Surabaya Sekarang Termacet, Pernyataan atau Kenyataan?
Laporan INRIX, perusahaan analis data, yang menyatakan Surabaya termacet di Indonesia menurut Global Traffic Scorecard 2021, diharapkan membawa perubahan positif dalam pelayanan lalu lintas.
INRIX, perusahaan analis data di Washington, Amerika Serikat, merilis penelitian Global Traffic Scorecard 2021. Di Indonesia, ada lima kota yang menurut INRIX bertingkat kemacetan tertinggi 2021. Yang menjadi juara adalah Surabaya sehingga tersematlah status sebagai kota termacet di Indonesia. Urutan berikutnya ialah Jakarta, Denpasar, Malang, dan Bogor.
Penelitian oleh INRIX mencakup 1.000 kota di dunia untuk pemeringkatan kemacetan. INRIX mengumpulkan data mobilitas selama tiga tahun untuk analisis. Data diperoleh secara anonim dari telepon seluler, kendaraan, dan situasi lalu lintas kota.
Data mencakup perbandingan penundaan perjalanan, tren tabrakan atau kecelakaan, kecepatan mil berdasakan pola perjalanan yang disebutnya unik di setiap area perkotaan, status macet atau tidak macet dari setiap segmen jalan untuk setiap menit dalam sehari seperti yang digunakan oleh jutaan pengemudi di seluruh dunia pengguna layanan lalu lintas berbasis INRIX.
Adapun metodologi penelitian INRIX untuk laporan 2021 diadopsi dari penelitian dua tahun sebelumnya dengan mengidentifikasi beberapa area perjalanan di dalam kota. Selain itu, menangkap profil mobilitas pada tiap-tiap kota yang diteliti.
Dari sana, dianalisislah waktu perjalanan, jarak tempuh, karakteristik perjalanan, dan dampak kecelakaan terhadap kemacetan. Akhirnya dapat dihitung waktu yang hilang dalam kemacetan memakai data lalu lintas, analisis ekonomi untuk total biaya pengemudi, dan koridor terburuk.
Baca juga : Surabaya Mulai Terapkan Bukti Pelanggaran Lalu Lintas Elektronik
INRIX menjadikan Surabaya sebagai kota termacet di Indonesia diukur dari waktu yang hilang karena menghadapi kemacetan dari 58 jam menjadi 62 jam. Di tingkat dunia, posisi Surabaya sebagai kota termacet naik dari 361 menjadi 41. Peringkat Jakarta (Ibu Kota) turun dari 55 ke 222, sedangkan waktu hilang turun dari 409 jam menjadi cuma 28 jam.
Selanjutnya adalah Denpasar dengan peringkat tingkat kemacetan turun dari ke-142 menjadi ke-291 dan waktu hilang dari 359 jam menjadi cuma 31 jam. Peringkat Malang turun jauh dari ke-46 termacet di dunia ke-334, sedangkan waktu hilang dari 394 jam menjadi cuma 29 jam. Sementara peringkat Bogor naik dari peringkat ke-1.014 termacet di dunia menjadi ke-821, tetapi waktu hilang menyusut dari 861 jam menjadi cuma 7 jam.
Berdasarkan pengalaman dan tugas-tugas kami, lalu lintas di Surabaya bersifat situasional.
Hasil penelitian INRIX sontak mengagetkan aparatur dan masyarakat Surabaya. Apakah laporan lembaga tersebut merupakan pernyataan atau kenyataan? Kekagetan berpotensi berkembang menjadi debat tidak berujung, konstruktif atau menjadi bahan perbaikan, atau dibiarkan karena mungkin dianggap tidak sesuai kenyataan.
Sanggah
Sudah jelas, Pemerintah Kota Surabaya, Jumat (14/1/2022), segera merespons laporan INRIX itu bahwa tidak sesuai kenyataan. Laporan INRIX juga disanggah oleh kalangan akademisi transportasi dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Intinya, status Surabaya sebagai kota termacet di Indonesia diragukan karena tidak sesuai kenyataan.
Baca juga : Kepadatan Lalu Lintas di Kota Surabaya Semakin Terurai
Kepala Dinas Perhubungan Surabaya Tundjung Iswandaru mengklaim, lalu lintas di ibu kota Jatim ini lancar. ”Ditandai dengan survei dan data bahwa V/C Ratio (velocity/capacity) di Surabaya rata-rata 0,6. Artinya, kendaraan yang melewati jalan-jalan di Surabaya masih tertampung dan bergerak,” ujarnya.
Adapun untuk rata-rata kecepatan antarkendaraan, menurut penghitungan dinas, ada di angka 40-41 kilometer per jam. Di Surabaya, beberapa ruas utama dilengkapi rambu dan marka kecepatan maksimal yang sebaiknya dipatuhi oleh pengendara, yakni 40 kilometer per jam.
