Kambing Hitam Bernama Tambang Rakyat
Pada 1986, beberapa perusahaan mengeksplorasi potensi tambang emas. Sejak itu, muncul tambang emas rakyat tak berizin yang beraktivitas hingga sekarang. Kedatangan PT Tambang Mas Sangihe akan mengubah keadaan ini.
Erik Tenda (38) mengawasi sebuah lubang berbentuk persegi di tanah dengan empat sisi berdinding bilahan kayu. Ukurannya tak sampai 1 meter x 1 meter bujur sangkar, tetapi kedalamannya boleh jadi 30 meter. Dua selang plastik tipis menjulur ke dalam ceruk itu, menyemburkan udara dari mesin blower keong yang menderu.
”Ada lima orang di bawah. Mereka bernapas dibantu udara dari blower,” kata Erik, Sabtu (7/8/2021), menggambarkan pengapnya bawah tanah. Di dasar lubang, lima tukang gali itu menghancurkan bebatuan dengan palu tambang atau bor jack hammer hingga membentuk lorong mendatar setinggi orang dewasa berjongkok.
Tiba-tiba, tali baja yang membentang dari atas hingga dasar lubang menggeletar. Seorang di bawah mengisyaratkan batuan telah dikarungkan dan siap dikerek ke permukaan. Erik menjawabnya dengan menyalakan katrol. Di mulut lubang, dua buruh angkut sigap meraih tiga karung yang muncul, lalu menumpuknya di belakang mereka.
Batuan itu mengandung emas. Kalau sudah terkumpul 500-700 karung, para tukang gali akan memecahkannya jadi pasir lalu memberikannya kepada kelompok tukang olah yang bertugas mengekstraksi emas. Erik tidak tahu bagaimana proses detailnya. Yang jelas, dari 12-17 ton batuan (satu karung berbobot 25 kilogram) itu dapat menghasilkan sekitar 50 gram emas.
Erik adalah satu dari ratusan tukang gali di pertambangan emas rakyat tak resmi Kampung Bowone, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Pada 2019, ia direkrut ke dalam kelompok tukang gali beranggotakan delapan orang untuk ”menggarap lahan” milik pria bernama Frets Besinung alias Pere.
Portofolio Erik mentereng. Selama delapan tahun ia menambang emas di Nabire dan beberapa daerah lain di Papua, secara ilegal pula tentunya. Bedanya, emas di Papua tinggal didulang dengan piringan dari sungai karena butiran dan serpihannya kasatmata. ”Kalau di sini, pengolahannya panjang karena emasnya tidak kelihatan,” katanya.
Lokasi pertambangan emas rakyat di Bowone dulunya adalah perkebunan. Setelah penemuan beberapa lubang bekas eksplorasi perusahaan tambang emas, para pemilik lahan seperti Pere memangkas habis sebagian kebunnya demi mengais keuntungan dari emas, sekalipun jelas kandungannya rendah sebagaimana dikatakan Erik.
Karena itulah, para tukang gali mengemban tugas berat. Selama dua-tiga pekan mereka nekat menghadapi ancaman longsor yang bisa membenamkan kapan saja di bawah tanah demi mengumpulkan 500 karung batuan. Semua hanya demi memperoleh 50 gram emas murni. Kalau sedang apes, hasilnya bisa saja hanya 1 gram, atau bahkan nol.
Baca juga : Pantang Berpangku Tangan di Hadapan Tambang
Pere, si tuan tanah yang juga memiliki koperasi, akan membeli emas murni yang dihasilkan para tukang dengan harga tertentu. Kini kisarannya Rp 720.000 per gram. Setelah dibagi rata di antara para tukang gali dan olah, Erik bisa membawa pulang Rp 2 juta-Rp 3 juta.
