Indonesia yang namanya saja cukup menjelaskan eksistensinya.
Namun, impian Faris hanya akan terwujud apabila PT TMS menyepakati harga yang ia inginkan, minimal Rp 200.000 per meter persegi. Itu 40 kali lipat tawaran awal PT TMS, yakni Rp 5.000 per meter persegi. ”Kalau harga tidak cocok, tidak akan dilepas,” kata Faris, Senin (9/8/2021), di rumahnya, tepat di tepi pantai Kecamatan Tabukan Selatan Tengah.
Awal 2021, PT TMS telah mengantongi izin pertambangan emas di lahan seluas 65,48 hektar di Kampung Bowone dan Binebas, dua kampung di utara Salurang. Kebutuhan lahan dibulatkan ke 100 hektar, yang kini masih terpecah-pecah dalam 290 bidang kebun warga. Tiga petak kebun Faris di Bowone masuk rencana lokasi penimbunan dan pengolahan limbah.
Kebetulan Faris juga sedang butuh uang. Dua tahun terakhir, kebun kelapa dan cengkeh miliknya tak terawat. Pohon-pohonnya berangsur rusak. Tiada lagi aliran Rp 3 juta-4 juta tiap tiga bulan dari panen kelapa maupun Rp 20 juta-Rp 30 juta per tahun dari cengkeh, yang menghidupi keluarganya.
Mencari pekerja kebun pun sulitnya minta ampun. Sebab, sejak 2019, buruh lepas dari desa-desa di wilayah Tabukan Selatan lebih tergiur bekerja di pertambangan emas rakyat tak berizin di Kampung Bowone, menyusul penemuan lubang-lubang bekas eksplorasi perusahaan.
Konversi kebun menjadi lubang tambang menyebabkan banyak pemilik lahan kaya mendadak dengan potensi penghasilan puluhan juta rupiah sebulan. Faris tak mau ketinggalan. Segera ia menggali lubang sedalam 8 meter. Sayangnya, ia tidak hoki. ”Tidak ada hasil (emas). Daripada kebun rusak, lebih baik dijual,” ujarnya.
Harga Rp 5.000 per meter persegi yang dipatok PT TMS sempat menuai penolakan keras dari warga, termasuk Faris. Elbi Pieter (53), warga Kampung Bowone yang menentang PT TMS, mengatakan, seikat besar kangkung di pasar masih lebih mahal ketimbang tanah yang katanya mengandung emas itu.
Ternyata PT TMS sekadar berpegang pada nilai penjualan obyek pajak (NJOP) yang berlaku di Kepulauan Sangihe. ”Maaf, kami tidak bermaksud melecehkan orang-orang Sangihe. Tetapi, memang Rp 5.000 itu sesuai NJOP,” kata Robertus ”Bob” Priya Husada, CSR and External Affairs Superintendent PT TMS.
Baca juga : Pantang Berpangku Tangan di Hadapan Tambang
Maka, perusahaan mengubah strategi. Warga yang lahannya masuk rencana lokasi tambang, 120 orang jumlahnya, diajak berdialog secara tertutup demi mencapai titik temu soal harga yang cocok. Mereka didatangi satu per satu dari rumah ke rumah.
PT TMS bahkan menjanjikan insentif tambahan. Jika mau menjual tanahnya, warga bisa menjadi mitra pengadaan barang yang dibutuhkan untuk kelanjutan aktivitas tambang emas, mulai dari sesederhana bawang, cabai, tomat, dan ikan untuk makan karyawan. Itu akan dicatat sebagai bagian negosiasi antara perusahaan dan pemilik lahan.
Bob mengatakan, PT TMS akan mendampingi dalam proses pendirian badan hukum dan pembuatan izin usaha jasa pertambangan. ”Kami tidak ingin mereka (warga) kaya segitu saja dari pembebasan lahan, tetapi juga jadi mitra kami ke depan,” ujarnya.
Sejak tawaran baru berlaku, Bob mengklaim beberapa orang telah menjual lahannya karena sadar akan untung yang menanti di masa depan dari keberadaan PT TMS. Bayangkan saja, jika target produksi emas 373.200 gram setiap tahun tercapai, uang yang dihasilkan bisa melampaui Rp 300 miliar, sepertiga pendapatan asli daerah Kepulauan Sangihe pada 2018.
Yang penting harganya cocok.