Marka dan rambu, misalnya, ada di jalan paralel atau frontage Jalan Ahmad Yani. Di ruas ini juga ada speed bump untuk penahan laju kendaraan menjelang garis penyeberangan.
Tundjung mengatakan, tidak memahami dari mana keluar angka waktu terbuang untuk menghadapi kemacetan yang 63 jam. Jika waktu itu dibagi setahun atau 365 hari, waktu yang terbuang oleh pengendara selama menghadapi kemacetan di jalan cuma 10 menit per hari.
Dalam kenyataan keseharian, kemacetan di Surabaya terutama saat ini ketika situasi berangsur normal dari serangan pandemi Covid-19, terlihat pada pagi hari atau waktu masyarakat berangkat kerja dan sore hari atau saat mereka pulang.
”Kami tidak bisa mengonfirmasi tentang dasar laporan itu. Misalnya, mereka membandingkan antara jam sibuk dan jam tidak sibuk, ada waktu terbuang, tetapi kenapa tidak ada misalnya indikator waktu tempuh sehingga kami meragukan laporan INRIX,” kata Tundjung.
Kepala Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Ajun Komisaris Besar Teddy Chandra menambahkan, secara prinsip pihaknya meragukan laporan INRIX bahwa Surabaya paling macet di Indonesia, bahkan urutannya melesat jauh di dunia. Padahal, dalam kenyataan, petugas setiap hari mengatur, menjaga, dan patroli untuk menekan potensi kemacetan.
Baca juga : Adu Sakti Bangun Transportasi Surabaya
”Berdasarkan pengalaman dan tugas-tugas kami, lalu lintas di Surabaya bersifat situasional,” ujar Teddy. Kemacetan di Surabaya, entah dinilai amat macet atau tidak, terkait dengan situasi ibu kota Jatim ini sebagai pusat ekonomi.
Surabaya adalah jantung kawasan aglomerasi Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan). Kemacetan juga bisa terjadi karena suatu peristiwa luar biasa, misalnya kecelakaan, unjuk rasa, penutupan jalan, dan banjir.
Terbatas
Peneliti utama Laboratorium Transportasi ITS Hera Widyawati menyatakan tidak bisa menghubungi INRIX untuk turut menganalisis data kemacetan. Laporan INRIX masih diragukan. Dalam studi selama ini, kemacetan di Surabaya terjadi pada waktu tertentu dan terbatas di beberapa akses. Kemacetan tidak sampai membuat lalu lintas berhenti total.
”Sebagai peneliti dan pengendara, selama ini saya merasakan arus lalu lintas bisa dijangkau. Sebaiknya, melihat kemacetan berdasarkan pada waktu tempuh serta karakteristik kendaraan,” kata Hera. Dengan melihat waktu tempuh, akan terpetakan sebenarnya di mana saja kantong-kantong kemacetan di Surabaya.
Wahyu Herianto, peneliti utama Laboratorium Transportasi ITS, menyatakan senada bahwa ragu dengan laporan INRIX. Dalam penelitian ITS, sebelum serangan pandemi pada Maret 2020, kategori kemacetan di Surabaya adalah D atau relatif macet. Selama pandemi, bahkan sampai dengan 2021, kondisinya menjadi C atau membaik.
Di satu sisi, pandemi pada prinsipnya meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi. Sebab, ada pembatasan operasional angkutan umum. Namun, selama pandemi, pemerintah juga menerapkan pembatasan aktivitas. Misalnya urusan antar jemput ke sekolah atau kantor berkurang karena pindah ke jagat dalam jaringan atau online. Belanja barang yang biasanya mendatangi pasar atau tempat-tempat usaha, sebagian beralih ke online.
Baca juga : Transportasi Penggerak Hidup Warga Jawa Timur
Dalam kenyataan, kurun 2020-2021, pengalaman empiris, amat jarang ditemui situasi lalu lintas macet di Surabaya seperti sebelum serangan pandemi. Kemacetan terjadi ketika awal penerapan pembatasan sosial sehingga kendaraan harus antre diperiksa dari dan ke Surabaya. Namun, setelah berada di wilayah Surabaya, perjalanan relatif tidak macet karena pada dasarnya ada pengurangan mobilitas.
Sebagai peneliti dan pengendara, selama ini saya merasakan arus lalu lintas bisa dijangkau. Sebaiknya, melihat kemacetan berdasarkan pada waktu tempuh serta karakteristik kendaraan.
Justru setelah pandemi dianggap melandai atau mulai Agustus 2021 mobilitas masyarakat berangsur kembali pulih seiring dengan potensi peningkatan lalu lalang kendaraan dan kemacetan. Namun, situasi ini, perlu dipahami, juga terjadi di kota-kota lain di Indonesia.
”Kami berharap bahwa situasi kemacetan di Surabaya bisa kian teratasi dengan mendorong peningkatan layanan transportasi umum,” kata Wahyu.