Nominal itu memang tak seberapa jika dibandingkan dengan yang diperolehnya di Papua. Namun, setidaknya kini ia tak perlu jauh-jauh dari keluarganya di Tahuna, hanya dua jam perjalanan sepeda motor dari Bowone. ”Kalau ternyata di daerah sendiri ada hasil (emas), kami tidak perlu jauh dari keluarga. Penghasilan juga tidak terlalu banyak terpakai seperti di perantauan,” kata Erik.
Terusir
Ironisnya, ratusan—jika tidak ribuan—petambang emas sekarang malah terancam kehilangan penghasilan yang sudah tipis itu. Sebab, per Januari 2021, Kampung Bowone dan satu kampung di sisi utaranya, Binebas, ditetapkan sebagai lokasi pertambangan emas skala besar milik perusahaan Kanada-Indonesia, PT Tambang Mas Sangihe (TMS), di lahan seluas 65,48 hektar.
Eksplorasi PT TMS sejak 1997 membuktikan tanah di Bowone dan Binebas menyimpan sumber daya mineral terunjuk (indicated) sebesar 3,16 juta ton dengan kadar emas 1,13 gram per ton (g/t). Masih ada pula sumber daya mineral tereka (inferred) sebesar 2,54 juta ton dengan kadar emas 1,29 g/t.
Angka-angka ini sesungguhnya menunjukkan rendahnya kualitas tambang emas di sana. Lalu, mengapa PT TMS repot-repot mencari emas sampai ke pulau terluar di ujung utara Indonesia, 10 jam pelayaran dari Manado itu? ”Dari skala keekonomian, tambang di Bowone dan Binebas masih efisien dan menguntungkan,” jawab Robertus ”Bob” Priya Husada, CSR and External Affairs Superintendent PT TMS.
Jelas, sebagai penambang lokal, kami menolak PT TMS masuk.
PT TMS akan menetap di dua kampung itu selama 33 tahun hingga 2054 dengan target produksi 0,37 ton emas setiap tahun. Tiga tahun pertama, perusahaan akan mengambil alih 290 petak kebun milik 120 warga untuk membuka lubang tambang serta mendirikan infrastruktur lain.
Meski luasan awal 65,48 hektar itu tak mencakup seluruh wilayah kedua kampung, Erik yakin petambang rakyat akan terusir. Sebab izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi PT TMS mencakup wilayah seluas 42.000 hektar, hampir seluruh wilayah selatan pulau sekecil Sangihe yang hanya 73.698 hektar. ”Jelas, sebagai penambang lokal, kami menolak PT TMS masuk,” kata Erik.
Pere si pemilik lahan pun menentang dengan sangat kedatangan PT TMS. Ia tak segan menjadi penandatangan pertama pernyataan penolakan warga terhadap perusahaan.
Tukang gali lain, Dharmawangsa (48), juga lebih suka melihat warga lokal mengolah tanah mereka sendiri. Lagi pula, kebanyakan laki-laki di Bowone, Binebas, dan desa lain di lingkar tambang tidak memiliki ijazah sekolah menengah atas atau perguruan tinggi. ”Tidak mungkin semua diserap jadi tenaga kerja di perusahaan,” katanya.
PT TMS memang hanya membutuhkan 289 karyawan selama fase produksi, 213 di antaranya warga lokal di lingkar tambang. Namun, Bob menegaskan para petambang rakyat tak akan ditinggalkan.
Baca juga : Tambang Emas di Sangihe, Semua yang Perlu Kita Ketahui
”Kami sudah punya cetak biru bagaimana kawan-kawan PETI (pertambangan emas tanpa izin) kami jadikan mitra sebagai vendor (pengadaan barang), karyawan, subkontraktor, pengolah limbah, dan sebagainya. Kami sudah tawarkan ke salah satu asosiasi dan pemilik lahan. Mereka tidak keberatan,” ucap Bob.
PT TMS akan menggelontorkan Rp 2,75 triliun untuk berbagai kebutuhan, dari konstruksi, biaya operasi, hingga pemberdayaan masyarakat. Sebanyak itulah uang yang mungkin singgah di kantong 131.000 warga Sangihe selama PT TMS beroperasi, termasuk 58.000 jiwa yang tinggal di selatan pulau. Jika target produksi 0,37 ton emas selalu tercapai, pendapatan PT TMS mungkin mencapai Rp 300 miliar tiap tahun.