Bob optimistis, setidaknya 90 persen pemilik lahan akan membolehkan tanahnya dibeli dalam 1-2 tahun ke depan. Apalagi, upaya PT TMS ini disokong oleh orang-orang yang mampu memengaruhi pemilik lahan lainnya, salah satunya Faris, yang kini menjadi perwakilan bagi 20-an pemilik lahan dari Kampung Salurang.
Faris, yang terkadang juga menjadi nelayan, yakin hampir semua pemilik lahan akan melepaskan tanahnya kepada perusahaan. ”Yang penting harganya cocok,” katanya.
PT TMS telah mengantongi IUPK produksi berdurasi 33 tahun sampai 2054 di area seluas 42.000 hektar, nyaris di seluruh wilayah selatan Pulau Sangihe. Maka, warga yang mendapatkan tawaran serupa niscaya bertambah. Ekspansi situs tambang emas dari 65,48 hektar hanyalah soal waktu.
Kehilangan identitas
Nyatanya, tak semua berpikir seperti Faris, terutama mereka yang sudah untung besar dari tambang rakyat tak berizin seperti Ahusta Pieter (65). Dari satu lubang tambang saja, warga Kampung Bowone itu bisa meraup Rp 20 juta sebulan.
Tak ada sedikit pun niat dalam dirinya untuk menjual lahan warisan turun-temurun itu. ”Kalau bukan dari hasil tanah milik keluarga sendiri, dari mana lagi kami mau hidup? Anak cucu saya mau makan apa?” kata Ahusta, yang mengaku belum menerima penawaran harga baru dari PT TMS.
Di sisi lain, Ahusta khawatir kedatangan tambang skala besar akan membuat seisi Kampung Bowone tergusur. Sebab, peta situs tambang PT TMS dalam dokumen amdal menunjukkan pusat pengolahan bijih emas akan dibangun di wilayah permukiman.
Baca juga : Tambang Emas di Sangihe, Semua yang Perlu Kita Ketahui
Tak ayal, warga yang tanahnya belum tentu dibeli PT TMS pun ikut menolak. Meity Makagansa (28), ibu rumah tangga, mengatakan, membiarkan perusahaan masuk berarti membiarkan diri kehilangan satu-satunya rumah sekaligus cara hidup yang mereka tahu, yaitu berkebun.
”Hasil menjual tanah pun tidak sebanding dengan penghasilan dari berkebun. Ubi jalar empat-lima biji saja bisa Rp 25.000, sedangkan cabai sekilo Rp 100.000,” kata Meity, membandingkan dengan tawaran awal PT TMS, Rp 5.000 per meter persegi.
Aderce Makawata (36), guru pendidikan anak usia dini (PAUD), juga khawatir tambang emas korporasi akan mengancam pasokan air bersih dari sungai. Tanpa air bersih, warga akan kesulitan mengolah sagu, makanan pokok yang menopang ketahanan pangan Kampung Bowone.
Lebih dari itu, tambang emas skala besar akan mencerai-beraikan warga dari keguyuban yang telah mereka nikmati sejak lama. Mereka akan terusir, tercerabut dari tanah asal-usul mereka. Sebanyak apa pun uang kompensasi dari perusahaan, tak akan setimpal dengan kehilangan yang mungkin mereka rasakan. ”Kalau perusahaan jadi beroperasi, mungkin kami tidak akan bisa mengenal satu sama lain lagi,” ujar Aderce.
Belakangan, Bob menyatakan, rencana itu dibatalkan. Perusahaan hanya akan membeli kebun warga. Tidak akan ada kampung yang tergusur.
Namun, bagi Save Sangihe Island (SSI), gerakan koalisi lembaga swadaya masyarakat yang menolak kehadiran PT TMS, tanpa penggusuran pun, nasib warga tak akan berbeda. Mereka akan tetap terusir dari rumah dan kampung mereka, ruang hidup yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Samsared Barahama (44), juru bicara SSI, mengajukan serangkaian hipotesis. Jika PT TMS beroperasi di sekitar permukiman, setiap hari warga akan mendengar dan merasakan getaran dari ledakan pembukaan lubang tambang. Suara bising mesin akan menderu-deru, sementara udara semakin berdebu. Laut dan sungai pun rawan tercemar.
Semua itu bisa berlangsung selama 30-an tahun, bahkan 50 tahun jika PT TMS memperpanjang masa IUPK-nya. ”Kalau warga merasa terganggu selama 30 tahun, pasti mereka akan pindah dengan sendirinya. Satu kampung berpotensi kehilangan identitas karena terusir dari tempat asal mereka,” kata Samsared.
Setelah pembebasan lahan, perusahaan akan menuai triliunan rupiah. Sebaliknya, warga harus beradaptasi dan memulai hidup dari nol di permukiman baru yang mungkin sudah padat. Uang dari perusahaan nantinya juga belum tentu cukup untuk membeli tanah untuk rumah maupun kebun demi hidup sebagaimana di kampung lama mereka.
Warga mungkin cuma jadi buruh kasar seperti tukang pikul, tukang bersih-bersih, dan sopir, bukan tenaga ahli.
Kalaupun ada warga dari kampung-kampung lingkar tambang yang menetap karena direkrut menjadi tenaga kerja, Samsared yakin jumlahnya tak seberapa. Amdal PT TMS pun mencatat, kebutuhan tenaga kerja lokal hanya 213 orang. Padahal, penduduk satu kampung sekitar tambang saja bisa 420-an jiwa.
”Dari sisi keterampilan, masyarakat asli Sangihe tidak menguasai pertambangan. Warga mungkin cuma jadi buruh kasar seperti tukang pikul, tukang bersih-bersih, dan sopir, bukan tenaga ahli,” ujar Samsared.
Setelah 30-50 tahun, di melanjutkan, perusahaan akan meninggalkan Sangihe dengan keuntungan besar di kantong. Sebaliknya, masyarakat akan mewarisi kerusakan alam dan ruang hidup yang masif, bisa jadi di area 42.000 hektar di selatan pulau. Maka, kata Samsared, SSI terus menyerukan ajakan agar masyarakat menolak menjual tanah mereka kepada PT TMS.
Pelaut, bukan petambang
Imbauan untuk tidak menjual lahan juga datang dari Wakil Ketua DPRD Kepulauan Sangihe Michael Thungari. Sebab, tambang emas di pulau sekecil Sangihe jelas tidak sesuai Undang-Undang tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ia bahkan berharap warga dan PT TMS tak akan pernah mencapai kesepakatan harga.
”Mudah-mudahan sampai seterusnya masyarakat tidak tergiur karena nenek moyang kita adalah pelaut dan nelayan, bukan petambang. Kita tidak pernah berpikir daerah kecil seperti ini akan ditambang. Perairan para nelayan bisa tercemar,” kata Michael.
Baca juga : Tambang Emas Sangihe Masih Mungkin Meluas
Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gahana juga mengaku tak mendukung PT TMS beroperasi di Sangihe. Sebab, pertambangan tidak sesuai dengan orientasi pengembangan potensi terbesar Sangihe, yaitu perikanan dan pariwisata. Namun, ia mengaku tak bisa menentang kebijakan pemerintah pusat yang telah menerbitkan IUPK operasi produksi bagi PT TMS.
Di tengah penolakan berbagai pihak, Bob mengatakan, para penolak tambang, termasuk SSI, tetap ia lihat sebagai mitra masa depan. Penolakan pemkab dan DPRD Kepulauan Sangihe pun tak berpengaruh karena pada 2008 dua lembaga itu telah menyetujui kelanjutan eksplorasi PT TMS.
Soal dampak terhadap lingkungan, kata Bob, teknologi dan infrastruktur yang memadai akan memitigasinya. Bibit-bibit pohon sengon, ketapang, rumbia, dan tanaman rambat lain untuk rehabilitasi lahan bekas konsesi 30-50 tahun lagi bahkan telah siap.
”Hanya waktu yang bisa membuktikan bahwa kami melakukan hal yang benar. Kami akan terus mempersiapkan lahan karena dalam tiga tahun konstruksi (situs tambang) harus sudah selesai,” ujar Bob.
Di Kampung Salurang, Faris Makahinda masih memikirkan uang Rp 10 miliar. Kepercayaannya kepada PT TMS tak goyah. Menurut dia, penolak tambang emas justru adalah orang-orang yang gagal paham karena tak tahu isi izin lingkungan dan amdal.
”Biarpun ada satu juta orang menolak perusahaan, kalau pemilik lahan tetap mau jual tanahnya, mereka mau berbuat apa?” katanya.