Merusak alam
Meski begitu, penolakan terhadap PT TMS tetap masif. Elbi Pieter (53), warga Bowone, mengambil jalur hukum bersama enam warga kampung lingkar tambang dengan menggugat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Gugatan dilayangkan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat karena Menteri ESDM menerbitkan IUPK operasi produksi PT TMS di lahan 42.000 hektar.
Luasan itu melanggar batasan yang ditetapkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, yaitu 25.000 hektar. IUPK PT TMS juga tidak selaras dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang melarang pertambangan mineral di pulau dengan luas kurang dari 200.000 hektar.
Baca juga : Separuh Pulau Jadi Wilayah Tambang Emas, Warga Sangihe Keberatan
Pada saat yang sama, 53 ibu-ibu di Kampung Bowone juga berencana menggugat Pemprov Sulut di PTUN Manado karena menandatangani izin lingkungan yang mendasari penerbitan IUPK. Ketakutan utama warga adalah kerusakan alam secara masif di selatan pulau. Sebab, kehidupan warga sangatlah bergantung pada hasil dari perkebunan rakyat serta laut.
Gugatan itu diajukan karena pemerintah bergeming ketika diprotes warga yang dimotori Save Sangihe Island, gerakan masyarakat penolak PT TMS. Namun, pemerintah malah kerap berdalih dengan cara mengambinghitamkan petambang rakyat.
Asisten 1 Pemprov Sulut, yang saat itu dijabat Edison Humiang, misalnya, malah balik bertanya kepada massa pengunjuk rasa di Kantor Gubernur Sulut, Juni lalu, mengapa hanya memprotes tambang yang jelas-jelas berizin. ”Kalian tahu tidak? Lingkungan di sana rusak dan tercemar karena tambang rakyat! Saya sudah lihat gambarnya,” kata Edison yang pensiun per 6 September.
Gambar yang dimaksud Edison bisa jadi adalah lereng Tanah Mahamu, Kampung Bowone. Sejak 2019, ratusan petambang menggunduli sebagian kecil bukit itu untuk menggali lubang dan membuat bak ekstraksi emas. Pepohonan yang dahulu subur di lereng itu kini berganti tenda-tenda terpal tambang.
Tak ayal, pantai di bawah Tanah Mahamu menjadi keruh, tak biru jernih seperti laut dangkal beberapa ratus meter di belakangnya. Warna airnya sama dengan longsoran tanah coklat kemerahan dari lereng botak itu.
Perkataan Edison ada benarnya. PT TMS pun memang belum beroperasi sehingga tak bertanggung jawab atas kerusakan alam apa pun. Perusahaan itu malah ikut menuduh para petambang merusak lingkungan, menghancurkan hutan bakau, serta mencemari laut dan sungai dengan merkuri.
Lihat juga : Sagu dan Kopra di Sangihe yang Terancam Tambang Emas
Kenyataannya, di Tanah Mahamu, bahan-bahan kimia yang terlihat dan dipakai untuk menghasilkan emas adalah kapur, sianida, dan karbon. Tidak ada saluran pembuangan dari bak pengolahan ke laut maupun ke tanah. Larutan air dan sianida yang dipakai memisahkan emas dari material ditampung di bak dalam tanah yang dilapisi terpal.
”Airnya kami pakai terus, tidak pernah dibuang. Kalau sudah tiga hari, sianida menguap, tidak terbuang ke laut, tidak merembes ke tanah,” kata NA, seorang tukang olah, Senin (9/8/2021). Sisa tanah produksi juga tidak dibuang ke laut, tetapi ditumpuk saja dekat tenda petambang, atau bahkan dibuang di lahan kosong yang disediakan pemilik lahan.
Sikap pemerintah
Bagi juru bicara Save Sangihe Island, Samsared Barahama (44), masalah PETI di Kampung Bowone sebenarnya bukan perkara rumit. Pemerintah tinggal mengambil sikap. ”Kalau masyarakat diizinkan menambang, keluarkan izin WPR (wilayah pertambangan rakyat) supaya dampaknya bisa dikelola. Kalau tidak, ya tertibkan. Tutup,” katanya.
PETI di Sangihe muncul tak lain karena pemerintah mengizinkan perusahaan asing mengeksplorasi potensi emas di Sangihe pada 1986. Akibatnya, warga yang umumnya adalah nelayan dan petani berupaya mengeruk untung lebih dulu dari tanah sendiri sebelum pihak asing masuk.
Praktik itu berlanjut sampai hari ini. Apalagi, semakin banyak warga Sangihe yang merantau, antara lain ke Papua dan Kalimantan, untuk menjadi petambang ilegal. Mereka kemudian pulang untuk menambang di kampung halaman sendiri. Menurut Samsared, dalam jangka panjang, Sangihe akan mengalami kerusakan lingkungan, meski skalanya tak sebesar dampak yang mungkin disebabkan PT TMS. Maka, ia meminta pemda untuk mengambil posisi tegas.
Kami akan bangun komunikasi (dengan pusat) agar masyarakat dapat menikmati potensi tambang ini di bawah pengawasan pemerintah.
Sebaliknya, bagi Bupati Kepulauan Sangihe Jabes Gaghana, persoalan PETI tidak sesederhana itu. Ia bukannya tak mau mengusulkan pembentukan WPR. Hanya saja, tidak mungkin ada WPR di atas wilayah IUPK. Jabes sendiri mengaku sebenarnya menolak PT TMS, tetapi ia tak ingin bertentangan dengan ketetapan pemerintah pusat.
Karena itu, ia akan mengambil sikap jika Kementerian ESDM jadi menciutkan wilayah IUPK PT TMS. Jabes sadar, PETI berkaitan dengan kemaslahatan warganya. ”Kami akan bangun komunikasi (dengan pusat) agar masyarakat dapat menikmati potensi tambang ini di bawah pengawasan pemerintah,” ucapnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua DPRD Kepulauan Sangihe Michael Thungari mengatakan, para petambang tak bisa diminta sekonyong-konyong berhenti. Apalagi, Kampung Bowone adalah daerah pemilihannya. Para petambang rakyat tak berizin pulalah yang memilihnya.
”Saya jelas ada di belakang masyarakat. Saya menolak aktivitas apa pun yang dilakukan PT TMS. Tetapi, dilema yang kita hadapi, petambang rakyat juga mencemari lingkungan. Kalau diminta mengukur mana yang lebih bagus (tambang rakyat atau PT TMS), saya juga tidak bisa,” katanya.
Namun, Michael mengaku lebih suka warga yang mengolah lahannya sendiri. ”Kalau anak daerah kita sendiri yang bekerja, mereka dan anak cucu mereka sendiri yang menikmati hasilnya. Mudah-mudahan ada perubahan (luas IUPK) sehingga bisa ada WPR,” katanya.
Baca juga : PT Tambang Mas Sangihe: Kami Tak Akan Rusak Alam
Sementara itu, PT TMS menyatakan sedang mengurus penciutan ketiga wilayah kerjanya menjadi 25.000 hektar. Soal PETI, perusahaan menyerahkan sepenuhnya kepada pemkab, pemprov, dan aparat penegak hukum. ”Selama PT TMS belum beroperasi, kami tutup mata karena ini menyangkut rezeki orang. Asalkan, warga jangan sampai memakai zat kimia berbahaya maupun alat berat,” ujar Bob.
Petambang rakyat seperti Erik kini makin terimpit dalam ketidakpastian. Tiga tahun lagi, ia mungkin tak akan lagi menyentuh emas langsung dengan tangan sendiri. Maka, selama Pere si tuan tanah tak menjual lahannya, Erik tak akan berhenti menggali.